Untuk PLISIT POVIA , Adi “Kitink” Tangkilisan dan kawan-kawan
(Sore ini aku merasakan kesenangan dan kegembiraan mendapat undangan untuk pertunjukkan PLISIT POVIA tentang prosesi penebangan pohon tua yang ditengarai sebuah judul: PROSES KEBERSAMAAN DAN REGENERASI)
Pohon tua, yang ditebang itu, telah kering, lapuk dan keropos karena usia. Ia ditebang dalam sebuah prosesi, untuk penghormatan tentunya, supaya: “Ia tidak tumbang dengan sendirinya dan malah menjadi bencana bagi sekitarnya,” demikian menurut Adi Kitink. Kalau dilanjutkan, kata-kata Adi tersebut, kurang lebih berterus kata demikian:
“Maka, tanaman-tanaman sekitarnya akan rusak, layu dan mungkin mati karena ditimpanya. Rumah-rumah hunian akan rusak menyangga robohnya. Kawat listrik dan kabel telepon akan terputuskan. Pagar jebol. Mobil, sepeda motor dan benda lain disekitarnya penyet. Kalau roboh di jalan yang berpenjuru empat dan ramai lalu-lalang, jalanan akan macet, Pak Polisi akan sibuk, orang-orang mencaci-maki dan si empunya pekarangan di mana pohon tua berada resah, rikuh dan tidak enak hati.”
“Pohon tua itu memang harus ditebang, agar tempat tinggal kini dapat ditumbuhi pohon lain yang lebih muda. Supaya, pohon-pohon dan tanaman-tanaman muda yang baru bertumbuh dapat berkembang normal, karena tidak lagi harus berebut makan dan beradu kuat. Supaya, ada ruang bertumbuh dan keselamatan untuk penghidupan ke depan. Maka, tebang dan tumbangkan pohon tua dengan doa dan penghormatan demi keselamatan dan kelangsungan sebuah prosesi panjang regenerasi.”
Pohon tua yang telah kering, lapuk dan keropos itu mungkin tidak hanya karena dimakan usia. Boleh jadi ruang hidupnya tidak lagi kondusif. Tidak lagi ramah dan permisif. Ruang-ruang telah penuh sesak oleh gedung-gedung dan bangunan. Sekat-sekat gerak telah padat oleh lalu-lalang. Aspal dan beton tidak lagi memberi ruang berkembang. Toh, bukan hanya pohon-pohon tua yang kering, lapuk dan keropos saja telah ditumbangkan. Hutan-hutan pun digusur. Sawah-sawah dan ladang-ladang pun digusur. Juga, kabar-kabar lalu, kampung-kampung pun digusur.
Maka, aku pun bertanya mengapa pohon tua ini harus ditebang?
Pohon tua itu memang harus ditebang, karena telah kering, lapuk dan keropos. Ia harus dihormati kesempurnaan dan penyempurnaannya. Ia disempurnakan dalam kemanfaatan persinggahan agung.
Pada pertegakannya yang terakhir, aku bertanya pada pohon tua: “Apa hendak kau pesankan?
Ia pun berkata: “Telah lama aku singgahi penghidupanku di sini. Daun-daunku menebar begitu saja, menebalkan lapis-lapis subur muka tanah. Akar-akarku merayap sampai ke ujung-ujungnya, meronggakan ruang-ruang nafas subur kedalaman tanah. Buah-buahku tumbuh, berkembang dan ranum menghidupi. Benih-benihku menebar-tebar entah kemana dan dimana lagi. Aku pun menyaksikan, pohon-pohon kemarin yang ditebang dan dirobohkan sebelum mereka menjadi tua, kering, lapuk dan keropos. Semua berjalan begitu saja dan begitu saja. Apa peduliku dan apa tak peduliku, semua berjalan sama saja. Manakala aku memang harus sampai di sini, ya sampailah di sini. Apapun dikehendaki, sempurnaku akan berjalan sebagaimana adanya. Jika kalian mau perapikan aku, perapikan. Jika kalian mau lakukan lainnya, lakukan. Apapun terserah saja.”
Pohon tua, apa lagi?
“Tidak usah, apalagi. Susah nanti kalian jadinya, jika aku tanya: kemana pohon-pohon yang dulu pernah ada di sekitar sini? Kemana benih-benihku yang bertebar, tumbuh dan berkembang dari musim ke musim? Tanamkan saja satu batang pohon di bekas tanah dudukku ini, hingga ia menjadi besar, kuat dan kokoh sampai kemudian tua, kering, lapuk, keropos dan tebanglah lagi.”
Palu. 21 Sept. 1998
Thursday, May 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment