Saturday, January 30, 2010

Antara Cicak, Lalat, dan Gerimis Senja Jakarta

Seekor cicak mengendap rayap
Tangkas menyergap
Seekor lalat tenang hinggap di lantai balik pintu kamar
Menikmati aroma busuk bekas-bekas telapak kaki
Sisa-sisa jejak jalanan kota Jakarta
Hap!
Kena!
Lalat tertangkap lahap
Cicak diam memuas diri
Melega nikmat
Berbalik ia merayap lari
Merambat tembok pergi sembunyi

Cicak menyergap lalat
Menangkap lahap di sore Jakarta yang ditimpa hujan gerimis
Gerah tidak juga terusir

Cicak menyergap lalat
Menangkap lahap cukup satu saja
Tanpa rakus menyambung hidup

Tanpa lebih
Tidak berlebih
Sesuai janji
Pada hidup
Pada alam
Pada daur hayati

Seekor cicak yang lain
Mengendap merayap
Menghampiri diamku
Kutoleh ia dan terbirit lari
Sembunyi di sela keropos dinding tembok dan papan kamar
Ah,
Kasihan si cicak itu
Terlalu besar badan diamku untuk di lahap dalam sergapnya
Ah,
Dia tertipu haru
Ternyata bukan lalat diendapinya, namun
Aku yang tengah menikmati sore Jakarta
Aku yang asyik mengecapi gerimis Jakarta


Watugunung,
(Cililin-Kebra-Jaksel, 30 Januari 2010)


Thursday, January 28, 2010

Kisah kecil di masa kecil (2)

Guru Agama sekolah dasar dari sebuah desa kecil di lereng Wilis, mengajar murid-murid kecilnya tentang salah satu kepantasan orang yang pertama-tama berwenang menjadi Imam dalam jamaah.

Disampaikan oleh sang Guru, bahwa orang yang datang paling awal ia yang berada di paling depan dan berturut-turut yang datang kemudian berjajar dibelakangnya. Mengatur shaff dengan rapat dan rapih. Jamaah diselenggarakan.

Menjadi pengalaman menggetarkan diantara murid-murid kecil itu, ketika ada diantaranya yang tidak dapat menolak untuk "terlanjur menjadi imam." Bagaimana kisahnya?

Si anak maunya menyelesaikan bersembahyang lebih dulu dari yang lain...sendiri. Tidak menunggu berjamaah. Maunya agar punya waktu lebih untuk bersantai. Menyelinaplah ia ke surau kecil dekat sekolahnya. Belum selang ia dirikan sholah, bahunya ditepuk oleh satu-dua-tiga... tangan berurutan. Diantara yang menepuk itu, adalah tangan yang terasa lebih besar dan mantap.

Yang sudah didirikan, tidak boleh dibatalkan. Pikiran si anak melayang... konsentrasi goyah... keringat dingin mulai menderas... Guru ada dibelakangku, bermakmum.... Uih, aku menjadi imam.... bagaimana ini nanti? Suara cekikik lembut, tawa ledek ditahan dari diantara para makmum di belakangnya juga terdengar. Pasti itu si Polan yang bandel. Ah...

Terngiang di telinga batin dan pikirannya saat guru berkata, yang sudah didirikan jangan dibatalkan. Ya... akhirnya lega bertindih gundah-gulana sewaktu salam terucapkan... Dia lari menubruk sang Guru, bersalam dan mencium tangan.

"Ampun, Guru......"

Sang Guru berucap: "Selamat nak, kamu sudah berhasil dirikan jamaahmu."

"Tapi, Guru...."

"Tidak apa dan jangan gundah. Jamaahmu memang belum rapih. Kawanmu masih ada yang cekikikan, tapi dirimu sudah memulai. Ya... kamu sudah memulainya."

"Selamat, nak."

"Terimakasih, Guru."

Watugunung,

(Cililin-Kebra-Jaksel, 28 Januari 2010)


Kisah kecil di masa kecil (1)

Guru "ngaji" yang juga seorang kiai atau tepatnya imam surau kecil (kami menyebutnya "langgar") di dusun kecil lereng Wilis, mengajar pada santri-santri kecilnya... anak-anak sekitar 5 sampai 9 tahunan, para lelaki dusun yang belum akil baligh... tentang tata cara yang baik berjama'ah. Ia selalu mengingatkan para santri yang pasti masih dalam ruang umur "harus banyak tingkat dan mbeling" pada setiap menjelang shalat maghrib dan isya'.

"Atur shaff yang baik dan rapat. Jangan ada ruang kosong diantara kita. Kalau shaf tidak rapih dan ada ruang kosong... Nanti ditempati setan, iblis yang menggoda. Jamaah kita bisa kacau... ruwet... ribut..."

Santri-santri kecil dengan segala polah-tingkahnya merapatkan diri, mengatur diri dan menata shaff dengan baik dan rapat. Semua berpikir sama, jangan samai ada setan di sebelah kanan, kiri, muka dan belakang saya... Kalau ada setan..... hiiiii..... takut, nanti dapat digondol ke neraka.

Santri-santri kecil. Belajar berjamaah dan menjadi ma'mum yang baik. Ma'mum yang mengatur dan mengimami dirinya untuk berimam pada kebersamaan.

Jamaah para santri kecil itu berlanjut menjadi jamaah mengaji, lalu jamaah pulang, jamaah bermain, jamaah hidup sehari-hari.

Rapatkan shaff... rapatkan barisan... yang rapih. Shaff atau barisan yang rapat dan rapih... adalah kebersamaan yang kuat.

Watugunung,

(Cililin-Kebra-Jaksel, 28 Januari 2010)