Wednesday, November 25, 2009

Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka: Bahan Diskusi 4

Agenda Aksi: Membangun Format Pendidikan Rakyat Merdeka

Mengacu pada pokok-pokok kesepakatan dalam pertemuan Semarang (12 Desember 2004), menuju rencana penyelenggaraan Jambore Kebudayaan yang bertemakan “Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat” mendesak melakukan pemahaman kembali substansi kedaulatan rakyat dan penyebarluasan jiwa merdeka. Sebagai bagian dari jalan menuju jambore dipandang mendesak untuk dilakukan upaya “mencari format pendidikan rakyat merdeka.” Pencarian format demikian tidak dilakukan secara instan, namun akan ditempuh proses dialogis melalui serangkaian proses sharing, diskusi dan lokakarya. Harapannya, pada saat jambore kebudayaan diselenggarakan, Perguruan Rakyat Merdeka telah memiliki tawaran konseptual yang tentu saja akan dan harus dikritisi bersama agar memperoleh ketajaman konseptual dan operasional.

Pencarian format pendidikan ini bukanlah proses yang sentralistik yang akan berimplikasi pada penyeragaman. PRM menabukan cara-cara demikian. Ini merupakan proses pengkayaan yang demokratik, otonom, merdeka dan berkedaulatan. Ini proses untuk membangun puspa-ragam, bunga-rampai atau kembang-setaman kemerdekaan dan keberdaulatan yang demokratik dan berperikemanusiaan. Keberagaman metode, pendekatan, strategi dan teknis operasional adalah pengkayaan bagi perluasan dataran perjuangan gerakan rakyat merdeka sebagai gerakan keberdaulatan dalam kebidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Lingkaran-lingkaran diskusi dan kajian dapat dikembangkan oleh setiap individu sebagai simpul gerakan dengan melibatkan mereka yang secara eksplisit telah bergabung dalam embrio gerakan Perguruan Rakyat Merdeka maupun mereka yang baru mendengar tapi belum bergabung maupun siapa saja mereka yang belum tahu sama sekali tentang PRM tetapi memiliki potensi dan komitmen bagi proses pemerdekaan dan penguatan keberdaulatan rakyat. Lingkaran-lingkaran kajian pada ujungnya harus ada kesediaan dan kesempatan untuk duduk bersama dan membangun momentum untuk sharing, dialog, mencapai kesepahaman dan menyusun rumusan format pendidikan rakyat merdeka.

Secara materiil agenda aksi untuk membangun format pendidikan rakyat merdeka menawarkan beberapa tema bahasan pokok, yakni:

  1. Pembahasan tentang konteks pemahaman dan pemaknaan “merdeka” dalam konteks kejiwaan, sosial dan budaya. Ini penting untuk menghindarkan salah pemahaman dan pemelintiran makna kata “merdeka” sebagai “bebas” atau malah “liar.” Pemelintiran atau reduksi makna ini acapkali berkait dengan kepentingan “pengendalian” dan “pemandulan” gerakan kemerdekaan dan keberdaulatan rakyat oleh kelompok status-quo sebagai pemegang hegemoni dan kemapanan.
  2. Kajian reflektif kesejarahan dan budaya merdeka. Ini pengelaman kesejarahan dan interaksi kultural komunitas-komunitas rakyat yang membangun otoritas kemerdekaan dan kedaulatannya, situasi represif dari dalam dan luar yang mengancam dan merendahkan harkat dan martabat kemerdekaan, serta bagaimana upaya-upaya perjuangan yang dilakukan sebagai proses panjang untuk merebut kembali kemerdekaan dan kedaulannya.
  3. Penelusuran dan kajian terhadap konsep dan praksis pendidikan merdeka atau yang secara substansi mengusung nilai-nilai kemerdekaan baik dalam struktur formal, non formal maupun informal yang berkembang pada masa pergerakan sampai reformasi.
  4. Sharing dan dialog dengan pelaku-pelaku pendidikan rakyat (yang merdeka) pada yang masih hidup dan berjalan pada era sekarang ini.
  5. Perumusan asas, dasar, prinsip, nilai, upaya pengembangan, penyebarluasan dan penguatan konsep dan praksis pendidikan r yang melibatkan seluruh komponen pelaku gerakan pendidikan rakyat merdeka.

Tuntutan Tanggung Jawab dan Sikapan Bersama

Menilik persoalan yang dihadapi rakyat berkait dengan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak teringkari bahwa peran dan posisi rakyat termarginalkan. Hegemoni kepentingan-kepentingan pragmatik-materialistik dari pemegang kekuasaan politik negara dan kapital, mendesak budaya hidup rakyat pada tingkat ketergantungan yang massive. Berbagai media yang dapat dioptimalkan sebagai sarana dan prasarana pendidikan dalam praktek hidup sehari-hari, baik formal, non-formal dan informal dimobilisasikan sepenuh-penuhnya untuk membangun sikap budaya konsumtif dan instan. Akibatnya, hakekat kemanusiaan rakyat disungkurkan pada tingkat dasar sampai menyerahkan seluruh daya hidupnya menjadi skrup dan komponen produksi sekaligus pemakan remah-remah pasar kapitalime. Berbagai upaya perubahan hampir menghadapi situasi buntu dan stagnasi, sebab kepercayaan akan kapasitas diri yang otonom sangat kurang dimiliki. Otoritas kemanusiaan yang merdeka dan berdaulat dihancurkan. Berbagai pandangan, aspirasi, inisiatif dan kepentingan yang semestinya dapat dirumuskan dan disuarakan sendiri oleh rakyat, diambil-alih dan direduksi oleh pandangan-pandang elit yang menyatakan klaim atas nama rakyat.

Situasi terurai tersebut tentu menuntut sikapan dan tanggung jawab bersama. Perkaranya, bagaimana membangunkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini dari kondisi pingsan yang berkepanjang, serta merebut kembali kemerdekaan dan keberdaulatannya dari ranah pegadaian? Pengorganisasian segenap potensi pembangkit kemerdekaan dan keberdaulatan dan melakukan praksis bersama. Banyak pekerjaan telah dilakukan oleh berbagai kawan dan komponen bangsa ini, tetapi itu masih serpihan-serpihan. Mendesak menautkannya sebagai sebuah potensi kerja gerakan kebudayaan. Gerakan pendidikan Perguruan Rakyat Merdeka.




Disampaikan untuk Perguruan Rakyat Merdeka sebagai awalan dan bahan diskusi:
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”

Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05
RP/WG




Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka: Bahan Diskusi 3

Strategi Hipotetik:
Kaidah Dasar Pendidikan Rakyat Merdeka

(Mentradisikan Pendidikan Rakyat Merdeka)

1. Arah Pendidikan

Arah strategis pendidikan rakyat merdeka adalah terbangunnya harkat manusia masa depan yang cerdas, bermartabat dan beradab. Ini merupakan landasan dan pilar utama bagi perikehidupan rakyat yang merdeka dan berdaulat, sehingga mampu menegakkan hakekat kemanusiaan yang adil dan beradab. Aspirasi, inisiatif dan kepentingan rakyat terungkap, menguat dan dapat digalang untuk mewujudkan tata kehidupan bersama ketika harkat kemanusiaan terpenuhi. Secara operasional pendidikan dimaksud adalah media atau katalisator untuk membangun landasan dan membuka jalan ke ruang dialogis bagi bertemunya orang-orang dan komponen masyarakat, bangsa dan negara. Ini semestinya yang harus men(di)jadi(kan) tradisi pendidikan.

Hanya dengan ruang dialogis yang terbuka luas dapat dijalin proses dialogis. Proses dialogis akan memberikan pengalaman-pengalaman dialogis. Pengalaman dialogis akan menanamkan nilai, sikap dan perilaku dialogis. Nilai, sikap dan perilaku dialogis akan melahirkan penghormatan dan penghargaan manusia sebagai subyek yang otonom dan berdaulat dalam tata pergaulan sosial kemanusiaannya, kebangsaannya maupun dalam pergaulan tata hidup bernegara. Otonomitas dan otoritas yang merdeka tidak akan pernah mentolerir nilai, sikap dan perilaku bebas yang semena-mena, perilaku yang acapkali mengabaikan nilai-nilai etik kemanusiaan dalam hubungan antar manusia (Catatan: Pengabaian nilai etik kemanusiaan dalam hubungan antar manusia akan memunculkan pemerasan manusia, seperti: sistem pengupahan dibawah kelayakan hidup, manipulasi produk dalam sistem pemasaran dan periklanan, penyebarluasan materi siaran dalam berbagai media yang mengabaikan anak, manipulasi suara dan politicing dalam demokrasi dan lainnya), maupun manusia dengan alam dan lingkungannya (Catatan: Pengabaian nilai etik kemanusiaan dalam hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya menimbulkan masalah degradasi lingkungan dan kerusakan ekosistem, seperti: pembabatan dan kerusakan hutan, eksploitasi sumberdaya energi dan mineral alam, industri polutan dan sebagainya). Sebaliknya, ia juga tidak dapat mentolerir pemaksaan aturan dan nilai yang dilakukan berdasar tafsir-tafsir sepihak dan tanpa parameter yang jelas, sehingga justru memicu pertikaian antar kelompok dan praktek semena-mena dalam proses politik, hukum dan peradilan.

2. Rakyat (yang) Ber-Negara, Negara (yang) Ber-Rakyat 

2.1. Kedudukan Rakyat

Membangun kerangka atau format pendidikan rakyat merdeka perlu pertimbangan dan landasan strategis dengan menempatkan inter-relasi antara rakyat, wilayah dan pemerintahan dalam sistem penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara. Acuan sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah konstitusi. Pemahamannya, negara merupakan entitas utuh yang terdiri dari rakyat, wilayah dan pemerintahan yang dasar pengaturan hubungan antar komponen tersebut dalam penyelenggaraannya diatur oleh konstitusi atau undang-undang. Rakyat adalah pemegang penuh kedaulatan negara, wilayah merupakan sumberdaya materiil yang paling dasar bagi keberadaan negara merdeka, dan pemerintahan itu perwujudan sistem pengelolaan dalam penyelenggaraan negara yang berkedaulatan.


2.2. Hak Rakyat


Kontekstual dengan eksistensi negara yang memilih format negara berkedaulatan rakyat (republik) dan menyelenggarakan kedaulatan dengan sistem demokratik, maka konteks strategi dan implementasi penyelenggaraan negara dari perspektif kerakyatan akan tampak dari parameter-parameter:

  1. Rakyat sebagai konstituen utama dalam penyelenggaraan negara apakah dapat dijamin kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya secara adil dan beradab?;
  2. Apakah rakyat dalam penyelenggaraan negara terbuka aksesnya secara adil terhadap sumberdaya materiil dan non materiil yang sangat berarti bagi kepentingan kelangsungan hidup, perkembangan dan kemajuan?
  3. Adakah jaminan penyelenggaraan negara terhadap keterbukaan ruang bagi rakyat untuk selalu mengembangkan dan menguatkan sikap dan kesadaran kritis dan kreatifnya?
  4. Bagaimana rakyat secara pribadi, kelompok maupun kemasyarakatannya memiliki keleluasaan ruang partisipasi dalam segenap proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
  5. Bagaimana rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam penyenggaraan negara dijamin hak dan kewenangannya untuk melakukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintahan selaku pelaksana pengelolaan kehidupan negara?

3. Strategi Pendidikan Rakyat Merdeka

3.1. Pilar Tradisi Pendidikan


Landasan operasional bagi proses penyusunan format pendidikan rakyat secara substansi dituntut mampu memberikan arahan integratif peletakan dasar lima pilar keutamaan manusia yang merdeka dan berdaulat, yakni:

  1. Keterampilan. Bagaimana pendidikan mampu menguatkan kapasitas dan meningkatkan kualitas kerja produktif dan reproduktif manusia bagi pemenuhan kebutuhan akan kelangsungan hidup.
  2. Keahlian. Bagaimana pendidikan mampu mendorong kreatifitas teknologis untuk mensiasati keterbatasan fisiologis dann kualitas kinerja yang mampu menjamin keberlanjutan kerja produktif dan reproduktif.
  3. Kecerdasan pikir. Bagaimana pendidikan mampu membedah ruang bagi penguatan sikap kritis dan kemampuan analitis atas berbagai fenomena inderawi dan kognisi yang ada dan mengendap dalam realitas hidup masyarakat, sehingga secara materiil proses dan aktifitas kreatif memperoleh referensi dialektiknya dengan realitas.
  4. Kepekaan jiwa. Bagaimana pendidikan mampu membangkitkan daya afektif yang mendasari interaksi dan interrelasi antar sesama manusia dan lingkungannya sehingga manusia mampu membentuk entitas sosial yang utuh. Ini menyangkut proses institusionalisasi yang interaktif dalam pembangunan sistem nilai, norma dan tata aturan yang menjadi acuan berbagai tindakan hubungan antar manusia, adanya tanggung jawab sosial, kemanusiaan dan lingkungan dalam suatu daur hidup (ekosistem).
  5. Ketulusan hidup. Bagaimana pendidikan membangun basis kesadaran manusia secara interaktif dengan realitas kesemestaan yang dialektis, sehingga manusia mampu menyerap kesemestaan diri (micro-cosmos) seru sekalian alam (macro-cosmos) sebagai daya, energi dan spirit hidup. Spiritualisme dan religiusitas dalam tradisi apapun (keagamaan langit, keagamaan bumi maupun berbagai jenis kepercayaan) merupakan bentuk apresiasi dan ekspresi adanya kesadaran ketulusan hidup.

3.2. Metodologi Pendidikan: Tiga Muatan Dasar


Operasionalisasi proses pembelajaran dalam pendidikan rakyat merdeka yang secara substansi merupakan upaya membangun dan membangkitkan kembali kedaulatan rakyat, secara integratif diberikan 3 (tiga) muatan dasar.

Pertama, ”muatan teknis” yang berintikan aspek-aspek yang berkait dengan interaksi produktif/reproduktif dengan lingkungan materiil sebagai basis sumberdaya kelangsungan hidup dan perubahan.

Kedua, ”muatan teoritik” yang berintikan aspek-aspek bangunan kesadaran kritis dan kemampuan analitik terhadap realitas yang berkembang.

Ketiga, ”muatan pengorganisasian” yang berintikan aspek-aspek yang berkenaan partisipasi dari keseluruhan elemen, komponen dan subyek pembelajaran.

Pendidikan untuk membangun dan membangkitkan kembali kemerdekaan manusia dan kedaulatan rakyat, pada keseluruhannya, menuntut intensitas keterlibatan dan perluasan ruang dialogis yang realitas sesungguhnya sangatlah kompleks. Diperlukan upaya yang lebih sistematik untuk menyusunnya sehingga dapat diperoleh kaidah-kaidah dasar pendidikan yang operasional dan terukur. Sekalipun demikian, pokok-pokok terurai memang tidak dapat diabaikan dan ditinggalkan.



4. Strategi Pendidikan Merdeka dan Berdaulat

Pertama, proses konseptualisasi harus sejak awal tegas memposisikan rakyat sebagai subyek yang berkedaulatan dan merdeka dalam penyelenggaraan tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Pada posisi demikian harus melihat dan mendudukkan secara tegas entitas rakyat sebagai subyek dalam interelasinya dengan kewilayahan sebagai basis sumberdaya penghidupan dan pemerintahan sebagai sumberdaya “manajerial.” Konstitusi adalah sistem nilai bersama yang menjadi preferensi kultural dan referensi tindakan atas hubungan-hubungan tersebut dikonstruksikan. Alam konteks demikian, watak hubungan dalam proses pembelajaran bahwa “semua orang itu guru, semua tempat itu sekolah” dan hak-hak kemanusiaan warga dan rakyat untuk secara intensif mengembangkan dan menguatkan semangat dan jiwa merdeka memperoleh pijakan penghargaan dan penghormatan konstitusional.

Kedua, posisi manusia dan rakyat sebagai subyek dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara luruh dan menyatu dengan melihat 5 (lima) parameter guna pembuktian pemenuhan hak merdeka dan berdaulat. Ini berkait dengan bagaimana rakyat memperoleh jaminan kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya bagi perkembangan dan kemajuan, mendapat keleluasaan untuk mengembangkan dan menguatkan kesadaran dan sikap kritis-kreatifnya, keleluasaan partisipatoris dalam beraspirasi, berinisiatif dan menyampaikan kepentingan hidup kewargaannya, serta dapat melakukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban sebagai bagian dari hak keberdaulatan rakyat dalam penyenyelenggaraan negara dan pemerintahan. 

Ketiga, penguatan kedaulatan rakyat selalu dilandasi oleh kapasitas keberdayaan rakyat secara perseorangan (manusia) maupun kelompok dan kemasyarakatan. Proses pendidikan yang memerdekakan secara operasional memuati prinsip-prinsip penguatan kapasitas tersebut, yakni: keterampilan kerja, keahlian teknis, kecerdasan pikir, kepekaan jiwa dan ketulusan atau spiritualitas hidup. Untuk mewujudkan ini operasionalisasi pembelajaran dan pendidikan, keempat, prinsipil mengintegrasikan 3 muatan dasar: teknis, teoritik dan pengorganisasian.

Akhirnya, kelima, bagaimana model dan pengalaman pendidikan dan pembelajaran dialogis yang telah dilakukan dan dikembangkan sebagai “enclave budaya” ditengah arus gelombang pendidikan yang pragmatik-materialistik dapat dikaji bersama. Sharing pengalaman dan kajian yang dialogis akan melahirkan pengalaman bersama dan membuka ruang bagi pembangunan model dan pendekatan pendidikan dan pembelajaran yang secara sistemik lebih progresif dan membuka ruang kemerdekaan dan kedaulatan.

Disampaikan untuk Perguruan Rakyat Merdeka sebagai awalan dan bahan diskusi:
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”

Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05
RP/WG



Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka: Bahan Diskusi 2

"MEMBANGUN JIWA MERDEKA"


“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.” (Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945)


Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 disiapkan para founding fathers sebagai suatu sikapan dan keputusan politik yang brilian atas momentum yang “ditunggu-tunggu” datangnya. Esuk hari, 18 Agustus 1945, baru dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasa disebut singkat Republik Indonesia. Penetapan Negara ini adalah penetapan keputusan substansi, yakni: cakupan wilayah dan kewargaan, konstitusi dan pemerintahan Negara yang berdaulat dengan segenap kelengkapan fungsionalnya. Ini penting disebut guna menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan merupakan pernyataan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah komunitas bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berdaulat dan terdiri dari manusia-manusia merdeka dan berdaulat. Bukan terdiri dari manusia-manusia yang diperbudakkan. Manusia Indonesia yang merdeka inilah entitas rakyat Indonesia berdaulat yang juga disebuat sebagai bangsa Indonesia. Sebagai bangsa merdeka dan berdaulat menjadi sepenuhnya hak kebangsaan untuk membentuk negara merdeka, menetapkan perangkat dan sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna pelayanan dan kelangsungan hidup seluruh rakyat dan komponen bangsa.
Membuka ruang kemerdekaan dan menguatkan kedaulatan rakyat baik sebagai pribadi, kelompok, golongan dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara, merupakan kewajiban pemerintah dan penyelenggara negara. Sistem politik, hokum, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan sepenuhnya diselenggarakan dan dikelola untuk menjamin kelangsungan hidup rakyat yang merdeka dan berdaulat. Jaminan akan harkat dan martabat hidup manusia yang berkeadilan dan beradab. Ini merupakan tantangan sejak kemerdekaan diproklamasikan dan bangun negara ditetapkan. Bagaimanapun disadari bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa dan pendirian negara berdaulat, merupakan buah sikap dan keputusan politik yang brilian, spektakuler dan menuntut penerusan sebagai perikehidupan rakyat dalam penyelenggaraan negara. Sedangkan pengalaman hidup rakyat adalah praktek penindasan dan marginalisasi baik oleh penguasa lokal yang feudal dan imperialisme pemerintahan kolonial.
Pendidikan bagi seluruh rakyat menjadi kebutuhan substansi yang mendesak dan menuntut terus-menerus dikembangkan untuk membangun, menguatkan dan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan. Hanya dengan rakyat yang merdeka dan berdaulat, bangsa dan negara mampu melangsungkan kedaulatan dan kemerdekaannya. Jika maklumat Sultan Jogyakarta dan Paku Alam menjadi titik awal pembelajaran demokrasi dan pewujudan kedaulatan bagi rakyat dalam sebuah negara merdeka, dunia pendidikan seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan lainnya menjalankan praktek pendidikan sebagai counter-culture terhadap praktek pendidikan kolonial. Tentunya semua itu untuk membangun landasan semangat dan jiwa manusia merdeka.


1. Pendidikan – semua orang guru, semua tempat sekolah
Hakikat pendidikan adalah membuka ruang seluas-luasnya bagi terciptanya harkat kemanusiaan yang cerdas, bermartabat dan beradab. Pendidikan demikian bukan merupakan sistem yang dikemas secara kurikuler untuk mencetak manusia pekerja guna memenuhi kebutuhan “tenaga produksi” dari mesin besar kapitalisme. Pendidikan di sini untuk membangkitkan harkat manusia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya sebagai pribadi utuh di dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, juga alam dan kesemestaanNya. Manusia merdeka dan berdaulat adalah warga kemanusiaan yang hidup, menyejarah, berkebudayaan, beradab dan berketuhanan. Pendidikan merupakan perangkat dan perilaku kultural membangkitkan harkat kemanusiaan guna menegaskan dan menguatkan posisi dasar manusia sebagai makhluk berakal-budi secara turun-temurun, lintas generasi, lintas sosial, lintas ruang dan waktu. 
Pendidikan sebagai prosesi budaya merupakan tradisi pembebasan manusia dari keterkungkungan dan keterbatasan hidup yang imanen (duniawi, dharma) guna mencapai keleluasaan hidup yang transenden (surgawi, karma). Dalam prosesi budayanya manusia mengembangkan interaksi dialogis dengan realitas yang dihadapi untuk secara dialektik membangun dan menguatkan kapasitas dan kualitas kemanusiaan. Peningkatan kapasitas dan kualitas kemanusiaan ditampakkan dengan dimilikinya 5 (lima) pilar keutamaan manusia yang kamil, yakni: keterampilan kerja, keahlian teknis, kecerdasan pikir, kepekaan jiwa dan ketulusan hidup.
Keterampilan kerja berkait dengan kapasitas manusia untuk melakukan pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup. Kemampuan untuk menjalankan proses produksi dan reproduksi. Keahlian teknis sebagai upaya kreatif manusia untuk mensiasati keterbatasan fisiologis guna memperoleh jaminan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup. Kecerdasan pikir merupakan kemampuan nalar kritis dan analitis atas berbagai fenomena yang dapat ditangkap dari realitas hidup secara inderawi maupun kognisi. Nalar kritis dan analitis mendasari proses dan aktifitas kreatif.
Kepekaan jiwa adalah kemampuan afektif yang mendasari interaksi dan inter-relasi antar sesama manusia dan lingkungannya, sehingga membentuk suatu entitas sosial yang utuh, baik pada cakupan wilayah sosial kecil yang disebut keluarga, lingkungan ketetanggaan dan pergaulan (komunitas) maupun bangun masyarakat yang luas dan kompleks (society). Ini melandasi adanya sistem nilai, norma dan tata aturan yang menjadi acuan berbagai tindakan hubungan antar manusia, adanya tanggung jawab sosial, kemanusiaan dan lingkungan dalam suatu daur hidup (ekosistem).
Ketulusan hidup merupakan bangun kesadaran manusia dalam entitas kesemestaan yang dialektis. Ini berkait dengan kesadaran kemanusiaan akan berbagai unsur dan elemen dalam entitas “seru sekalian alam” yang menjadi daya, energi dan spirit hidup. Spiritualisme dan religiusitas dalam tradisi apapun (keagamaan langit, keagamaan bumi maupun berbagai jenis kepercayaan) merupakan bentuk apresiasi dan ekspresi adanya kesadaran ketulusan hidup.
Kelima pilar keutamaan tersebut secara bersama-sama yang membangun dan melandasi sikap dan perilaku hidup manusia sesuai harkat, martabat dan adab kemanusiaannya. Pendidikan memperoleh landasan universalnya dari pokok ini.
Manusia dalam realitasnya berada pada kondisi fisiologis yang berbeda-beda, sehingga memperoleh tantangan psikologis dan sosial yang berbeda-beda pula perwujudannya. Orang daratan dengan orang laut berbeda. Orang gunung, ngarai dan pantai berbeda. Orang-orang di lingkungan tropis, sub-tropis dan kutub tentu berbeda pula. Begitupun dengan orang di lingkungan pertanian, industri, perdagangan, perdesaan, perkotaan dan sebagainya. Realitas yang berbeda-beda tentu mendorong proses budaya yang akan melahirkan sistem peradaban, tata nilai, norma, adat-istiadat dan kebiasaan hidup yang secara spesifik berbeda-beda pula. Bagaimana cara-cara pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, pengembangan teknologi, sistem berpikir, bangunan sosial sampai apresiasi dan ekspresi spiritual tentu memiliki perbedaan.
Hubungan antar komunitas yang sekaligus merupakan interaksi budaya, apapun alasan dan kepentingannya, secara “natural” akan membangun persinggungan dan kemiripan-kemiripan budaya serta menggerakkan proses perubahan sosial. Perubahan dan perkembangan sosial secara sangat dipengaruhi signifikan oleh intensitas hubungan sosial. Kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi mendorong peningkatan intensitas hubungan dan perubahan sosial. Saat ini boleh dikatan tidak ada lingkungan komunitas sosial yang sungguh-sungguh terisolasi. Semua berpeluang untuk saling berhubungan dan membangun persamaan-persamaan, namun semua perbedaan pada kadar masing-masing tetap ada. Perbedaan ini menyangkut ciri-ciri dan karakter pribadi, budaya dan sosial yang sangat diwarnai oleh realitas empirik dan menunjukkan otoritas dan entitas yang otonom untuk saling mengenal, memahami, menghormati dan menghargai. Begitupun pada tingkat perbedaan pada lintas jenjang atau generasi.
Terbukanya peluang interaksi antar manusia dengan tetap menghargai kapasitas, otoritas dan otonomitas masing-masing pihak, sehingga terjadi proses pertukaran pengalaman dan pemikiran antar subyek belajar yang otonom, merupakan substansi dari pendidikan sebagai proses pembelajaran. Inilah hakekat dari “semua orang itu guru.” Ini menyangkut hubungan-hubungan antar subyek (orang/manusia) dalam proses (belajar) bersama secara cair, penuh keakraban, saling menghormati dan menghargai. Tidak pandang bulu untuk diterapkan pada segala umur dan tingkatan, sebab ini menyangkut metode dan pendekatan. Menyangkut bangunan sistem nilai hubungan antar manusia dalam proses pendidikan atau pembelajaran secara terus-menerus.
Interaksi intensif yang cair, akrab, penuh penghormatan dan penghargaan bahwa “semua orang itu guru” memerlukan “ruang bertemu.” Ruang bertemu inilah sesungguhnya wahana interaksi dan komunikasi bagi terciptanya proses pertukaran pengalaman, pemikiran dan pemahaman secara dialogis, sehingga substansi materiil dari obyek pembelajaran diperoleh. Keterbatasan ruang bertemu akan berarti keterbatasan kesempatan berinteraksi dan komunikasi yang berakibat pada pemiskinan perolehan informasi dan obyek materiil pembelajaran lain. Pemiskinan yang justru hanya akan memberi hambatan dan keterlambatan bagi perkembangan dan perubahan menuju kemajuan, baik sebagai pribadi maupun entitas sosial. Wahana interaksi dan komunikasi dialogis yang dimaksudkan sebagai wilayah empiris sekaligus kognitif yang terbuka, penuh keleluasaan dan aksesibel bagi setiap orang secara pribadi maupun sosial. Wilayah atau ruang ini dapat dimana saja dan kapan saja. Inilah substansi dari “semua tempat itu sekolah.” Sehingga terpahami oleh setiap orang/manusia sebagai subyek belajar, bahwa sekolah itu bukan sekedar bangunan gedung sekolahan belaka tetapi juga rumah, halaman, jalan-jalan, sawah, ladang, hutan, gunung, warung, perkantoran, tempat ibadah, pemandian umum dan seterusnya.
Semua orang itu guru, semua tempat itu sekolah. Belajar untuk membangun, mengembangkan dan menguatkan harkat manusia yang cerdas, bermartabad dan beradab sehingga memiliki kapasitas keterampilan kerja, keahlian teknis, kecerdasan pikir, kepekaan jiwa dan ketulusan hidup dapat dilakukan dengan/bersama siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Di sini sesungguhnya hakekat dari pendidikan sebagai jalan membangun harkat dan martabat kemanusiaan secara beradab. Pendidikan yang bukan sekedar “mencetak” manusia-manusia pekerja atau robot-robot hidup yang hanya berguna sebagai bagian dari komponen-komponen sistem mekanik bagi proses produksi kapitalisme. Apakah pendidikan ini dijalankan dalam sistem kelembagaan pendidikan formal, informal maupun non-formal, substansinya adalah mendorong bertumbuhnya dan menguatnya keberadaan manusia-manusia berbudi luhur, manusia yang kritis, kreatif dan bertanggung jawab. Manusia yang utuh: insan-kamil. 
 

2. Rakyat – entitas yang otonom dan berdaulat
Interaksi manusia antar sesama mereka serta alam dan lingkungan materiilnya membangun sistem hidup bersama. Alam dan lingkungan yang memberi tempat dan menyediakan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Sistem hidup ini mengandungi keberadaan: aktifitas kerja produksi dan reproduksi untuk keberlangsungan hidup bersama; teknologi dalam takaran materiil maupun non-materiil untuk kecekatan dan keberlanjutan hidup; seperangkat pengetahuan, sistem berpikir dan keilmuan bagi kecerdasan nalar bersama; ada sistem nilai, norma, aturan dan kelembagaan yang menjadi preferensi tindakan dalam sistem hidup bersama; serta, ada daya hidup bersama yang terekspresikan dalam berbagai bentuk spiritualitas dan religiusitas. Kebersamaan hidup demikian, disadari maupun tidak, diikat oleh komitmen untuk membangun suatu entitas bersama. Ini menyangkut persenyawaan aspirasi, inisiatif dan kepentingan bersama, dengan tanpa menafikan, tetap menghormati dan menghargai entitas pribadi maupun kelompok dengan otoritas otonomnya, sehingga mewujud dan terorganisasikan sebagai komunitas sosial. Inilah rakyat!
Kelangsungan hidup bersama sesuai harkat dan martabat kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan kepentingan dasar rakyat. Untuk mengelola sistem hidup bersama dalam proses kehidupan, kesejarahan hidup rakyat membangun sistem nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang menjadi preferensi budaya dan acuan tindakan setiap manusia dan komponen kehidupan sosial. Hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya atas manusia sebagai “rakyat biasa” maupun para elit dan pemimpin. Namun kesejarahan hidup rakyat yang mampu membangun sistem hidup secara otonom dan berdaulat, teringkari oleh relasi kekuasaan pemerintahan yang tidak menoleh pada otoritas rakyat yang otonom dan berkedaulatan. Feodalisme dan imperialisme telah menghisap habis-habisan otoritas rakyat yang otonom dan berdaulat, sehingga hak atas hasil bumi dan keringatnya sendiri.
Bangunan negara setelah proklamasi kemerdekaan disusun atas sistem pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan rakyat, republik...kembali pada daulat rakyat! Sebagai telah disinggung di muka, bahwa untuk membangkitkan kembali kedaulatan rakyat dilakukan pelembagaan otonomi dan demokrasi dalam penyelenggaraan negara sampai ke tingkat struktur wilayah basis negara, yakni desa atau kelurahan. Otonomi adalah menyangkut otoritas rakyat setempat dalam penyelenggaraan hidup dan pemerintahan secara merdeka dan berdaulat sebagai bagian utuh dari sebuah negara yang merdeka dan berdaulat pula. Ini berkait dengan kapasitas rakyat yang dikuatkan secara terus-menerus untuk mengelola berbagai sumberdaya yang dimiliki secara lestari, proses produksi, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai kearifan sosialnya, melakukan pembiayaan dalam pengelolaan hidup dan pemerintahannya, mengembangkan toleransi, afeksi dan solidaritas sosialnya baik antar warga maupun dengan wilayah sosial lainnya, dan seterusnya. Dalam konteks ini rakyat merdeka.
Demokrasi adalah menyangkut hak dan kewajiban rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Keterlibatan rakyat berkait dengan partisipasi (bukan mobilisasi legitimasi) dan kontrol (bukan justifikasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ini berarti pengakuan, penghormatan dan penghargaan sepenuh-penuhnya atas otoritas rakyat. Pengungkapannya adalah dengan kemerdekaan rakyat untuk berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat. Pengungkapan, penyampaian dan penggalangan aspirasi, inisiatif dan kepentingan menjadi hal yang sangat substansi. Kelembagaan-kelembagaan demokrasi seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat semata-mata untuk menjadi representasi formal rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pengorganisasian dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dalam konteks penyelenggaraan negara dan pemerintahan adalah koridor politik yang menghubungkan hal-hal yang berkembang di tingkat akar rumput (rakyat) dengan elit (wakil rakyat dan pemerintah). Ini berkait dengan kapasitas rakyat untuk “berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat,” serta menjalankan pemantauan dan pengawasan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan melalui mekanisme demokrasi. Disini rakyat berdaulat.
Menilik pada kekhususan antar wilayah dimana komunitas rakyat bertinggal, otonomitas setempat akan mendasari pilihan-pilihan inter-relasi antar komunitas dari berbagai wilayah untuk saling “berbagi.” Bagaimana hal-hal yang menjadi kelebihan dari suatu komunitas dapat tersalurkan untuk memenuhi hal sama yang menjadi kekurangan di komunitas lain, sebaliknya suatu komunitas dapat berhubungan dengan komunitas lain untuk memperoleh pencukupan atas kekurangan yang dimilikinya yang menjadi kelebihan di komunitas lainnya. Sedang komunitas lain lagi, sebab posisinya yang strategis sebagai penghubung antar komunitas di wilayah berbeda-beda, memainkan peran sebagai perantara, peran transito. Hubungan pertukaran ini dalam bahasa ekonomi lajim disebut “perdagangan” atau “pasar,” sesuatu yang dipertukarkan boleh jadi berupa barang ataupun jasa. Pertemuan-pertemuan demikian akan selalu diikuti dengan pertukaran informasi dan pengetahuan, sehingga memperluas pengalaman, pengetahuan, keilmuan, solidaritas dan pemahaman akan keberagaman serta kemanfaatan dari semuanya untuk perkembangan dan kemajuan. Selanjutnya “pertukaran” demikian akan berkembang menjadi proses sharing dan dialog menyangkut berbagai aspek persoalan, pemahaman dan kepentingan sampai upaya-upaya mempertemukan dan mengorganisasikan aspirasi, inisiatif dan kepentingan bersama. Substansi bagi proses rakyat melakukan pengorganisasian untuk mencapai perkembangan dan kemajuan dengan dilandasi otoritasnya yang otonom dan dituntut oleh entitasnya yang berdaulat.
Dengan memahami otoritas rakyat yang otonom dan kemerdekaannya yang berdaulat, sesungguhnya peri-kehidupan rakyat sangat bergantung rakyat sendiri untuk menjawab tantangan, mengembangkan potensi dan menjalin hubungan-hubungan bagi penguatan harkat dan martabat hidupnya. Negara sesungguhnya merupakan suprastruktur keorganisasian rakyat, pemerintahan adalah tata pengelolaan peri-kehidupan negara sehingga mampu mewujudkan harkat dan martabat peri-kehidupan rakyat yang menjadi aspirasi, inisiatif kepentingan dasar mereka. Keterbukaan ruang bagi rakyat untuk mengembangkan kapasitas diri seluas-luasnya berarti menguatkan entitas, harkat dan martabat kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Pembatasan-pembatasan terhadap peluang rakyat untuk mengetahui dan memahami persoalannya, mengembangkan aspirasi untuk mensikapi realitasnya, menjalankan proses kreatif untuk berinisiatif atas upaya mencapai perkembangan dan kemajuan, membangun upaya strategis dengan merumuskan kepentingan bersama, serta menjalankan hubungan luas untuk menguatkan dukungan dan pengorganisasian bersama, sama artinya dengan menafikan otonomitas dan kedaulatan rakyat. Rakyat akan sulit mengalami perkembangan dan kemajuan. Harkat dan martabatnya terabaikan. Akibatnya, tata kehidupan berbangsa dan bernegara pun akan kehilangan harkat dan martabat serta tidak diperhitungkan dalam tata pergaulan dunia yang berperi kemanusiaan.

3. Merdeka – harkat dan martabat kemanusiaan
Secara harfiah merdeka berarti tidak menjadi budak. Tidak menjadi milik dari pihak lain. Nasib, hidup dan mati tidak ditentukan oleh pihak lain. Merdeka berarti menjadi penentu atas diri sendiri. Nasib, hidup dan masa depannya ditentukan oleh diri sendiri. Merdeka itu menjadi pribadi yang utuh di tengah tata pergaulan sosial dengan selalu menghormati dan menghargai pribadi lain yang juga utuh dan merdeka pula. Tidak ditindas, tidak menindas. Itulah merdeka. Ini merupakan nilai dasar kemanusiaan.
Menjadi pribadi yang utuh dan merdeka, menuntut kearifan untuk melihat dan menempatkan diri di tengah realitas dan lingkungannya, serta melihat dan menempatkan realitas dan lingkungan di dalam dirinya. Manusia sebagai pribadi beserta realitas dan lingkungannya merupakan sistem hubungan yang interaktif. Tentunya pada diri pribadi yang utuh dan merdeka pada tingkat lanjut mengandungi semangat “memerdekakan” yang berarti tidak dapat menerima penindasan baik atas diri sendiri maupun atas orang lain. Berbagai cerita kepahlawanan dari para Nabi dan Rasul di masa lalu sampai para aktifis gerakan pembebasan, gerakan pro-demokrasi, penegakan HAM, gerakan buruh sampai gerakan pemerintahan bersih secara substansi adalah gerakan “pembebasan” atau “pemerdekaan” manusia dari situasi dan berbagai ancaman perbudaan, penindasan dan perlakuan tidak adil.
Proses pendidikan yang dialami setiap manusia sejak kelahirannya selalu mengarah pada pemampuan untuk mandiri dan merdeka. Ini dapat diamati dari tahapan-tahapan proses tumbuh-kembang anak secara “alamiah” sejak baru lahir di lingkungan keluarganya. Bagaimana bayi dituntun oleh nalurinya untuk belajar menyusu, merasakan sekitarnya, mendengar, melihat, mengenali, berkata-kata, makan, berjalan sampai kemudian bermain dan melakukan berbagai aktifitas secara mandiri, memasuki usia dewasanya mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang bertanggungjawab pada diri dan lingkungannya. Pada masanya manusia memiliki pengalaman survival dan membangun relasi dengan lingkungan sosial dan alamnya, kemudian melatih diri dan terus meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja untuk kelangsungan hidup, mengembangkan kemampuan teknis dan teknologis, melakukan penalaran dan analisis terhadap realitas yang dihadapi, mengembangkan dan menguatkan daya afektif, sampai kemudian mewarisi spiritualitas hidup yang selalu dikembangkan dan dikuatkan. Setiap manusia, setiap kelompok masyarakat dan komunitas rakyat mengandungi kapasitas dimaksud serta mengetahui dan memahami apa yang menjadi kehendak hidup mereka secara pribadi maupun bersama-sama. Dengan otoritasnya manusia membangun kebudayaan dan peradabannya.
Sesungguhnya, jika dilihat secara spesifik dan agak simplistis, komunitas rakyat pedalaman yang agraris akan secara intens membangun kebudayaan dan peradaban pertanian dan semangat agrarisnya. Komunitas rakyat pesisir dan kepulauan membangun kebudayaan dan peradaban pesisiran/kelautan dengan semangat maritimnya. Komunitas rakyat industrial membangun kebudayaan dan peradaban industri dengan semangat industrialnya. Komunitas rakyat buruh dalam wilayah sosial manapun bukanlah budak. Seperti yang lain mereka juga membangun kebudayaan dan peradaban kerja dengan semangat solidaritas perburuhan atas hubungan kerja yang menjunjung harkat dam martabat kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian seterusnya hal-hal yang spesifik kemudian diinteraksikan dan membangun komunitas rakyat yang holistik dan heterogen dengan pola dan sistem hubungan yang kompleks. Secara substansi hal-hal kehidupan sehari-hari manusia mengembangkan otoritasnya yang otonom dan merdeka. Dalam setiap komunitas rakyat sesungguhnya terdapat pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok yang memiliki kekhususan-kekhususan untuk saling dipertukarkan dan melengkapi, sehingga terbangun tata kehidupan bersama yang tidak sederhana dan rumit.
Hubungan kekuasaan atas sumberdaya politik, ekonomi, sosial dan budaya memiliki kecenderungan yang hegemonik. Elit selalu berusaha mengambil peran dan posisi yang dominan, mensubordinasikan peran dan posisi rakyat pada umumnya serta dengan berbagai cara mempertahankan status-quo. Klaim dan manipulasi kepentingan komunitas rakyat dilakukan sebagai upaya justifikasi tindakan elit. Ruang-ruang dialogis yang memungkinkan komunitas melakukan penguatan kapasitas ditutup. Kulturasi sikap pikir dan tindakan pragmatik-materialistik merupakan upaya yang efektif dan efisien untuk membuntu setiap katub ruang dialogis tersebut. Dengan pragmatisme materialistik manusia dikondisikan untuk tidak realistas secara dialektik, tetapi semata bertumpu pada situasi kekinian secara ahistoris. Pembodohan dan penindasan secara sistemik mulai dari situasi ini dan kapitalisme global dengan neo-liberalismenya memiliki perangkat kulturasi yang sangat sophisticated, persuasive dan massive. Isu-isu tentang spesialisasi dan profesionalisme misalnya, bukan berarti hal ini tidak penting dan malah sangat penting, namun proses kulturasi yang dilakukan malah menafikan keutamaan manusia yang historis dan utuh serta menempatkannya semata sebagai skrup dan elemen dari mesin besar proses produksi kapitalisme. Konsumtifisme didorong oleh sistem promosi dan periklanan sampai ketingkat massive sampai hampir setiap individu dan rumah tangga tak dapat menolak, sehingga tidak tersisa energi untuk berpikir hal lain kecuali memenuhi dorongan kerakusan konsumtifnya. Korupsi dan berbagai praktek manipulasi dan penindasan menguat pada titik ini. Substansi keberdaulatan manusia dan rakyat dinafikan, demokrasi dimaterialkan dalam hitungan angka semu serta direduksi semata sebagai legitimasi dan justifikasi hegemoni operasi kapitalisme yang pragmatik-materialistik.
Substansi merdeka adalah kembali pada harkat dan martabat kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini sikap dan jiwa yang otonom dan berkedaulatan. Diperlukan ruang dialogis yang memungkinkan setiap orang dari berbagai latar belakang dapat saling bertemu dimana dan kapan saja serta menjalankan proses “pembelajaran” bersama secara intens. Ditengah situasi sosial yang hegemonik, pragmatis dan materialistik hanya ruang dialogis yang terbuka luas memungkinkan usaha pewujudan manusia merdeka. 

4. Praksis _ pendidikan sebagai oposisi kebudayaan
Proses pendidikan yang mempertemukan setiap orang sebagai subyek, sehingga berperan sekaligus menjadi guru dan murid dalam proses dialogis pembelajaran, dapat dilangsungkan kapan saja dan dimana saja. Tumpuannya kesadaran diri untuk terus meningkatkan kapasitas kemanusiaan serta kesediaan berproses. Ini adalah pendidikan dalam praktek hidup sehari-hari. Biasa disebut sebagai pendidikan informal. Tentunya pendidikan demikian tidak ada ijasah maupun sertifikat. Tidak ada hubungannya dengan orang pemenuhan syarat-syarat resmi yang biasa dituntut oleh lembaga penyedia pekerjaan atau lainnya. Disadari maupun tidak disadari, setiap orang menjalaninya sejak lahir sampai menjelang ajal, yang terbangun adalah jiwa dan watak kemanusiaan yang otonom dan berdaulat. Proses ini yang secara “alamiah” membangun realitas sosial.
Pelembagaan pendidikan yang terstruktur dan sistematik memberikan transfer berbagai ilmu dan pengetahuan secara sistematik, sehingga penguasaan keahlian dan intelektualitas mengalami proses percepatan dari pada cara-cara yang “alamiah.” Secara fungsional menjawab kebutuhan strategis perkembangan masyarakat ke masa depan dengan keberadaan manusia-manusia yang memiliki harkat kemanusiaan yang cerdas, bermartabad dan beradab. Manusia unggul yang akan selalu memimpin masyarakatnya ke arah tata kehidupan yang lebih baik. Di masa lalu pendidikan terstruktur dan sistematik ini banyak dilakukan oleh kalangan elit di istana. Kerabat istana, terutama putera mahkota, selalu disiapkan menjadi “manusia unggul” dan diberikan pendidikan filsafat, ketatanegaraan, hukum, seni, sastra dan keahlian berperang. Dari luar kalangan istana dengan cakupan keilmuwan lebih terbatas dilakukan oleh kalangan “elit lokal.” Di alam kebebasan yang menghargai harkat dan martabat kemunusiaan secara adil dan beradab, praktek pendidikan yang terstruktur dan sistematik dikembalikan pada semangat “alamiahnya.” Yakni, pendidikan bagi semua orang, tanpa membedakan status sosial dan kewargaan. Arahnya, membangun harkat manusia yang cerdas, bermartabat dan beradab sebagai dasar nilai kemanusiaan yang otonom dan berdaulat. Pendidikan terstruktur dan dikelola dalam kesatuan sistem kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan diistilahkan sebagai “pendidikan formal.”
Dalam konstruksi masyarakat, pendidikan memiliki watak dasar yang progresif, oposisional dan anti-establisment. Ia melahirkan manusia-manusia baru di jamannya yang tiada hentinya menuntut dan mendesakkan perkembangan dan pembaharuan. Brahmana Lohgawe di akhir Kejayaan Kediri menyelenggarakan pendidikan di bawah tekanan Raja Kertajaya dari Wangsa Erlangga yang represif terhadap penganut Shiwa dan Budha dan melahirkan Arok sebagai sang pembaharu. Gerakan kaum santri yang dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Ampel, Giri, Bonang, Kalijaga dan lainnya serta gerakan tasawuf Siti Jenar di akhir kejayaan Majapahit mampu melahirkan Demak dan Pajang yang menjembatani lahirnya dinasti Mataram. Pujangga Ronggowarsito dengan ketajaman intelektualitasnya lahir dari kantong-kantong pendidikan yang melawan kompeni dan mampu melakukan praksis untuk menjaga sikap dan jiwa merdeka dikalangan bangsawan dan priyayi Jawa. Gerakan penyadaran yang dilakukan Wahidin di Jakarta, Cokroaminoto di Surabaya berlanjut dengan gerakan kebudayaan yang ditempuh melalui pergerakan Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantoro serta gerakan islam modernis Muhammadiyah maupun islam tradisional Nahdlatul Ulama dan lainnya memberi landasan bagi penguatan pergerakan politik kemerdekaan. Tidak berlebihan untuk menyatakan, bahwa masa depan suatu masyarakat ditentukan oleh penyelenggaraan pendidikannya. Realisme dalam dunia praksis pendidikan merupakan proses budaya yang berdimensi panjang dan lintas generasi, sehingga ia memiliki sifat “generik” yang historis (menyejarah) dan berwatak konstruktif bagi kelangsungan hidup masyarakat, manusia dan realitasnya.
Realitas pendidikan dengan nilai, sikap, watak dan daya pengaruhnya juga dikonstruksi untuk masuk dalam sistem dan strategi status-quo bagi pemegang hegemoni kekuasaan dan modal. Umumnya dengan berdalih demi kemajuan dan kesejahteraan hidup rakyat, pemandulan watak progresif pendidikan dilakukan dengan pembelokan substansi pendidikan yang “memerdekakan” menjadi pendidikan sebagai upaya penyiapan dan pemenuhan kebutuhan tenaga manusia sebagai sumberdaya bagi proses produksi. Seperti praktek pendidikan formal di jaman kolonial. Pemerintah kolonial yang memperoleh desakan Eropa dan membuka pintu ekonomi bagi pemodal asing, ada kebutuhan tenaga “terdidik” untuk mengisi pekerjaan jenis “kerah putih” di lapis bawah sebagai juru tulis, mandor dan pamong-praja. Pendidikan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hanya dapat diikuti oleh kalangan elit, sekurangnya anak-anak Lurah atau Carik Desa, dengan target utama kemampuan praktis: baca, tulis, hitung dan menghapal peraturan-peraturan. Sekolah guru rendah diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan guru. Kebutuhan tenaga untuk pelayanan dipenuhi dengan pendidikan Sekolah Dokter Jawa. Sekolah pamong praja untuk pekerja administrasi pemerintahan dan seterusnya. Penyelenggaraan pendidikan dikontrol ketat dan menjadi program resmi pemerintah. Semua dikendalikan dan dikontrol sampai diperoleh kedisiplinan proses belajar-mengajar yang sangat massive. Ini masa awal tonggak sistem dan struktur pendidikan formal dikukuhkan dan langsung diinteraksikan dengan kebutuhan pasar kerja. Begitu pun dengan penetapan target pendidikan formal untuk menghasilkan lulusan dan sarjana “siap pakai” di era Orde Baru, memiliki semangat yang kurang-lebih sama dengan penyelenggaraan pendidikan sebagai “penyedia tenaga kerja” yang siap pakai oleh pasar kerja.
Penerapan politik pendidikan yang diorientasikan untuk “mencetak” dan “menyediakan” tenaga kerja siap pakai pada masa paska kemerdekaan, khususnya Orde Baru, adalah bagian dari 3 tiga pilar strategi politik pemerintahan yang sentralistik dan hegemonik. Stabilitas politik diimplementasikan sebagai praktek depolitisasi dengan kebijakan massa mengambang yang sekaligus menutup ruang otonomi dan kedaulatan rakyat untuk selalu mengembangkan sikap kritisnya. Pertumbuhan ekonomi diimplementasikan dengan penerapan teknologi dalam inustrialisasi, pertambangan dan paket tyeknologi pertanian sebagai upaya percepatan produksi nasional dan peningkatan agregat pendapatan nasional melalui pemasukan devisa negara. Pemerataan pembangunan diimplementasikan sebagai distribusi kapital di berbagai kawasan industri sebagai satelit pertumbuhan yang substansinya adalah eksploitasi sumberdaya lokal dan eksploitasi potensi rakyat sebagai pasar. Pendidikan dengan orientasi tersebut diperkuat dengan kebijakan kurikulum terpusat dan sistem akreditasi. Akibatnya, potensi-potensi pendidikan humanis yang telah dirintis sejak sejak masa kolonial sebagai oposisi terhadap budaya kolonial seperti dilakukan Taman Siswa, Muhammadiyah dan berbagai lembaga perguruan partikelir lain diseret paksa masuk dalam arus utama yang diseragamkan. Malahan pondok pesantren sebagai kantong dan benteng pendidikan alternatif di luar strutur formal pun terseret arus ke dalamnya. Pendidikan terancam kehilangan roh dan jiwanya. Pada sisi lain, potensi-potensi kritis yang berkembang di kantong-kantong perguruan tinggi, organisasi pelajar, organisasi pemuda dan kemahasiswaan ditekan habis-habisan. Dunia akademik sebagai penjaga tradisi keintelektualan yang bebas dan otonom dikandangkan dengan berbagai tekanan seperti NKK/BKK, Wawasan Civitas Academica sampai akhirnya isu otonomi kampus yang lebih bermakna sebagai praktek kapitalisasi pendidikan. Terakhir dimulai dengan pengubahan status hukum beberapa universitas utama milik pemerintah sebagai “Badan Hukum Milik Negara” yang secara membabi buta mengabaikan kaidah moral-etik akademik dan tradisi keintelektualan mengeksploitasi potensi ekonomi mahasiswa dan masyarakat sekitar melalui operasi bisnis komersiil dengan perilaku kapitalistik.
Tradisi pendidikan yang progresif dan oposisional terhadap kemapanan budaya kemudian tersisa berhidup-hidup dalam kantong-kantong kegiatan gerakan LSM/LPSM organisasi non-pemerintah. Berbasis program dan kegiatan yang dikreasi secara otonom berbagai upaya membangun “counter model” dilakukan para aktifis yang umumnya terusir dan tersingkir dari arus mainstream yang ketat dan represif. Pendampingan dilakukan pada tingkat komunitas dan dikembangkan sampai jejaring kerja antar komunitas dan antar aktifis. Basis pendampingannya sangat beragam, yakni: anak-anak kampung, anak jalanan, petani, buruh, kaum miskin kota, komunitas adat, desa hutan, nelayan dan sebagainya. Metode dan pendekatan yang digunakan pada umumnya menyatakan sebagai metode dan pendekatan partisipatoris. Pola dan model hubungan yang dibangun secara egaliter menawarkan pemahaman dan kesadaran kembali pada setiap individu proses pembelajaran sebagai subyek yang otonom dan berdaulat. Pada anak-anak, sikap kritis di bangun melalui olah kreatifitas, solidaritas dibangun melalui kepekaan sosial antar teman dan dengan lingkungan. Pada petani dikembangkan pemahaman dan kesadaran kembali akan hak-hak dasar sebagai subyek pertanian atas sumberdaya agraria dan teknologi yang digunakan, justru untuk meyakinkan daya kemandirian dalam menghadapi kebijakan paket teknologi dan produksi pemerintah yang represif. Pengorganisasian untuk penggalangan aspirasi dan kepentingan bersama ditempuh dengan menghidupkan kembali sistem solidaritas, egalitarianisme dan kesediaan bersama menjalani sharing dan dialog antar mereka. Begitu seterusnya dengan yang lain... Buruh membangun kesadaran bersama dan pengorganisasian untuk pembelaan hak-hak perburuhan, masyarakat adat menguatkan kembali kearifan sistem hidup bersama yang berbasis nilai budaya lokal yang terpisahkan dari hak-haknya atas sumberdaya agraria.

5. Selanjutnya?
Di awal tulisan ini (Bahan Diskusi 01) telah disinggung bahwa reformasi mengalami pendangkalan makna dan pembelokan arah politik, sehingga menghadapi krisis kepercayaan publik. Pada sisi lain, praksis pendidikan rakyat yang dijalankan melalui mekanisme pembelajaran bersama melalui fasilitasi aksi NGOs/LSM masih bersifat sporadis dan intensitasnya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya material. Pada beberapa aksi pembelajaran malah memiliki kecenderungan sebagai substitusi terhadap praktek yang semestinya dilakukan pemerintah. Proses yang telah berjalan baik dan menampakan perkembangan yang menguatkan keberdayaan masyarakat, namun dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya materiil. Akibatnya, praksis yang dijalankan berhadapan dengan keterbatasan cakupan sosial, jangkauan kewilayahan dan bentang waktu kegiatan. Scaling-up program hampir tidak dilakukan dan proses mainstreaming berubah menjadi kooptasi oleh pihak pemerintah dan pihak-pihak pemegang hegemoni pembangunan. Kooptasi dilakukan dengan pengambil alihan isu dan reduksi strategi dann operasionalisasi program. Proses kooptasi diperparah dengan tidak cukup dimilikinya kesabaran kelompok progresif untuk menjalankan proses perubahan, sehingga bayangan reformasi yang seolah menjanjikan perubahan telah menelan banyak aktifis, mengkooptasi mereka dan mematahkan strategi. Ini persoalan ketika proses reformasi dibayang-bayangi oleh stagnasi dan ancaman kembalinya kekuatan hegemonik lama. 
Pengorganisasian gerakan perubahan memang belum mampu, jika tidak untuk dikatakan cenderung gagal, membangun landasan dan jejaring kerjanya yang kuat dan sistematik. Tantangan ke depannya menjadi jelas, bagaimana ruang dialogis bagi rakyat dibuka seluas-luasnya dan praksis pendidikan atau praksis pembelajaran dapat dikembangkan dan ditajamkan.


Disampaikan untuk Perguruan Rakyat Merdeka sebagai awalan dan bahan diskusi:
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”

Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05
RP/WG


Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka: Bahan Diskusi 1

"MENCARI FORMAT PENDIDIKAN"

1. Memahami Perubahan Demokrasi


Hampir pada setiap momentum perubahan, bangsa dan negara ini gagal melakukan antisipasi dan terpuruk dalam situasi transisional. Silang pendapat dan kepentingan atas nama rakyat untuk keluar dari krisis, acapkali menjadi ajang konflik antar golongan dan kelompok elit yang diusung sampai tingkat bawah. Rakyat hampir tidak memperoleh jawaban atas substansi persoalan dan kepentingan mereka tentang bagaimana memperoleh kejelasan situasi, kesegeraan keluar dari krisis dan mengetahui arah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Apakah rakyat akan duduk sebagai obyek penyerta ataukah subyek utama dalam penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara?

Retorika kaum pemimpin, politisi, intelektual, professional dan pemodal selalu menyatakan posisi rakyat adalah subyek utama penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktek tidak teringkari bahwa sikap, pikiran dan kelakuan mereka yang dominan dan hegemonik cenderung meminggirkan dan mengabaikan peran dan posisi rakyat. Rakyat sering dibuat tidak mengerti terhadap berbagai pandangan dan pendapat para elit atas situasi yang sesungguhnya mereka hadapi di negeri ini. Rakyat sering dibuat tidak paham dengan berbagai tawaran kaum professional untuk keluar dari keterpurukan krisis, tetapi hampir tanpa pertimbangan langkah strategis yang mendasar dan operasional.

Pada saat proklamasi kemerdekaan memerlukan akar kedaulatan yang kuat, upaya penanaman kedaulatan rakyat dalam seluruh tingkatan penyelenggaraan negara hancur dalam duapuluh tahun berjalan, sebab depolitisasi rakyat oleh penguasa Orde Baru. Usaha keras membangun kelembagaan dan tradisi demokrasi, yang dilalui dengan berbagai ancaman krisis politik dan disintegrasi sosial, pernah melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan (DPRK) dan Majelis Permusyawaratan Desa (MPD) dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan di tingkat desa. Diawali dengan Maklumat Sultan Yogyakarta bersama Paku Alam pada tahun 1945/1946 tentang politik otonomisasi dan demokratisasi yang memperkenalkan kelembagaan DPRK dan MPD dalam praktek penyelenggaraan desa secara otonom dan demokratis.

Melewati pergulatan politik panjang seperti pemilu 1955/1956, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta berbagai pergolakan politik dan ancaman disintegrasi bangsa/negara, pada tahun 1965 ditetapkan UU 18/1965 tentang Pemerintahan Desa Swatantra. UU 18/1965 membuka peluang bagi satu atau lebih desa bergabung untuk menyelenggarakan otonominya dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat III (DPR Tk. III). Ini adalah penegasan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara sampai akar-rumputnya. Undang-undang tersebut (bersama UU 19/1965 tentang pemerintahan daerah dan beberapa yang lain) dibekukan dan dibatalkan oleh penguasa Orde Baru. Alasannya produk PKI!

Kemudian diterapkan politik masa mengambang sebagai praktek depolitisasi rakyat untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan nasional sebagai “syarat pembangunan” sebagai yang dituntut negara dan lembaga kreditur serta para investor asing. Bagi kaum teknokrat, birokrat dan militer yang berada di arus utama politik negara dan pemerintahan cenderung melihat, ketiadaan pilihan guna melindungi politik pembangunan, kecuali sentralisme politik dan kekuasaan. Demokrasi, otonomi dan kedaulatan rakyat seolah diyakini tidak akan mampu menjamin terciptanya syarat-syarat “ceteris paribus” dalam hukum ekonomi bagi implementasi konsep pembangunan ekonomi yang teknokratik.


2. Krisis Apa?

Krisis multidimensional yang nyaris menghancurkan kepercayaan rakyat dan publik internasional, merupakan puncak akumulasi persoalan salah urus politik pembangunan, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Rakyat memiliki ruang menuntut pembaharuan dan penegakan kembali kedulatan rakyat dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi didesakkan, tetapi disintegrasi menjadi ancaman.

Dalam kemendesakan reformasi, rekonsiliasi merupakan agenda dasar untuk melandasi upaya-upaya pembaharuan dengan agenda sebagai disepakati gerakan reformasi secara menyeluruh. Rekonsiliasi bukan traktat, bukan sekedar upaya praktis-pragmatis keluar dari keterpurukan krisis. Ini merupakan langkah awal yang strategis untuk mempertemukan seluruh komponen bangsa guna membangun platform bersama. Yakni menjawab pertanyaan dasar, kemana arah penataan kembali harkat kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat, adil dan beradab di jalan demokrasi dan penegakan kedaulatan rakyat.

Rekonsiliasi menuntut kesediaan seluruh komponen bangsa dan negara untuk saling menerima dan keterbukaan, bukan penolakan maupun mengedepannya sentimen antar golongan yang tegas menghambat keterbukaan dan menjadi sekat dialogis. Perkaranya, berbagai fenomena yang eksplisit dalam interaksi antar golongan dan komponen sosial kebangsaan dan kenegaraan tidak cukup mendukung upaya tersebut. Berbagai peristiwa teror dan kerusuhan sosial menggejalakan menguatnya kecenderungan primordialisme dan saling curiga antar golongan dan kelompok. Pada sisi lain, berbagai sikap pandang dan tindakan para elit cenderung klaim atas nama kepentingan rakyat, bangsa dan negara, namun sikapan, pikiran dan tindakannya tegas mengedepankan kepentingan golongan dan kemapanan.

Bagaimanapun elemen Orde Baru (regime Soeharto dan penerusnya, Habibie), negara dan lembaga kreditur internasional, kapitalis global dan seluruh kompradornya sebagai pemegang status-quo selama ini tidak ingin melepaskan dominasi hegemoniknya. Pelaksanaan agenda reformasi secara menyeluruh dan rekonsiliasi merupakan bencana bagi mereka. Ini akan membongkar habis perilaku manipulatif, korup, kolutif dan kronistik/nepotis yang anti demokrasi, anti kedaulatan dan anti keberadaban kemanusiaan yang berkeadilan. Suatu konspirasi yang kompleks dan sophisticated mereka kembangkan untuk mempengaruhi dan merancukan arah gerakan reformasi dan usaha rekonsiliasi.

Pendangkalan pemahaman, perluasan kerancuan dan penajaman friksi kepentingan antar kelompok dalam proses reformasi telah mendorong merebaknya konflik ke arah pertikaian yang menjurus pada berbagai bentuk kekerasan di hampir seluruh lapisan sosial. Merebak tudingan bahwa reformasi dan gerakan pembaharuan adalah penyebab krisis dan kesulitan hidup rakyat. Tidak pernah ada tuntutan pertanggungjawaban politik dan hukum kepada Soeharto atas “pengunduran diri” dari kursi kepresidenan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Maka secara konstitusional pun tidak ada atau kurang cukup acuan bagi proses hukum yang lebih mendalam. Acuan yang diharapkan adalah berupa tuntutan MPR atas nama rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dapat dilanjutkan dengan membawa Soeharto ke peradilan hukum.

Begitu pula terhadap Habibie, sebagai penerus kekuasaan Soeharto, yang hanya bertugas mengemban pemerintahan di masa transisi. Penolakan MPR 1999/2004 yang diketuai Amien Rais terhadap pertanggungjawaban Habibie terhenti hanya mampu mengganjal pencalonan Habibie untuk jabatan presiden periode 1999/2004. Tidak ada tuntutan pertanggungjawaban “pengunduran diri” Soeharto dimana Habibie sebagai orang kedua dalam pemerintahan terakhir Soeharto. Tidak ada pula tuntutan pertanggungjawaban politik atas pengambilan keputusan strategis Habibie yang secara politik melampaui kewenangannya sebagai “President in Transition,” seperti pelepasan Timor Timur (apapun alasan dan pertimbangannya, diluar perdebatan politik yang mendahului antara tindakan Indonesia di 1975/1976 tersebut suatu bentuk aneksasi ataukan integrasi, tetapi ulur-tarik pendapat internasional antara mendukung, menolak dan abstain telah terjadi dalam kurun dua dekade lebih). 


3. Kegusaran Sipil


Tidak menghasilkan keputusan dan ketetapan MPR yang dapat digunakan sebagai pijakan proses hukum dan peradilan bagi Soeharto dan Habibie. Jika ini dilakukan sesungguhnya berarti pula pengamanan dan pemulusan jalannya reformasi dan perubahan. MPR saat itu malah disibukkan friksi kekuasaan dan terjebak pada ulur tarik kepentingan dan konsolidasi antar elit dan golongan untuk saling berbagi kekuasaan pemerintahan. Friksi ini diusung sampai tingkat akar rumput hampir tanpa penjelasan politik yang rasional, tetapi memuluskan jalannya bagi-bagi kekuasaan.

Penghadangan Megawati sebagai calon presiden dari PDIP yang memenangkan suara tertinggi dalam pemilu 1999, menawarkan Abdurahman Wahid sebagai alternatif, merupakan provokasi politik massa yang mengarah pada ancaman konflik dan kekerasan horizontal. Yang demikian lebih menunjukkan kemandulandan ketidakberdayaan MPR dari pada kapasitas MPR membangun keputusan dan ketetapan yang jauh lebih strategis dan rekonsiliatif serta berhadap-hadapan secara diametral dengan Orde Baru.

Penandingan Mega dengan Gus Dur Ini mengesankan pemecah-belahan kekentalan hubungan sosial dan politik antar golongan “nasional-regius” (nasionalis-PNI-PDIP) dengan “religius-nasional” (Nahdliyin-NU-PKB). Pemecahbelahan lebih intensif dengan berbagai upaya merenggangkan duet Gus Dur-Mega sampai tingkat rentan dan berujung dengan penjatuhan Abdurrahman Wahid oleh MPR berdasar alasan-alasan yang menurut kaidah peradilan hanya “patut diduga bersalah” atas persoalan Buglog-gate dan Brunei-gate. Terhadap dugaan korupsi tersebut MPR pun tidak mampu merekomendasikan kepada lembaga hukum dan peradilan untuk membawa Gus Dur ke pengadilan. Begitupun atas keputusan politik Abdurahman Wahid berupa Dekrit Presiden yang merupakan perlawanan Presiden selaku Mandataris terhadap MPR selaku pemegang mandat kedaulatan rakyat, MPR tidak mampu membawa Gus Dur ke pengadilan, sekurangnya untuk proses peradilan hukum tata usaha negara.

Duet Mega-Hamzah yang juga merepresentasi nasionalis (PNI-PDIP) – Nahdliyin (NU-PPP) dipaksakan sebagai pilihan pengganti. Pasangan ini sekalipun berusaha keras dan sangat hati-hati dalam berpegang pada mandat dan amanat MPR, namun tetap digoyang secara intensif. Struktur kabinet “pelangi” memang sangat rawan tarik-menarik kepentingan dan lemah untuk membangun soliditas dan kerjasama. Terbukti pada akhir tahun pemerintahan kabinet diguncang pengunduran diri beberapa menteri utamanya.

Perilaku politik era reformasi yang diwarnai euphoria demokrasi banyak memunculkan fenomena sikap dan perilaku over acting. Keberpihakan terhadap nasib rakyat, bangsa dan negara hampir tidak tercermin, semu dan penuh kepura-puraan. Pemberitaan dan perdebatan diberbagai media yang cenderung reaktif dan pragmatis kehilangan kepekaan terhadap perkembangan situasi yang merumit. Akibatnya tergiring dan terbangun opini yang kontra-produktif terhadap gerak dan arah reformasi. Reformasi mengalami disorientasi dan nyaris kehilangan kepercayaan publik. 

Tragedis bagi perjalanan pembaharuan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum 1999 yang disebut sebagai pemilu paling demokratis sejak 1955/1956, di berbagai tingkatan menjelang akhir masa bakti anggotanya didera dan diguncang persoalan korupsi. Rakyat semakin skeptis dan mempertanyakan kesungguhan politik wakil-wakil mereka. Pada sisi lain, Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, kemudian segera disusul Gubernur dan Bupati/Walikota, yang dipilih langsung oleh rakyat akan segera memperoleh legitimasi politik yang kuat dari rakyat. Sekalipun masih memerlukan pembuktian efektifitas kinerja tata pemerintahan baru, krisis kepercayaan DPR (legislatif) vis a vis legitimasi dan harapan baru terhadap kepala pemerintahan (eksekutif). Pada tingkatan proses politik yang unmanageable, sikap dan perilaku politik yang euphoristik, over-estimated terhadap peran dan posisi lembaga perwakilan serta under-estimated terhadap kapasitas rakyat menjadi hambatan dan ancaman upaya penguatan kedaulatan rakyat.

Tafsir berlebih pihak legislatif dan eksekutif atas peran dan posisinya tersebut, tanpa kejelasan sistem, mekanisme dan ketegasan aturan untuk inter-relasi dan pertanggungjawaban politik baik, potensial dapat menjadi ruang konflik antar elit dan golongan. Kedua belah pihak itu potensial melakukan klaim dan mengatasnamakan rakyat.


4. Meraih Kedulatan dan Kemerdekaan


Ada fenomena dalam perjalanan bangsa dan negara ini, keterpurukan krisis dan jerat stagnasi dalam situasi transisional disebabkan oleh kesalahan pola pikir dan sikapan atas kompleks persoalan yang ada. Wacana yang berkembang di kalangan elit melalui berbagai media dan membangun pendapat umum, lebih mencerminkan sikap pikir dan perilaku yang pragmatis-materialistik, cara pikir yang berwawasan sempit dan tidak menyejarah (ahistoris). 

Banyak dilupakan oleh komponen bangsa bangsa dan negara ini, untuk apa sesungguhnya kemerdekaan diproklamasikan? Kepada siapa pembangunan dipersembahkan? Bagaimana pemerintahan Negara seharusnya diselenggarakan? Untuk bertemu dan mendialogkan pokok persoalan ini, hampir tidak cukup kesediaan antar komponen bangsa untuk mendiskusikan tentang bagaimana suatu sistem dibangun agar mampu menjamin dan membentuk kemerdekaan rakyat, melindungi rakyat dari berbagai rasa ketidakadilan, serta menegakkan kedaulatan hidup bersama bagi seluruh rakyat.

Rakyat hampir kehilangan kesempatan mengembangkan kedaulatan. Tidak cukup tersedia ruang bagi rakyat mengembangkan dan menggalang aspirasi, inisiatif dan kepentingan secara merdeka. Berbagai media yang memungkinkan sebagai ruang bagi pengembangan semangat kedaulatan, terkreasi justru untuk memenuhi kepentingan elit guna menggiring pendapat umum ke arah yang mereka kehendaki. Peluang dialogis antar komponen bangsa tidak termanfaatkan optimal, malah sering menemui jalan buntu.

Dorongan memperluas eskalase dialogis untuk menunjukkan kompleksitas persoalan tidak ada atau sangat kurang. Sebaliknya, yang terjadi justru sering terjebak dalam pola pikir sempit dan ahistoris yang berakibat pada semakin terpuruknya bangsa dalam kungkungan kultur neo-feodalisme dan neo-kolonialisme (kolonialisme kapital). Berbagai media yang semestinya mampu menampilkan dan menguatkan pengembangan aspirasi, inisiatif dan kepentingan rakyat secara demokratis, justru menjadi ruang akrobat para elit dalam menampilkan kepiawaian dan publisitas arogansi keprofesionalan.

Daya kritis dan kreasi rakyat semakin terbunuh dan terpinggirkan. Dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan intelektualitasnya, rakyat tidak diberi hak dan ruang untuk menjawab persoalan yang dihadapi sendiri. Mereka semakin tersisih dalam sistem kenegaraan. Sebaliknya kaum elit yang terdiri dari para pemimpin, politisi, intelektual, professional dan pemodal dengan leluasa memonopoli hak berbicara dan berbuat atas nama rakyat. Dengan berbagai dalih mereka memonopoli kebenaran yang kini mulai harus digugat keabsahannya.

Menepis simplifikasi serta mengupayakan segera keluar dari kemelut krisis dan jebakan transisi, rakyat dan seluruh komponen bangsa harus mampu menemukan dan membangun kembali jatidiri sebagai manusia berdaulat, manusia yang merdeka dari keterlindasan dunia pragmatis dan materialistik. Sudah tentu ini kembali pada kesediaan bersama untuk membuka lebar-lebar ruang kedaulatan rakyat.

Ruang kedaulatan hanya mungkin dioptimalkan jika komponen warga bangsa mampu mewujudkan kedaulatan dan kemerdekaannya sebagai manusia. Manusia yang merdeka dan berdaulat adalah manusia yang cerdas, bermartabat dan beradab. Manusia yang memiliki tanggung jawab atas kehidupan bersama yang berperikemanusiaan secara adil dan beradab. Bukan budak-budak politik, budak-budak ekonomi, budak-budak akademia maupun mesin-mesin pekerja untuk melengkapi kebutuhan produksi dari sistem besar kapitalisme. Bagaimanapun kapitalisme merupakan gurita ekonomi yang hanya tahu dan mau cara, bagaimana memenuhi kebutuhan pragmatis-materialistik usaha pelipatgandaan keuntungan semata.


5. Penutup

Ruang kedaulatan rakyat tertutupi oleh tembok dominasi kekuasaan elit politik dan kapital. Ruang kemerdekaan manusia sebagai subyek kehidupan masyarakatnya yang otonom tersumbat oleh hegemoni budaya pragmatis-materialistik. Peran dan posisi rakyat hampir tidak bergeming dari fungsinya untuk memberikan legitimasi dan justifikasi sosial politik bagi status-quo dan establishment, maupun termobilisasi sebagai sumberdaya pekerja bagi proses produksi dan konsumen bagi pasar hasil produksi. Otoritas dan otonomitas yang dimiliki semakin terdistorsi sampai titik nadir ketidakberdayaan.

Mendesak dilakukan upaya terobosan guna membedah kebuntuan dan mencairkan kebekuan. Untuk hal ini pendidikan merupakan media yang signifikan dan relevan. Banyak format pendidikan yang tersedia secara instan. Banyak praksis telah dilakukan, baik pada kelembagaan pendidikan formal, non-formal dan informal. Persoalannya, menjawab tantangan dan persoalan yang ada, bagi tujuan pembangkitan harkat kehidupan rakyat yang merdeka (cerdas), otonom (bermartabat) dan berkedaulatan (beradab): formulasi pendidikan seperti apa dan bagaimana dapat dirumuskan dan ditawarkan?

Sekian, salam sejahtera dan bahagia beserta kita, seluruh rakyat Indonesia.

MERDEKA!

Disampaikan untuk Perguruan Rakyat Merdeka sebagai awalan dan bahan diskusi:
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”
Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05