Mari beranjak menuju para miskin,
sebab tanah gersang di puncak kemarau pun tetap menyanyikan lagu cinta.
Juga gunung, batu, kerikil, pasir, debu, angin dan kayu
Air hanya kadang tampak mengembun menjelang fajar pagi,
cukup menyejukkan pupus-pupus daun pada dahan-ranting yang ranggas.
Sudah sengatkah engkau oleh matahari kegelisahan,
sehingga peluh mengucur beranak-anak sungai.
Mengapa malah menggigil?
“Keringat dingin…,” kau bilang.
Tubuh bugar yang kekar tampak lapuk kedinginan di puncak siang: “Pucat-pasi!”
Gerangan apa digelisahkan? Panenmu di musim lalu toh masih menumpuk di gudang.
Belum lagi berangkat surut, telah pandang dimuka berkas-berkas peruntungan.
Tatap dengan pandang jiwa yang hampir tak bernyali!
Anak-anak, tua-muda, laki-perempuan, fakir-miskin dan kekumalan
memusyawaratkan butir-butir beras dan nasi di perempatan.
Sampai tuntas nafas-tenaga mereka membuihkan kerja dan kata-kata,
sedang belum segenggampun dari karung digudangmu tercecer.
Mereka tidak memintakan belas-kasihan.
Sebab tidak ada belas kasihan di padang kehidupan ini.
Mereka semata menuntut HAK dan peruntukan.
Apalagi hendak dikilahkan dari ALIF yang telah bengkok oleh segenap ruwet kepentingan?
Maka, di hari yang dijanjikan kefitriannya ini,
ketika sebulan telah tenggelamkan tafakurmu dalam goa kesunyian, sehingga
terang membuka mata hati, mata pikiran, mata jiwa dan mata badan atas segenap BACAAN
Semoga, dengan segenap ridlo Sumber dari segala Sumber Terang
Terlahirlah kembali kita sebagai manusia dengan segenap kefitrahan insan yang kamil
Maka, berakhir dan tumpaskan seluruh ruh-jiwa kesetanan dan kebinatangan
dari segenap hati, pikiran, jiwa dan jasad ini…..
MAHA BESAR ALLAH DENGAN SEGENAP AMPUNAN DAN KASIH-SAYANG …..
Mojokerto, 14102002 – 21112003
Saturday, May 26, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment