Wednesday, May 30, 2007

Alas Tlogo di 30 Mei 2007

Di atas tanah ini
Darah kami tumpah lagi
Oleh ujung senapan yang mengasap
Kami tidak akan pernah mundur
Dari kedaulatan atas tanah dan bumi merdeka ini
Sebab,
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan
cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Sebab,
“…kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa…
Sebab,
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Sebab,
Bumi ini adalah Bunda Kami
Bukan pelacur yang seenaknya engkau gagahi



Jakarta, 30 Mei 2007

Obituari: Pramoedya Ananta Toer



”Setelah Kabar Kematian Pram”


Selamat Jalan menuju Rumah Keabadian
Usai dan sempurnalah tugasmu menjejaki kehidupan
dengan segenap tanda kecerdasan
anak bangsa


(Minggu, 30 April 2006)





”Di rumah duka Pram, duka-cita pelayat dan karangan bunga ”



Orang datang dengan segala hati
Jiwamu dalam keabadian
Semoga mereka yang telah hadir maupun yang kemudian
Dalam kesadaran dan kecerdasan
Untuk membaca dan memberi tanda-tanda di
Setiap jejak langkah jamannya.



(Minggu, 30 April 2006)





”Dengan sedikit gerimis di halaman rumah duka, menjelang penghormatan terakhir”



Langit memayung mendung
Sedikit gerimis
Alam Raya tertunduk sendu
Mendoa
Menyambut kepulangan Sang Anak
dalam peluk abadi Bunda Pertiwi
Tangis tidak diperlukan lagi
Jejaknya sudah menandai
Ia telah sempurna disebut sebagai
Diri-nya dan atas nama-Nya


(Minggu, 30 April 2006)




”Gerimis usai, matahari bersinar lagi: Sholat Jenasah untuk Pram”


Allahu Akbar...!!!
Mendung menyibak
Matahari tersenyum manis
Ia kembali ke rumah keabadian dalam Kasih Allah
Tuhan Seru Sekalian Alam
Sumber dari Segala Muasal.
Amin


(Minggu, 30 April 2006)





”Sehari setelah pemakaman, renungan dan penandaan di TPU Karet Bivak”


Innalillahi wa innailaihi roji’un... Allahu Akbar...!!!
Mendung memayung, tebal
Sayup-sayup suara adzan dan qomat di liang lahat
Orang-orang tertegun khidmat
Sekali suara guntur mengalun hentak
Merdu dan dalam
Angin meniup mengusir gerah di Siang Jakarta
Daun-daun tua, rontog dari rantingnya
Menyapih akar, pohon dan bunga-bunga
Serentak lembut menebar tebar
Timpa tanah lembut menggeletak
Usai
Daun-daun muda dan segar
Lekat kuat, tegar memayungi
Selamat Jalan Kawan
Di Rumah Kaca, tempat tinggal kita
Jejak Langkah dari Anak Semua Bangsa
Menandai sejarah hidupnya Bumi Manusia
Engkau telah mencatatnya.



(Jakarta, 1 Mei 2006)

Selamat Siang Para Politisi

Siang pucat berselimut mendung
Debu dan asap.

Hijau punggung rumah bulus
Bopeng
Meradang luka

Di kursi
Para sakit gigi berdiskusi
Menggigil
Bertaruh separuh nyali


Jakarta, 19 April 2006

“Pertinggal”

Ndam-ndam-ndam-ndam...
Gendam... ndham-ndam-ndam!
Pu-pu-pu-pu...
Tipu... pu-pu-pu!

Gendam tipu jahaman si penyaji kata-kata

Kata-kata ditebar, ditancap
Ditanam-tanamkan di sembarang tempat

Di empang, dia tak tumbuh
Di sawah, dia tak tumbuh
Di ladang, dia tak tumbuh
Di jalan-jalan, dia tak tumbuh
Di gunung, dia tak tumbuh
Di hutan, dia tak tumbuh
Di laut, dia tak tumbuh
Di sungai, dia tak tumbuh
Di pabrik, dia tak tumbuh
Di kota, dia tak tumbuh
Di desa, dia tak tumbuh
Di halaman, dia tak tumbuh
Di kebun, dia tak tumbuh
Di taman, dia tak tumbuh
Di rumah, dia tak tumbuh
Di sekolah, dia tak tumbuh
Di tempat ibadah, dia tak tumbuh
Di mata, dia tak tumbuh
Di telinga, dia tak tumbuh
Di hidung, dia tak tumbuh
Di mulut, dia tak tumbuh
Di kepala, dia tak tumbuh
Di dada, dia tak tumbuh
Di perut, dia tak tumbuh
Di kaki, dia tak tumbuh
Di tangan, dia tak tumbuh
Di mana, dia tak tumbuh
Di sana, dia tak tumbuh
Di situ, dia tak tumbuh
Di sini, dia juga tak tumbuh

Kata-kata hanya ditumpuk tanpa sisa
Dipesankan:
“Nak, simpankan walau kau bilang ini sampah
Catatkan, nanti ini juga menjadi sejarah.”



Jakarta, April 2006

Sisa Satu Kata di Siang Nyeri: Sudahlah!

Air mancur
Panas matahari
Jalan beraspal
Tiang bendera berjajar
Mobil panser
Kanon
Gas air mata
Dan
Satuan jaga setara kompi

Nyanyian, sudah usai

Di depan gerbang
Demonstran telah pergi
Plakat-plakat sisa ditinggalkan menancap
Satu kata: “DOWN!”
Berjajar gambar orang-orang berpasangan
Hanya dua wajah, separuh badan
Diam,
Tersenyum beku
Tidak bergeming.

Rumput-rumput di sepanjang tepi
Diam menjalar
Tidak peduli.

Apa kabar hari ini?

Sepi,
Tanpa kibar
Di tiang aku sendiri
Lunglai.

Halimun membayang memagar-membenteng
Berkelamun-kerimun
Maya, menari-nari
Di depan beranda rumah ini
Layang-layang bertingkah tanpa kendali
Putus tali, putus nyali.

Aduhai... Ai-ai-ai....



Jakarta, April 2006

Istana Bogor di 28 Maret 2006

Diantara pohon-pohon
Diantara menjangan
Diantara rerumputan
Berpagar tombak
Berkeliling orang-orang

Angkuhmu,
Megah dan sombong




Bogor, 28 Maret 2006

Di lintas Jakarta – Bogor

Gadis,
Selintas cantikmu kusapa dengan beku mata
Nyanyian cinta pengamen muda, menggiyur dengkur bahana jiwa
Terik di siang ini, menggigil
Langit memang bergulung mendung
Mengatup pucuk-pucuk gunung

Gadis,
Pohon-pohon hijau kurus sepanjang tepi jalan kita ini
Membayang akarnya tak lagi mencakar

Gadis,
Jaga hatimu
Sebab,
Ibu Bumi sudah diabaikan

Salam.




Jkt-Bgr, 28/29 Maret 2006

Republik

(1)

Di bawah barisan tiang bendera rakyat yang tak tampak kibarnya
Layang-layang mainan kanak-kanak itu putus tali benangnya
Tergolek, tidak terurus

(2)

Melolong di gorong-gorong Ibukota
Tangisan caci-maki kanak-kanak membelah langit
Sungguhkah engkau tidak dapat mendengarnya?

(3)

Tanah
Air
Besi
Batu
Kayu
Nafas
Api
Kaki tangan itu membatu kepala
Beku !

(4)

Di pinggir jalur tol
Laki-laki muda itu mulai menarikan layang-layang
Tanpa peduli lalu-lalang

Tidak seorang pun menolehnya
Tidak juga dia, walau setiap hari melewatinya

(5)
Rakyat berbagi sesama rakyat
Melarat sampai sekarat.

Jkt-Bgr, Maret 2006

Saturday, May 26, 2007

Kanca Tani ’dha Elinga

Kidang talun,duwe anak talon
Mil-kethemil, mil-kethemil
Si Kidang mangan lembayung
Tikus buntung, duwe anak buntung
Cit-cit cuwit, cit-cit cuwit
Si Tikus saba ing lumbung


Kanca Tani... Kanca Tani... dha elinga
Sapa kang uwis janji
Para dulur dha nyayuki
Janji iku utang, janji iku utang
Yen kelalen ndang elingna
Lali mbanjur-banjur, lali mbanjur-banjur
Ayo padha didongakna
Ben ndang eling, ben ndang eling
Nate janji karo sapa
Ben ndang eling, ben ndang eling
Janji karo sing nyayuki
Kanca Tani... Kanca Tani... yo padha
Dadi siji, nyawiji anandangi
Iki kang dha diugemi
E... kae galo kae
Kidange ndang dicekel
Kidange ndang dicekel
Dicencang aneng kandhang
E... kae galo kae
Tikuse gropyok wae
Tikuse gropyok wae
Dijepret njur digantang
Lembayung angrembuyung
Tegal-sawah ledhung-ledhung
Gabah-pari sundhul lumbung

Krawang, 04.02.2006
(sajerone numpak Sepur Tatsaka II Jogja-Jakarta)

2006 (Selamat Tahun Baru)

Gugah malam, tegakkan hari
Segarlah pagi dengan sejuk embun, semilir angin dan hangat matahari
Padi-palawija yang ditanam, tumbuh suburlah
SELAMAT TAHUN BARU!


Kediri, 1 Januari 2006

MEMANDANG SEJARAH

Berkaca pada sejarah
bukan berarti membiarkan diri dalam kebekuan yang membatu
ataupun
memonumenkan kebudayaan dalam hidup sehari-hari.
Sejarah akan terus berjalan
mengikuti perkembangan sikap kritis dan kreatif manusia
sebagai anak-anak kebudayaan dalam menyikapi tantangan jaman.

Ini pelajaran penting dari masa lalu,
suatu masa (diantaranya dicontohkan) ketika
Arok membongkar kemapanan dan membangun sejarah…
ataupun tokoh-tokoh yang kemudian datang…
Wahidin yang mengguncang-guncang para elit Jawa
untuk sekedar menyekolahkan anak-anaknya,
lalu mencurinya di STOVIA untuk digiring sebagai para pembaharu,
sebagai anak-anak perubahan.

Berkaca pada sejarah adalah merencanakan suatu masa,
bukan mematoknya dalam kemandekan dan kebekuan.

Sejarah adalah kejujuran dan kepribadian Bangsa…
Saya sepakat, ini terus dijadikan kajian dalam hidup keseharian.
Tanpa harus berprasangka buruk pada siapa pun,
apakah engkau dalam kemenangan ataupun kekalahan?!

Sejarah adalah dialektika kehidupan yang terus membentang.


Mojokerto, Selasa-6 Aril 2004

Din

(dari Watugunung & Lugutz Khan
untuk para Pejuang Hak Buruh Migran Indonesia)





Din,
Ragam kiprah manusia menghapus naluri
Rengkuh upaya cita sukmamu
Kau temukan dirimu
Dari kais sampah bumbu dapur kepalsuan

Din,
Senada dengan detak jantung
Kau gelar pesonamu
Namun,
Caci-maki, cemeti, timpa setrika, gores belati dan
Jerat temali kau temui

Din,
Hari berlalu tanpa ragu
Cintamu tak pernah sembunyi
Tegaskan belamu pada
Tetes keringat darah sesaudaramu

Din,
Mari Bersatu!


Bale Jombor-Jogya, 16.01.2006 (dini hari
Kolaborasi L/R (left or right, no problem)

Malam Prahara (Longsor)

(untuk mengenang korban banjir bandang Jember
dan Tanah Longsor Banjarnegara,
serta peringatan untuk semua)









Hujan tikam jerit malam
Gemuruh suara tanah runtuh
Kayu, batu, lumpur dan
Jelaga hutan yang terluka
Terlempar kejar langlang buwana

Senyum nyanyian kanak-kanak
Merah putih mawar cintaku yang mekar
Libas dilaga malam prahara

Tuhan,
Tambalkan retak ranah cinta negeri-ku
Temukan riang kanak-kanak matahari-ku

Jogya (diatas Taksaka Malam), 16.01.2006Watugunung

Selamat Pagi

Pagi,
Bulu-bulu ayam menari
Mengibas asap debu-debu terminal
Sebentar nanti matahari pasti tersenyum manis
Menyibak garis merah jambu putih
Melolosi biru yang kelabu




Bungurasih, 24.09.2005 (03.00)

Di Sepertiga Malam yang Terbuang

masihkah kau, berdendang dan menari
dalam lagu dan irama musik dzikir yang sepi
engkau seperti tidak lagi mendengar
tegur-sapa pun tak pernah kau jawab

dzikir,
dzikir yang dulu lekat di bibirmu itu
kulumlah lumat dan telanlah

telanlah dzikir sampai kedalaman perut dan cernalah
hingga baur ia terusung oleh segenap aliran darah
menyelami kedalaman hati
menapaki pikiran
mengurai kata-kata
sujud

angkat,
tinggikan ia menembus ubun-ubun
terbangi langit-langit karomah
peluklah rembulan,
petiklah bintang
hiaskan matahari pada pagi dan siang nanti

sepi malam ini apakah telah menegurmu
sampai
sapaanmu menghampiriku
wahai, engkau
yang terlalu dalam tenggelamkan diri di jerit malam
hentilah menyayat ruh, jiwa dan raga diri


Jakarta, 24 Agustus 2004

Dekorasi Demokrasi, Pasukan Caci Maki

Aku memaki mereka
: Babi busuk, Lu!
Apapun dimuka, diembat habis
Tanpa pilih-pilih, semua Lu santap sampai ludes
Tak peduli ludah, tahi, kencing
Mani, darah, keringat
Daging, nanah, borok maupun
Sampah!
Gue bilang
: Pantas, Lu gemuk!
Tak berotak
Tak punya hati
Bangsat!

Mereka mengumpati aku
: Dasar, Lu!
Anjing kampung, kudisan
Tahunya cuma menggonggong,
Merengik sakit, kelaparan
Apa pula tak kau teriaki
Kere bulukan pun Lu maki
Sialan!
Mereka pun berkata-kata
: Tikus got, Lu comberan!
Tak sekali berani tampak di muka
Sembunyilah mengendus lorong gelap
Mana berani, Lu tampak di terang
Pecundang!

Wahai, para petarung
Di sini telah dibuka arena
Mari dilaga
Mari memaki

Reformasi…
Matisuri…
Demokrasi…

(Jangan berkecil hati
Tanding kali ini tanpa juri
Komandonya
: MERINGIS DI TEMPAT…, GRAK!
Upacara Bendera belum lagi dilaksanakan
: BUBAR BARISAN…, JALAN!
Pasukan berbaris terik-tempe)

Revolusi…
Revolusi…
Revolusi…
Revolusi setengah hati
: Re-for-ma-si
De-mo-kra-si
Li-be-ra-li-sa-si

(Republik ini bukan lah gerai waralaba, kursi ataupun secangkir kopi)



Jakarta, 23 Agustus 2004

Jawat Ku Jawat

wahai, yang sedang memulung awan
kaislah kebenaran serakus kelaparan
tilasi aku dengan segunung puisimu dulu
kemana
dimana
(demikian, kau menjawat aku)

saudaraku
bagaimana hendak dilahapi mulut,
hati, pikiran dan jiwa dengan kebenaran
sebab
setiap kita hampir menyatakan
langit gelap oleh mendung tebal
tak tampak matahari, rembulan dan bintang
kiblat pun hanya dikira-kira
ditetapkan sebagai kata orang yang seolah telah dulu
seolah lebih tahu
maka
kenapa kita menanya soal syair dan puisi
bukankah ia telah menghablur
dalam setiap tarikan nafas,
aliran darah
dan getar hidup
tangkaplah
jangan kau lepas sekejap pun
syair dan puisi dalam nafas, ruh, jiwa
hati, pikiran dan laku hidupmu
tidak kah kau ingat
wahai, saudaraku
semesta digelar pada alam kewadagan dan kejiwaanmu
itu kau membaca
itulah semua ayat-ayatKu
sungguh
telah kutapak dan tanamkan syair dan puisi
pada setiap bilik nafas, darah, detak
hati, jiwa dan pikiranmu
apakah engkau mulai melupakan
sehingga harus menanya lagi



Jakarta, 03.08.04

Kukabarkan

apakabarmu wahai sang pencerita,
dimana?
demikian kau memanggilnya dari timur sana

(yang aku tahu)

ia telah meneruskan perjalanan
melintasi angin, memulung awan dan
membilang waktu
sebab,

(ia pernah mengatakan padaku)

tanah di kemarau telah kering
tunas-tunas yang ditanam telah berkembang
daya suburnya harus dijaga, dan
dikuatkan!

(lalu ia titip padaku untukmu)

salam, dia bilang
semoga engkau tetap berjalan
pada aras yang telah disepakatkan.




Jakarta, Rabu Legi 28 Juli 2004

Menuju Jakarta di 27 Juli 2004

tarian senggama kupu-kupu di pucuk harum bunga
bersimbah madu keringat birahi
serbuk sari menikami putik menganyam generasi
lahaplah ranum buahku, sehingga
lapar di perut, hati dan pikiran anakmu terbalaskan
tanamkan bijiku pada kedalaman perut bumi, sehingga
tumbuh batangnya menguat, rebak akar-akarnya
menyangga tegak hidupmu seketurunan
jadikan tidurmu tak lagi dihantui kelaliman

tarian senggama kupu-kupu menetasi telur, dan
serambat ulat meretas daun
tidakkah lebih pantas kau gelisahkan
rayap-rayapan yang meretas tanah dan hidup seketurunanmu
ulat-ulat kekuasaan para pemodal dan kompradornya
mereka tak hendak meniduri alam sebagai diperbuat
ulat pada usia berkepompong untuk menafasi
birahi bunga-bunga dalam tari senggama kupu-kupu
bersatulah engkau sekalian alam,
iringi mereka dengan irama musik perubahan

seruanku padamu wahai saudara-saudaraku
“demi sang waktu, rebut kedaulatanmu!”

Jakarta, Selasa Kliwon _ 27 Juli 2004

(… … …)

Masih juga semua asyik dengan keributan, walau sesungguhnya
telah tuntas kelelahan mengguyur sekujur badan.
Perdebatan memang telah menjadi candu, sehingga
tidak lagi harus bertanya tentang simpul-simpul yang hendak dipertautkan.
Timpakan kata-kata pada segenap muka, maka
tombak percakapan yang menusuk tembus ulu hati
tidak akan pernah dirasakan.
Kencinglah dimulut kita masing-masing, sebab
tahi pun tuntas dilalap habis.
Ujung laras senapan yang ditanamkan pada jidat tidak lagi mampu menyalak. Jangankan peluru, anginpun tidak lagi mengisi.
Dikayuhkan ia sebagai dayung untuk berperahu menjala kakap.
Seekor teri pun tiada di dapat.
Dicangkulkan ia untuk menanam sebonggol ketela.
Tidak serambut akarpun sedia tumbuh.
Buku harian selalu ditulis oleh semuanya, namun
sepatah kata berita pun selalu luput dari tangkapan.
Kemarin pucuk pinus di puncak bukit telah dirangkai dengan
pucuk kelapa di ngarai dan ujung tiang utama perahu layar di lautan
oleh seleret pijaran halilintar.
Disuguhkan ia sebagai kalungan bunga rampai untuk
menyambut tamu yang sudah pasti datangnya,
namun tidak jelas maksudnya.
Mungkin tamu itu sengaja datang hanya agar disambut dan menerima
kalungan bunga rampai berisi gunung, hutan, lautan,
pertanian, industri, dan tambang.
Kawan, masihkah engkau pulas dalam nyenyak tidurmu?
Demi waktu
Bangun,
Kejar dan
Rebutlah kanak-kanak
Mereka, terikat pada lehernya tali-tali dan tergiring ke pasar
Tamu-tamu itu telah merampasnya sebagai upah gadai!



Kediri - Mojokerto, Juni 2000 - Juni2004

Salam di lintas malam

malam
keringat
nyanyi
goyang
birahi

jaga sehat dengan mengguyur badan sepenuh air
kapan berniat mandi bersama?
bersihkan hati
bersihkan jiwa
bersihkan pikiran

sisakan
nyanyian dan tarianmu
untuk-ku

Surabaya - Jakarta, Mei-Juli 2004

“Dzikir Sepi Dzikir”

(Dzikir:1)

di depan pintu gerbang kota
berdiri para muda mengulum kata, menarikan diam
musik dan nyanyian dibawakan dalam irama sumbang
bergoyang pantat sampai ubun-ubun
segelas angin yang dihirup cukup sudah memabukkan
kata-kata siapa mampu mengusik tidur panjang
di meja tinggal tersisa umpatan

sedikit masuk dari gerbang
kucabut sehelai rambut di ubun-ubun
menegakkannya sebagai tongkat Alif
aku melintasi angin
di pucuk pohon lamtara belalang sembah tenggelam pada
kedalaman telaga dzikir
apa hendak dibincangkan dari naskah peribadatan para pejalan

(Dzikir:2)

menyisir batas antara gelap dan terang
bukan untuk memasuki ruang remang-remang
jagad kesunyataan tidak menawarkan pilihan: hitam - putih
telah dikabarkan tentang hak dan batil, maka
pilihan berdiri pada ruang kepantasan hidup
sebab, dalam gelap tersembunyi terang
dalam terang bersemayam gelap
lalu, dimana diri diantara yang telah ditunjukkan atas
bentangan pewicaraan gelap-terang, hak dan batil
kefitrahan senalar hukum dialektika kesemestaan yang illahiyah
berserulah dalam hati dan pikiranku
bersama, menyertai yang tersisih dan disingkirkan
mengalirkan air
menebarkan angin
menyiramkan terang
memayungkan ampunan
melimpahi kasih
ya, Allah
ya, Huu
ya, Akbar
tempatkan diri diantara yang tidak dilalaikan
pikiran
hati
jiwa
ruh
dan
badannya
tuntunkan ingat pada diri yang
dekil
debu
sampah
dan
jalanan

(astaghfirullahal ’azhiim
laa ilaaha illallaah hu Allah hu Akbar)

(Dzikir:3)

mengetuk pintu Langit, menguak jendela Khalik
mengintip Alif meng-kalam Hak
manusia menarikan dunia
hidup menjadi kata Nafas
hembuslah…
hiruplah….
bermakna bagai nuansa jalan-jalan sepanjang
Marwah hingga ‘Arafah
selesat dari
Al Mukharamah ke Al Aqsa sehingga Sidratul Mun’taha
sungkurlah sujud di haribaanMu berserta Bumi dan Langit
wahai… unjuklah jalan lurus, panjang dan mustakim yang
penuh rakhmah, karomah, ridlo dan barokah
Allahu Akbar

(segelas bir di meja depan itu,
apakah telah menuntaskan dahagamu?)

(Dzikir:4)

ketipung, tam-tam dan seruling dipajang di dinding
organ, piano dan gitar menghias bantal
detak jam menjadi musik abadi
maka, lanjutlah
bercinta dengan waktu
bernyanyi dalam setiap nafas dan
tarikan dzikir.....

(Dzikir:5)

apa yang dapat dinyanyikan ketika
dawai gitar dipetik untuk komposisi satu nada, sedang
partitur lagu ditulis untuk satu tarikan nafas
maka,
lagukan irama damai dalam dzikir.....




Surabaya-Mojokerto, April-Mei 2004

“Salam di duduk malam”

ketika pesta dimeriahkan dengan
bir, vodka, rum, anggur dan racikan
canda tawa dan kegembiraan lepas bebas dari pingitan
dimana cinta Yang Khaliq dan Shidiq didudukkan?

diantara nyanyian sepi aku menarikan joget
dengan tanpa gerak
dzikir yang dinafaskan angin
bersama gunung, hutan dan lautan
apakah telah menjawab gelisahmu?




Surabaya di Awal Mei 2004

“Sesuatu malam ini, bukan sekedar catatan”

(1)
Segelas angin dan setumpuk malam
tidak untuk dipertukarkan dengan siang.
Pagi dimekarkan matahari, bukan berarti
sore diredupkan oleh tikaman bintang.
Jajari kanak-kanak dengan seribu bidadari,
Biarkan nafas menarikan harum bunga setaman,
sehingga telungkup sujud bersama sang waktu.
Aminkan hidup lewat tarian dan dendang nyanyian jiwa.

(2)
Ditumpukkan jerami di pojok pematang bersanggakan sebatang bambu
Anak-anak sawah bersenggama bumi, membuntingi waktu
Tetes titik-titik keringat bersimbah darah dan air mata
Mengikuti kecambah padi dan palawija, menanti matang untuk dituai
Berhitung bulir dan kepeng diasap dapur
Di kebun belakang rumah, seekor elang menyambar anak ayam
Di halaman depan rumah, seekor kucing melahap ikan dan daging
Di ruang tamu, tikus dan rayap-rayap sedang memusyawarahkan siasat
Menanam matahari di kedalaman malam


(3)
Anak kecil
Balita
Perempuan
Dini hari
Memainkan botol kosong bertali rafia warna biru
[Menggiringnya sebagai ternak piaraan (?)]
Setangkai ranting daun trembesi, layu
[Memegangnya sebagai pakan (?)]
Sebentar jam nanti,
Fajarkah matahari sesuai janji
Republik
Kapan dipulangkan kembali

[Ibuku kemarin pagi nyaris mengusung kain terakhirnya ke rumah gadai
Bapakku mengurai tangis meratap-ratap di pojok desa
Kerbau di kandang telah menjadi karat besi]

Surabaya-Mojokerto,08-09.06.04

"Sesuatu Kontemplatif di PeDuaKaPe"

Mari beranjak menuju para miskin,
sebab tanah gersang di puncak kemarau pun tetap menyanyikan lagu cinta.
Juga gunung, batu, kerikil, pasir, debu, angin dan kayu
Air hanya kadang tampak mengembun menjelang fajar pagi,
cukup menyejukkan pupus-pupus daun pada dahan-ranting yang ranggas.

Sudah sengatkah engkau oleh matahari kegelisahan,
sehingga peluh mengucur beranak-anak sungai.
Mengapa malah menggigil?

“Keringat dingin…,” kau bilang.
Tubuh bugar yang kekar tampak lapuk kedinginan di puncak siang: “Pucat-pasi!”
Gerangan apa digelisahkan? Panenmu di musim lalu toh masih menumpuk di gudang.
Belum lagi berangkat surut, telah pandang dimuka berkas-berkas peruntungan.

Tatap dengan pandang jiwa yang hampir tak bernyali!
Anak-anak, tua-muda, laki-perempuan, fakir-miskin dan kekumalan
memusyawaratkan butir-butir beras dan nasi di perempatan.
Sampai tuntas nafas-tenaga mereka membuihkan kerja dan kata-kata,
sedang belum segenggampun dari karung digudangmu tercecer.

Mereka tidak memintakan belas-kasihan.
Sebab tidak ada belas kasihan di padang kehidupan ini.
Mereka semata menuntut HAK dan peruntukan.
Apalagi hendak dikilahkan dari ALIF yang telah bengkok oleh segenap ruwet kepentingan?

Maka, di hari yang dijanjikan kefitriannya ini,
ketika sebulan telah tenggelamkan tafakurmu dalam goa kesunyian, sehingga
terang membuka mata hati, mata pikiran, mata jiwa dan mata badan atas segenap BACAAN
Semoga, dengan segenap ridlo Sumber dari segala Sumber Terang
Terlahirlah kembali kita sebagai manusia dengan segenap kefitrahan insan yang kamil
Maka, berakhir dan tumpaskan seluruh ruh-jiwa kesetanan dan kebinatangan
dari segenap hati, pikiran, jiwa dan jasad ini…..

MAHA BESAR ALLAH DENGAN SEGENAP AMPUNAN DAN KASIH-SAYANG …..
Mojokerto, 14102002 – 21112003

Friday, May 25, 2007

“Pancaroba ini panjang waktunya”

Mendung di kemarau ini sungguh tebalnya
Hujan lebat dan banjir datang tanpa janji kencan
Payung usang telah merambang sobek-sobek
Anak muda,
Tisiklah ia dengan jarum petir dan
Benang rambut-rambut matahari



Pasar Minggu-Jkt, 02.06.04

Aku Bercukur Gundul

Rambut di kepala pun telah tebas sampai pangkalnya. Aku bercukur gundul. Tanpa sisa sedikit ruang sembunyi para kutu, jamur ketombe dan kudis, apalagi kesempatan mereka untuk menyelenggarakan rapat umum dan bermahkamah. Tidak juga bagi benih-benih koreng berkembang luput dari pengawasan.
Wahai, tiup-tiup angin merambat usap tiap ruas pangkal rambut. Segar. Tingkas keringat tanpa sempat membangun iklim lembab. Permukaan bidang kepala tidak lagi memedia tetas sisa telur-telur kutu atau menjadi lahan subur kembang biak jamur dan ketombe.
Selamat tinggal garukan tajam ujung-ujung kuku kegelisahan. Gatal sengatan gerah ternyata cukup diusap telapak kemesraan dan cubitan hangat ujung jemari matahari. Kepala ku membuka sempat untuk berbenah diri.
Rambut mengombak setengah ikal yang pernah mengurai panjang, sempat aku menggelungnya. Tiga tahun lalu aku tanggalkan. Sisanya telah tebas saat menjelang tengah hari tanggal lima di bulan kedua pada tahun kedua, awal abad ini.
Selamat tinggal jungkat. Selamat tinggal keharusan bersisir, sampai tepat pada waktunya nanti.
Helai demi helai rambut yang mulai rontok oleh umur dan keasaman, tidak lagi mengotori lantai, kasur dan bantal. Gatal-gatal dan kekusutan tidak lagi menyerimpung segar angin dan hangat matahari yang lama dirindukan ujung-ujung syaraf di seluruh bidang kepala.
Wahai otak, ini kan tambahan energi yang engkau dapat melahap dan mencernanya tanpa prosedur birokrasi. Sungguh, ini efisiensi.
Botak di kepala ini menyempatkan setiap mata menyelidik sampai kulit kepala dan pangkal rambut semata. Toch, bayang-bayang rambut yang mulai tumbuh masih juga meragukan. Sungguh kah muka kepala itu selugas mulus yang ditampakkan.
Sekedar gundul ternyata tidak cukup untuk menyebut keterbukaan. Tikamlah sampai kedalamannya dan bukalah bersukarela, sampai ditahu jelas bagaimana rupa dalam kepala ini. Sampai dirasa benar tiap denyut pada keseluruhan bidang menyakinkan hidupnya getaran syaraf dan menandakan: sesungguhnya seluruh isi kepala ini memang bekerja semestinya.
Mari bongkar otak kepala. Berdaya ingat kah ia atas situs-situs memori yang dimiliki. Berdaya kritis kah ia dengan getar energi pikirannya. Berciptakah ia dengan daya kreasinya.
Tajam membelah, mendobrak batas-batas ruang imanensi.
Transendensi!
Emansipasi!
Gundul di kepala ini, aku tengah menikmatinya……


Kediri – Ponorogo, 5-9 Pebruari 2002

Malam seribu bintang

Malam bulan syawal tanggal tua
Tanpa kabut
Tanpa mendung
Langit bintang-gemintang
Allah-hu Akbar………….



Ponorogo, 12 Januari 2002

“Jangan Bersedih, Bunda…” (Salam di Awal Tahun 2002)

jemuran telah mengering, tinggal membesutnya
perjamuan telah disiapkan dengan sajian tarian laron, seriti dan walet
hujan sehari kemarin, semata memekarkan benih padi yang telah ditebar
mendung itu hanya sebentar lewat
tidakkah kau dengar kabar tentang anak-anak yang mulai pintar bermain petir?
mereka menjinakkan dan mengurainya sebagai cambuk, lalu
siapa berani melusutkan pakaian yang telah kau besut, atau
merusak padi yang mulai tumbuh
anak-anak gagah menjaganya!



Kediri, 7 Januari 2002

Suatu Ketika Itu Dengan Lelaki Tua Di Lereng Bukit Rajegwesi

rumah tua dinding bambu tanpa jendela
uzur
remang-remang di tengah siang
beralas tikar
menyusun selingkar permusyawaratan bertetangga
arisan, saling menyangga beban dan harapan

menyandar tiang utama
lelaki tua menanya kabar keselamatan para bapak perintah negara
aku menjawabnya,
atas restu Pak Tua bersama seluruh warga, beliau sehat dan selamat
namun, Pak tua
masih ramai dikabar radio, televisi, koran dan pasar omongan
merconan ada dimana-mana
lelaki tua itu, menyampaikan nisbat moyangnya
tahun kalih-ewu niki padha nemahi jaman rame nanging ora tata *)
apa itu?
pucukaning negara menika munyuk **)
Maksudnya?
Munyuk niku senengane padha pencolotan sandhuwure tunggak-tunggak kayu sing wonten saurute dalan ***)
Siapa itu tunggak kayu?
Nggih rakyat, wong-wong cilik niki ****)

maka,
sesuatu apa hendak diwujudkan dari mimpi tentang masa depan?
Indonesia tanah-airku, tanah tumpah darahku *****)
Di sana lah aku berdiri, jadi Pandu Ibuku *****)
tetapkan sikap, satukan tekad: ”Bangunlah jiwaNya, Bangunlah badanNya!” *****)


Ponorogo, 21 Nopember 2001




Catatan:
*) tahun duaribu ini adalah jaman ramai, tapi yang tanpa aturan.

**) para pemimpin negara ini monyet.
***) monyet itu sukanya berloncatan di atas tonggak-tonggak kayu sepanjang jalan.
****) ya rakyat, orang-orang kecil ini.

*****) dipetik dari syair “Indonesia Raya” oleh Wage Rudolf Soepratman.

Dilarang Berhenti!

Harum bau tanah oleh gerimis awal kemarau ini,
masihkah kau teringat pada
kanak-kanak yang beradu ligat dengan ayam-ayam kelaparan?
Harum bau tanah oleh gerimis di awal kemarau ini,
masihkah kau ingat pada
hujan yang dinantikan di penghujung akhir kemarau panjang lalu?
Kanak-kanak kita yang kelaparan pun
tidak perduli untuk bercanda dengan bondongan rayap-rayap dan laron
yang tidak lagi memiliki daya tahan untuk sembunyi di liangnya.
Fajar telah menyingsing.
Bertapak-tapak kaki telanjang bersatu irama denting cangkul beradu lapis muka tanah.
Lahan telah disiapkan.
Benih telah ditaburkan.



Kediri, Mei 2001

Tutur Malam

Seorang tua bertanya pada anaknya:
“Dari arah mana matahari terbit esok hari”
“Dari Timur,” jawab sang Anak
Di Timur itu pula ditanam sekerat batang sirih



Ponorogo-Kediri, Oktober 2000 – Mei 2001

Pada Suatu Perjamuan

telah disajikan darah dan daging dari bagian tubuh-Nya
pada semangkuk mie-bakso kuah
berkendara selembar daun kering, laju meniti jejak angin
ruh dan jiwanya bebas dari terkaman
tajam matanya beranak panah menatapmu yang siap melahap
apa hendak kau bayarkan pada tetes liur pertamamu
menghirup harum sajian hangat-hangat birahi
sedang kau belum menanya pada darah dan daging dari bagian tubuhmu,
apakah sudah dizakati


Ponorogo-Yogya-Kediri, Juni 2000 – Maret 2001

Watercloset

Aku memulai hidup yang sesungguhnya di Jaman Nagabonar.
Jaman ketika seorang Asrul Sani memaki dirinya dan
memerintahkannya berhenti berpikir.
Pikiran hanya akan bikin pusing dan pontang-panting.
Bukan saja bagi sang Bujang, bawahan kesetiaan,
utamanya bagi sang Komandan, jenderal rekaan.

Berhentilah berpikir.
Gantikan kepintaran dan wawasan dengan kelicikan dan kenekatan.
Nyatanya kebijakan tidak memerlukan keruwetan pertimbangan.
Sederhana,
sangat sederhana.
Apa perlunya, apa maunya? Putuskan!
Demikian kebijakan.
Yang demikian ini tidak perlu dipertanyakan.
Jika toh ada pertanyaan, dapatkan apa saja, dimana saja dan kapan saja
sebagai jawaban dan alasan.
Tidak puas dan masih bertanya? Bereskan!
Sederhana,
sesederhana satu ditambah satu sama dengan dua.
Mengapa dua?
Memang begitu sudah dari mulanya.
Tidak begitu, salah.

Jaman itu adalah jaman ketika orang-orang kebanyakan harus menerima
kepantasan ke-demi-an.
Demi perjuangan, demi pembangunan, demi kemajuan, demi kemandirian
dan demi sesuatu yang demikian.
Mengapa harus bertanya tentang harga-harga
yang tidak pernah diturunkan seperti tuntutan yang dijanjikan,
sebab satu ditambah satu sama dengan dua.
Tetaplah saja, selayak tetap tiadanya penghargaan akan limpahan beras,
jagung, palawija, ayam, bebek, kambing, sapi, kerbau, sawah, ladang,
hutan, sungai, gunung-gunung dan lautan.

Kebijakan tidak ubahnya permainan catur bertaruhkan puteri amtenaar antar
dua sekawan bersaingan: Jenderal Nagabonar dan Jenderal Mariyam.
Keterbukaan bidak-bidak berperhitungan setara kejujuran dan kegembiraan
berubah
menjadi kelicikan, pertikaian dan pistol-pistolan.
Tiada bentang ruang tersisa kecuali untuk sepasang kursi dan sepancang tiang
yang mengibarkan kepongahan,
mendudukkan kekebalan dan
menyerukan perintah komandan di sela buruan seribu peluru.
: “Tetaplah maju, walau mati seribu dan tumbuh satu.”

(000)

Yang satu itu kini menjadi batu.
Bilangan seribu adalah berjuta-juta kabur diantara debu,
diabaikan dan ditanggalkan.
Pertanggunggjawabannya?
Selintutan.
Asal tidak ditahu, pasti tidak ditanya.
Seandai ada yang tahu tidak akan berani menyapa, sebab
pasti akan didiamkan saja.
Ini akan membikin kerepotan.
Keputusannya: “Bereskan!”
“Siap, jalankan.”
Brok-brok, gedobrak-brok!
Tersembunyi, diam-diam.

Jangan tinggalkan jejak, walau sebiji bayam pun.
Sebiji bayam yang tercecer akan tumbuh sebagai penanda.
Demikian pepatah jaman.
Masa ketika nyali ditegakkan tanpa budi-pekerti dan istiadat kemanusiaan.
Sebiji bayam pun tercecer lupa,
daripada berangkai, harus ada yang dikorbankan.
Kemudian umumkan kepada khalayak, bahwa
konstitusi harus ditegakkan demi ketertiban, keamanan, ketenteraman, kemajuan dan kelangsungan kemapanan.

Penyimpangan dan keteledoran telah ditindak sebagai pecundang dan dibelusukkan.
Korupsi, manipulasi, subversi atau kriminal
itu sebutan
atas pertimbangan tingkat kerawanan kepentingan dan keamanan kemapanan. Boleh jadi urusannya semata sopan-santun bawahan dan ketersinggungan atasan.
Yang penting,
pada khalayak ditunjukkan kesungguhan penegakan konstitusi,
peraturan dan perundangan.
Pertunjukkan kesungguhan niatan menciptakan kebersihan
penyelenggaraan segala urusan.
Biar khalayak tahu, mengerti, memahami, menerima dan terpuaskan
bahwa konstitusi ditegakkan,
bebersih dilakukan.
Tak peduli memang,
apa khalayak sungguh begitu atau pura-pura karena terpaksa dan ketakutan.
Sesungguhnya keadaan dalam ancaman.

Hidup di jaman itu seperti hidupnya ikan dalam akuarium.
Transparan tanpa keleluasaan.
Segenap daya dicurahkan untuk pikiran tentang kebulatan yang utuh,
bulat-bundar.
Impiannya menggelinding pesat.
Lesat!
berjalan tanpa hambatan.

Berhentilah berpikir,
karena pikiran memang tidak diperlukan.
Kesetiaan yang diutamakan sebagai kebutuhan.

Kesetiaan itu hanya ada diantara orang-orang yang ditahu,
bahwa mereka tahu.
Ada diantara orang-orang yang diterima,
bahwa mereka pun menerima.
Tahu sama tahu, terima saling terima.
Kesetiaan dituntun oleh persamaan dan persinggungan kepentingan.
Ia berada diantara para suami-isteri, anak-cucu, sanak-famili,
teman seperuntungan dan para beli-bayaran.
Persembunyiannya ada di balik pensakralan kebersamaan,
kegotongroyongan dan kekeluargaan.
Semua mudah dibicarakan.
Kuncinya: jangan keterlaluan dan jangan kelihatan.

Pikiran memang tidak diperlukan, sebab terlalu merepotkan.
Ia dapat menggiring khalayak pada keluasan wawasan,
ketajaman pandangan, kedetilan kecermatan,
kepintaran dan keberanian.
Ini akan memancing keributan,
mengharu-biru kemapanan.
Bagian-bagian yang tercecer dan ditanggalkan akan kelihatan, juga
tentang banyaknya pikiran tajam dan
kepentingan kaum kebanyakan telah diabaikan.
Sebab
demi keutuhan,
demi kecepatan perjalanan
yang menggelinding lesat dalam kendali tanpa pengendalian.
Pikiran dan kepentingan kaum kebanyakan itu keasingan,
hambatan dan penyebab ketertinggalan.

Permainan kartu truf pun diselenggarakan di atas meja judi tanpa taruhan,
karena yang mestinya dipertaruhkan sudah tergadaikan kepada
para tamu luar dan para undangan.
Orang-orang pun duduk melingkar
dengan secawan anggur yang diminum secara bergantian..
Trufnya adalah: kekuasaan.

(000)

Aku adalah sepersekian sen diantara jutaan sepersekian sen
dalam bilangan yang tercecer dan kabur diantara debu-debu.
Bukan karena pikiran,
bukan pula karena keberanian atau kepentingan.
Begitu sudah keadaannya.
Kesepakatan jaman begitu jelasnya,
pembagian dan bilangan pecahan tidak diterimakan.

Jangan berbilang sen, ketip, tali atau ringgit
sedang bilangan satuan, belasan, lawean maupun eketan
pun sudah tidak diperhitungkan.
Maka,
turunkan barang dan hasil kerjamu di lantai dasar,
mereka akan menaikkan harganya di atap balkon.
Kita pun tidak pernah tahu siapa pembeli dan pemborongnya.
Itu dimaklumkan sebagai bukan urusan kita
yang berada dalam perhitungan sepersekian sen yang tercecer dan diabaikan.

Konon pembeli dan pemborongnya adalah para tamu luar,
undangan dan diantara mereka yang duduk melingkari secawan anggur
dan meminumnya secara bergantian
sambil berjudi tanpa taruhan.
Mengapa harus bertanya tentang pekerjaan dan penghidupan?
Negeri ini penuh kelimpahruahan dan kegembiraan.
Mitos murahan! Tidak.
Nyatanya?
Tamu luar dan para undangan itu begitu sudi berdatangan
dan memetik kesenangan.
Mereka lakukan apa saja,
dari eceran sampai borongan,
urusan memetik sampai berpabrik,
bahkan menjual kata-kata dengan sedikit pikiran sederhana.

Ini adalah tanah yang diperjanjikan.
Mereka pun berdatangan, sedang
di tempat asalnya mereka belum mendapat peruntukan
atau sudah tidak diperlukan.
Relokasi!
Cukup dengan sedikit wang untuk hidup dan kesenangan,
menumpuk tabungan untuk dipulangkan.
Sekalipun beranak pinak kaum sepersekian sen,
cukuplah dengan setanam kayu, setunas bambu dan sejumput batu.
Menyuap angin dan membuat kolam susu bagimu,
para utama, tamu luar dan semua undangan.

Sesuap angin itu, kami terus memakannya.
Ini urusan sepersekian sen yang jutaan,
tercecer dan ditanggalkan.
Bukan urusan satu bulat-bundar yang dipermuliakan.

Sesuap angin itu telah menjadi nasi dan tahi.
Sehingga sepersekian sen bertanya
bukan semata soal pekerjaan dan pengangguran, bukan pula
soal penghidupan atau kematian.
Soalnya salah penghitungan.
Pelecehan.

Sesuap angin adalah gugatan.

(000)

Sampai kartu truf kekuasaan mendapat tandingan dan berpindah tangan.
As truf utama dan taruhan terlanjur
di tangan para tamu dan undangan.
Apa hendak dikata,
secawan anggur tumpah diperebutkan.
Berhenti sejenak, tertegun dan sarat keraguan.
Cawan yang satu ini jangan sampai dipecahkan.
Setetes anggur yang tersisa lekat pun diratakan pada
seluruh permukaan cawan.
Orang-orang yang bertikai pun telah berebut
gantian menjilati cawan.
Atau,
cawan ini digadaikan saja
untuk mendapatkan As truf utama dari para tamu dan undangan?

Ada pilihan lain.
Bagaimana kalau
permainan kartu di atas meja judi yang tanpa taruhan ini di tinggalkan?
Tidak!
Truf yang sudah dipegang harus dimainkan.
Tetapi,
As truf utama ada di tangan orang,
pemain kiriman.
Bukan itu saja,
taruhan sudah terlanjur digadaikan.
Ya, justru itu.
Pegadaian harus diperhitungkan,
sebab menghendaki permainan kartu ini diteruskan.
Mengapa?
Mereka terlalu kuat dengan As truf di tangan dan mengendalikan.
Setiap kali siap mengunci permainan, sekalipun hanya
di tingkat tawaran dan tekanan.

Pemegang truf baru adalah
bagian-bagian besar dari golongan sempalan.
Bukan kaum sepersekian sen yang ditanggalkan.
Mereka cukup berperhatian.
Masalahnya,
pemegang truf baru ini belum sepenuhnya mengendalikan.
Banyak hal jadi pertimbangan.
Sedemikian banyak, kompleks dan ruwet.
Kutak-katik sana sini mencoba formasi,
bertikai kata dan adu argumentasi.
Mulur-mungkret.
Tampak selalu gelisah dan kegerahan
dalam balut selimut kumpulan perkara dan
segala urusan mendesak paksa minta didahulukan.

Permainan kartu memang harus diteruskan.
Jika tidak,
cawan satu itu akan dipecahkan menjadi puing,
berantakan dan berpindah kepemilikan.
Apa artinya truf yang berpindah tangan jika lalu berhenti di tengah jalan?
Sekalipun As truf utama dan semua taruhan telah tergadaikan.

(000)

Sesuap angin yang dimakan oleh jutaan sepersekian sen
tidak mampu padat maupun cair untuk diberakkan.
Ia telah menjadi kekesalan dan kejengkelan.
Soalnya sangat jelas,
permainan tidak berjalan lancar.
Tersendat dan ngap-ngapan.
Pemegang kartu truf atas satu sesi kemenangan
terlalu sibuk berdebat dan saling tarik kepentingan.
Sampai
kakus jutaan sepersekian sen hampir pampat oleh tumpahan aspirasi,
kepentingan, cita-cita, harapan dan kesabaran.
Apa mau dikata,
WC jamban tidak lagi berisi tahi,
sebab sesuap angin yang menjadi nasi?

Terlalu lama sepersekian sen tidak diperhitungkan,
kekenyangan angin dan kesabaran sampai tumpah dan muntah-muntah.
Sepersekian sen dalam bilangan ribuan dan jutaan
adalah besaran kekuatan.
Ini soal harga diri.
Ini soal kehormatan.
Sebab
berat himpitan jangan sampai membikin sekarat dan mudarat.
Jangan biarkan kakus-jamban itu luber dan membuat luapan.
Menjijikkan?
Memalukan?
Tidak ada yang lebih berat dari diabaikan.
Comberan?
Memuakkan?
Tidak ada yang lebih menghinakan daripada diperlakukan sebagai
ada tidak menggenapkan, tiada tidak mengurangkan.

Sesuap angin dalam jutaan telah menjadi badai kekuatan.
Tuntutannya berharga mati
: “Demi keterbukaan dan kejujuran,
hancurkan meja judi!
Remukkan berkeping dan pindahkan permainan ke tanah lapang
atas persaksian jutaan pasang mata dan pandangan.
Cermati,
jangan ada selintutan.”

Sepersekian sen turun bermain
dan memasang tawaran.
Demi demokrasi dan keadilan
: “Delapanbelas, No Trump!”

Bermain atas dengan resiko kerugian.
Semua sudah terlanjur mulai dengan kerugian dan pengorbanan.
Demi perbaikan,
begitu sudah sepersekian sen mengambil tindakan.
Pilihannya
:“Watercloset atau revolusi kebudayaan.”
Sepersekian sen adalah duaratus juta lebih manusia Indonesia.
Ini kekuatan menuju perubahan dan perbaikan.
Jangan abaikan



(Banyakan-Kediri, April 2000)

Dilarang Lewat Jalan Ini, KECUALI Tuhan dan Karommah-Nya

Hiruk-pikuk keributan dan kesimpangsiuran mendadak terdiam. Tidak lama selang, orang-orang sibuk berdesakan di ujung persimpangan jalan. Mereka pun berebut membaca rambu-rambu larangan yang terpasang.
“Dilarang Lewat Jalan Ini, KECUALI
Tuhan dan Karommah-Nya.”
Perbincangan beradu cakap menggelar kabar pemberitaan pada khalayak keributan. Kata berita: “Tuhan akan lewat jalan ini membawa karommah-Nya.”
Orang-orang pun berkumpul, kemudian berjajar rapih bergandengan memagarkan badan. Menunggu, memasang pandang penuh harap dan kesiagaan. Jika nanti Tuhan beserta karommah-Nya lewat jalan ini, mereka siap untuk berebut merampasnya.
Sampai lama kemudian, Tuhan dan karommahnya belum tampak lewat datang.
Orang-orang mulai gelisah dan meributkan, mengapa Ia belum juga tampak datang. Mungkin jalan ini kurang layak. Mereka pun sibuk membongkar dan membangun kembali jalan itu, sehingga lebih lebar dan mulus permukaannya. Sepanjang tepian diperindah dengan warna-warni hiasan, lampu, bunga-bunga dan bendera.
Selesai. Orang-orang kembali pada tempatnya semula. Rapih, berjajar memagarkan badan. Menunggu, memasang pandang penuh harap dan kesiagaan.
Tuhan tidak juga datang lewat bersama karommah-Nya.

(000)

Kuyup oleh gelisah, jemu, kantuk dan kelelahan, orang-orang terhenyak dari sekejap ketiduran. Ada keributan di ujung jalan! Selembar plakat tertempel lekat menutup tanda larangan. Siapa memasang, tidak seorang pun diantara mereka. Tidak seorang pun. Juga, tidak seorang pun melihat orang baru yang datang.
“Baca. Baca keras-keras plakat itu.”
“Hoi… yang di depan, baca keras-keras! Biar kita semua mendengar.”
“Tenang. Tenang. Saudara-saudara semua harap tenang!”
“Ayo… cepat! Baca segera!”
“Tenang. Tenang saudara-saudaraku semua. Tenang. Saya akan bacakan.”
“Duduk semua! Semua duduk! Kecuali yang membaca, semua duduk!”
Diam dan tenang. Ujung jalan persimpangan penuh sesak orang-orang duduk. Hening pecah oleh suara lantang pembaca plakat.

“Tuhan dan karommah-Nya
ada bersama para buruh, petani,
orang-orang melarat dan kelaparan, gelandangan,
anak-anak terlantar, perempuan-perempuan teraniaya dan
mereka yang memiliki hati, nurani dan nyali.
Tuhan dan karommah-Nya
tidak untuk mereka yang hanya menunggu dan merampas.
Bukan untuk keserakahan, kelalaian dan kelaliman.
Tuhan dan karommah-Nya
bersama mereka yang terlupakan dan engkau sisihkan.
Tertanda:
Tidak untuk Disebutkan”

Terkesimak diam. Orang-orang gelisah memendam kegundahan. Udara menaik gerahnya oleh panas badan yang memagma. Meluluh-lantakkan mulus permukaan jalan dan persimpangan, merontok-lelehkan indah warna-warni hiasan, lampu-lampu, bunga-bunga dan bendera. Pohon-pohon perindang serentak mengering, lapuk dari daun hingga seakar-akarnya.
“Hai, pembaca! Ulangi, siapa tertanda dalam plakat itu?”
“Tidak untuk Disebutkan.”
“Siapa?!”
“Tidak untuk Disebutkan.”
“Awas, jangan main-main. Sebutkan!”
“Tidak untuk Disebutkan!”
“Hai, pembaca. Jangan manipulatif!”
“Ya, pembaca. Sebutkan siapa tertandanya.”
“Sungguh, Tidak untuk Disebutkan.”
“Bangsat! Saudara-saudara, pembaca itu menipu.”
“Ya, penipu! Serakah!”
“Penipu. Habisi penipu!”
“Habisi!”
“Selesaikan!”
Kalap. Kacau. Jalang. Larat. Tidak terkendali. Pembaca terhentak sekarat.
Bedebah! Liar!
“Cari pembawa Tuhan dan karommah-Nya!”
Meledak magma itu. Meluap deras luncurannya ke segenap penjuru jalan persimpangan, kecuali jalan yang di ujungnya tanda larangan tertutupi plakat. Mereka mencabut rambu-rambu, meraup plakat dan membawanya berhambur pergi. Persimpangan dan penggal ujung jalan itu resap panasnya dalam beku. Senyap.

(000)

Di tepi pada hampir penggal tengah jalan yang ditinggalkan, plat besi bundar pintu reol terbuka hati-hati dan pelan. Laki-perempuan, tua-muda, dewasa dan kanak-kanak. Kumuh. Rapih menyebar sepanjang jalan, berbagi bantu saling tarik dan baku dukung membersihkan berbagai perindah yang tidak diperlukan.
Seorang anak kecil dengan kumuh badan dan seuntai padi ditangan, berlari kecil menuju ujung seberang. Lainnya menghantar pandang dari tepian. Seuntai padi itu diletakkan penuh khitmat di tengah persimpangan. Pelan dan penuh harapan. Tegak berdiri ia dan semua tengadah menatap langit dan matahari.
Pohon-pohon yang kering itu pun hampir bersemi di pucuknya. Tunas-tunas biji juga mulai tumbuh. Sesiang gerah begini, angin memang menyegarkan.
Sayup-sayup remang, Pembaca sekarat seperti merasakan kehadiran. Tarikan dan hembusan nafasnya penuh perkiraan. “Mungkinkah Tuhan bersama karommah-Nya tengah berjalan?”

(000)

Di tempat dan jalan yang lain, orang-orang yang larat memasang pindahkan rambu-rambu dan mengubah plakat. Mereka pun bersiasat membelokkan jalan Tuhan dan karommah-Nya.



Yogya, Maret 2000

Dengan Tarian Layang-Layang, Kanak-Kanak Menyapamu

Selembar daun kering yang dipetik angin awal musim kemarau tahun lalu telah mulai tunas dan berakar pada setiap ujung uratnya. Kanak-kanak yang bermain layang-layang beramai-ramai memungut dan mananamnya pada ujung pintu air sumur ladang yang selalu basah dan lembab. Setiap waktu mereka menjaganya dalam kegembiraan, was-was dan harapan. Bergiliran sepanjang pagi, siang, sore dan malam hari. Tidak sehama-penyakit pun berani menyatroninya.
Kanak-kanak yang dulu pernah dijanjikan pada mereka untuk menari dan bernyanyi pada suatu pesta sudah tidak lagi mau menunggu, apakah pesta itu jadi akan diselenggarakan atau ditiadakan. Sebab menunggu hanya akan memupuk kegundahan dan kekecewaan. Mereka biarkan janji itu menua berkarat, kemudian dituntaskannya dalam rautan tajam mata pedang rerumputan dan dijadikan kerangka layang-layang.
Sepanjang hari dari pagi sampai malam kanak-kanak tidak henti memainkan layang-layang secara bergantian sambil terus menjaga daun kering yang ditanam dan kini mulai tunas dan berakar.
Layang-layang yang diterbangkan terus menari, bukan sekedar oleh angin dan ulur-tarik benang, namun juga oleh kegembiraan kanak-kanak untuk selalu menyerukan kabar bahwa daun kering yang mereka tanam telah tunas dan berakar. Dalam gelisahmu, apakah engkau mendengar kabar itu? Atau, engkau terlalu sibuk mengobati centang-perentang lidah teman-temanmu yang cabik, tersayat oleh pucuk-pucuk butiran debu, pasir, kerikil dan batu-batu? Atau, engkau kini malah menjadi beku, sebab lelah berkaca pada setitik embun yang melayang dalam terik siang?
Padang panjang memang bukan sekedar tanah lapang, ia adalah belantara fatamorgana dengan segenap tipu daya. Tataplah gerak tari layang-layang yang dimainkan kanak-kanak itu, sehingga engkau tangkap pesannya. Lepaskan ilusi sebelum jauh menghalusinasi. Pesta yang engkau janjikan memang belum terselenggara dan tidak harus ada.
Maka, dengarkan kanak-kanak bicara tentang pesta yang tengah mereka rencana. Saat nanti ketika pokok tunas daun kering telah berkembang sedepa, mereka mengundang untuk berkeliling dalam pesta. Tanpa janji. Tanpa ilusi. Tanpa fatamorgana. Mereka akan menyanyi, menari dan terus memainkan tali layang-layang sambil menjaga pokok tunas daun kering sehingga menguat akar, mengembang batang, ranting dan daunnya.
Tetap kenakanlah gaunmu dan jangan tanggalkan. Sembuhkanlah lidah teman-temanmu, ajaklah mereka berjalan. Karena, dari kemarin sampai saat ini kanak-kanak selalu bertitip tanya, apakah bibir meja kerjamu itu masih bermerah gincu?


Kediri, 01.06.2000

Pada Suatu Siang Yang Terik dan Panjang, Kau Berkaca Pada Setitik Embun Yang Melayang

Runcing bunga rumput dalam genggam angin menikam bengal pikiranku mengusikmu berkaca pada setitik embun yang melayang dalam terik siang. Kau berdandan untuk sebuah pesta yang belum ditentukan. Karena kanak-kanak mestinya bernyanyi, malah berlari… menjelang merah gincu bibir meja kerjamu. Mencari kata-kata untuk diterpakan pada pucuk-pucuk butiran debu, pasir, kerikil dan batu-batu … sehingga daun kering yang tercerai dari rantingnya pun tahu, dimana harus menimpa.
Kau mendapati teman-temanmu dalam pakaian berdasi kupu-kupu, berkerumun satu per satu lalu berebut mengais-kais dan menjilat satu demi satu: pucuk-pucuk butiran debu, pasir, kerikil dan batu-batu. Maka, ketika kau menyapanya, serentak mereka berseru tentang tanah lapang yang diperjanjikan. Sedang kanak-kanak mulai belajar menari diantara serpihan-serpihan ujung lidah dan licin air liur di seluas bentang halaman… di sepanjang jalan, dari rumahmu sampai ujung-ujung perbukitan.
Runcing bunga rumput tertanam semakin dalam. Ia mulai berakar. Aku belajar merawatnya pada kanak-kanak yang kini mulai menyanyikan kata-kata sambil bercanda dengan angin dan kegerahan. Mereka pun mengajakku melihatmu yang terus berkaca pada setitik embun yang melayang dalam terik siang. Kau mulai bergaun. Tampak pantang dijenjang.
Kau merasa cukup waktu untuk segera berangkat. Teman-temanmu terburu untuk semakin giat berebut mengais-kais dan menjilat satu demi satu: pucuk-pucuk butiran debu, pasir, kerikil dan batu-batu. Sehingga tuntas tersayat-sayat lidahnya yang kering tanpa seoles basah liur sendiri. Pesta belum juga ditentukan. Karena kanak-kanak mestinya bernyanyi, malah memungut serpihan-serpihan lidah dan air liur di seluas bentang halaman, jalan-jalan dan perbukitan… memupukkannya pada subur rumput yang telah dalam berakar dan merebak.
Lembar demi lembar daun rerumputan lekat kuat dalam renggutan kibasan tangan kanak-kanak. Satu… dua… tiga… sepuluh… seratus… sampai… beribu-ribu kanak-kanak menggenggam kuat lembar demi lembar daun-daun rerumputan menjelma bilah-bilah pedang yang merentang siap menikam langit-langit kegelisahan.
Kanak-kanak telah siap menyanyi dan menari dalam pesta yang belum ditentukan. Menanti berduduk telanjang bergenggam pedang daun rerumputan, tatapannya menyapamu dan bertanya: “Telah cukupkah kau berkaca pada setitik embun yang melayang dalam terik siang?” Sedang teman-temanmu merasakan, pesta yang belum ditentukan telah selesai diselenggarakan.

Yogya, 11.11.1999

Thursday, May 10, 2007

“Nenek, Gamba-gamba ini aku bawakan untukmu”

(Untuk Zulkifli “Uun” Pagessa dan Nenek Tosale)




Lama aku menunggu lenting-lenting irama rajutanmu
dari tiap bilah gamba-gamba
Tarikan perasaan indahku
seperti kau pun menarikan rasa indah orang-orang di jaman mudamu
Sehingga, seorang banci keramat sampai mengadu
nada-nada rancag gamba-gambamu dengan
debur ombak yang bersekutu angin dan matahari.
Engkau tidak menundukkan ataupun ditundukkan
Sebab alam tidak untuk ditaklukkan,
begitu selalu petuah tua mu
Kalian memang tidak bertikai, namun
membangun konserta:
nyanyian bilah gamba-gamba,
debur ombak berirama gimba,
desah angin bernada lalove
Panas matahari menjelma kegairahan tari pohon-pohon nyiur dan
kerumunan bakau
Burung-burung pantai berkepak, ikan-ikan berkecipak
Sepan­jang garis tepi pantai Donggala.
Gamba-gamba juga kakula,
tidak lagi nenek mainkan sejak enampuluh tahun lebih lalu
Perlaminan mempelaimu menelikung tanganmu dari
merdu bunyi irama yang sampaipun kini,
belum lagi akrab dalam keseharian ruh dan jiwaku
Irama yang keluar dari tikaman lembut ayun tanganmu,
Aku mencarinya, Nenek menyimpannya
Nek. Mari tumpahkan dendam lamamu
Tikamkan pada kerinduanku
Aku menerimanya,
kawan-kawanku siap menyambutnya.
(Mereka semalam datang bersamaku mengantarkan gamba-gamba ini)


Palu, 1998 – Yogya, 1999 – Kediri. 2000

Suatu Malam Ketika Bulan Sakikir

Di teras rumahmu kita duduk dan berbincang-bincang
Malam itu penuh bintang
Rembulan sabit tanggal tua, kau menyebutnya bulan sakikir
Aku tertawa, kau tertawa
Dua ekor cicak bersuara bersahutan
Kau ketukkan ujung jarimu ke permukaan tangan-tangan kursi
Kau bilang, ini tradisi Kaili
Bercerita disahut bunyi cicak adalah kesaksian Malaikat
Cerita itu benar, katamu
Aku tersenyum, kau pun tersenyum
Telepon berdering,
kau menangkapnya dan menyulapnya menjadi secangkir kopi untukku

Secangkir kopi kau suguhkan padaku satu jam lalu
Separuh lagi ia tinggal
Separuh itu mengantarkanku menuju alam antah-berantah
Bulan sakikir mulai meninggalkan punggung bukit di seberang Teluk Kaili
Segumpal awan putih maya bergerak laju dilaju angin,
menjelma seorang Bidadari
Bergaun putih, berselempang kuning
Rambut tergerai lembut bermahkota bunga kencana permata hijau,
tinggi semampai
Busur beranak panah di tangannya diulurkan
Aku menerimanya

Bulan sakikir bertengger di pucuk pohon akasia
di pinggir jalan depan rumahmu
Aku membidiknya
Secangkir kopi tinggal seperempat lagi, menegakkan kegelisahanku
Kau pun berkisah tentang rumah tinggi yang
berhiaskan punggung-punggung bukit jajar setengah lingkar,
hamparan air laut dan lambaian pohon kelapa,
bermandikan cahaya matahari, bintang dan rembulan,
bertiupkan angin dalam irama lalove
Sekapur sirih lahap dibibirmu
Aku menelannya.
Bidikanku tepat
Bulan sakikir melayang jatuh di pangkuanmu,
menjelma sekuntum mawar merah dan setangkai daun kelor

Sekuntum mawar merah itu, kemarin lalu aku melihatnya.
Ia dikabarkan di Tanah Kabonga.
Ketika lelaki-lelaki keliaran menjala sunyi malam,
mendapati fajar tergolek di pinggiran jalan
Mawar itu ditangkap merahnya,
dihirup harumnya,
ditelan kegairahannya
dari kembang-biak taman langit-langit sepi
Laki-laki gelisah mencari hinggap
Bertengger di ranting tegak pohon kelor,
berteriak lantang
: “Bumiku dimana…!”

Berkendara setangkai daun kelor, bernyanyikan keheningan
Langit-langit malam berpelangikan bias rembulan menarikan bintang-bintang Mendarat di ujung fajar, aku dapati rupa bumiku
Aku usap lembut dengan muka dahiku

Cicak-cicak bergerak merapat, baku desak
Berdero, bersahut melantun pantun
Dihantar seteguk ujung di pangkal secangkir kopi,
aku berdiri bertelekan sebatang rokok lintingan
Melompat-lompat aku di sela malam dalam tarian tanah bergoyang

Telapak kakiku tinggal di teras depan rumahmu

Palu. Okt. 1998

Hari Ini, Pohon Tua Itu Ditebang

Untuk PLISIT POVIA , Adi “Kitink” Tangkilisan dan kawan-kawan









(Sore ini aku merasakan kesenangan dan kegembiraan mendapat undangan untuk pertunjukkan PLISIT POVIA tentang prosesi penebangan pohon tua yang ditengarai sebuah judul: PROSES KEBERSAMAAN DAN REGENERASI)

Pohon tua, yang ditebang itu, telah kering, lapuk dan keropos karena usia. Ia ditebang dalam sebuah prosesi, untuk penghormatan tentunya, supaya: “Ia tidak tumbang dengan sendirinya dan malah menjadi bencana bagi sekitarnya,” demikian menurut Adi Kitink. Kalau dilanjutkan, kata-kata Adi tersebut, kurang lebih berterus kata demikian:
“Maka, tanaman-tanaman sekitarnya akan rusak, layu dan mungkin mati karena ditimpanya. Rumah-rumah hunian akan rusak menyangga robohnya. Kawat listrik dan kabel telepon akan terputuskan. Pagar jebol. Mobil, sepeda motor dan benda lain disekitarnya penyet. Kalau roboh di jalan yang berpenjuru empat dan ramai lalu-lalang, jalanan akan macet, Pak Polisi akan sibuk, orang-orang mencaci-maki dan si empunya pekarangan di mana pohon tua berada resah, rikuh dan tidak enak hati.”
“Pohon tua itu memang harus ditebang, agar tempat tinggal kini dapat ditumbuhi pohon lain yang lebih muda. Supaya, pohon-pohon dan tanaman-tanaman muda yang baru bertumbuh dapat berkembang normal, karena tidak lagi harus berebut makan dan beradu kuat. Supaya, ada ruang bertumbuh dan keselamatan untuk penghidupan ke depan. Maka, tebang dan tumbangkan pohon tua dengan doa dan penghormatan demi keselamatan dan kelangsungan sebuah prosesi panjang regenerasi.”
Pohon tua yang telah kering, lapuk dan keropos itu mungkin tidak hanya karena dimakan usia. Boleh jadi ruang hidupnya tidak lagi kondusif. Tidak lagi ramah dan permisif. Ruang-ruang telah penuh sesak oleh gedung-gedung dan bangunan. Sekat-sekat gerak telah padat oleh lalu-lalang. Aspal dan beton tidak lagi memberi ruang berkembang. Toh, bukan hanya pohon-pohon tua yang kering, lapuk dan keropos saja telah ditumbangkan. Hutan-hutan pun digusur. Sawah-sawah dan ladang-ladang pun digusur. Juga, kabar-kabar lalu, kampung-kampung pun digusur.
Maka, aku pun bertanya mengapa pohon tua ini harus ditebang?
Pohon tua itu memang harus ditebang, karena telah kering, lapuk dan keropos. Ia harus dihormati kesempurnaan dan penyempurnaannya. Ia disempurnakan dalam kemanfaatan persinggahan agung.
Pada pertegakannya yang terakhir, aku bertanya pada pohon tua: “Apa hendak kau pesankan?
Ia pun berkata: “Telah lama aku singgahi penghidupanku di sini. Daun-daunku menebar begitu saja, menebalkan lapis-lapis subur muka tanah. Akar-akarku merayap sampai ke ujung-ujungnya, meronggakan ruang-ruang nafas subur kedalaman tanah. Buah-buahku tumbuh, berkembang dan ranum menghidupi. Benih-benihku menebar-tebar entah kemana dan dimana lagi. Aku pun menyaksikan, pohon-pohon kemarin yang ditebang dan dirobohkan sebelum mereka menjadi tua, kering, lapuk dan keropos. Semua berjalan begitu saja dan begitu saja. Apa peduliku dan apa tak peduliku, semua berjalan sama saja. Manakala aku memang harus sampai di sini, ya sampailah di sini. Apapun dikehendaki, sempurnaku akan berjalan sebagaimana adanya. Jika kalian mau perapikan aku, perapikan. Jika kalian mau lakukan lainnya, lakukan. Apapun terserah saja.”
Pohon tua, apa lagi?
“Tidak usah, apalagi. Susah nanti kalian jadinya, jika aku tanya: kemana pohon-pohon yang dulu pernah ada di sekitar sini? Kemana benih-benihku yang bertebar, tumbuh dan berkembang dari musim ke musim? Tanamkan saja satu batang pohon di bekas tanah dudukku ini, hingga ia menjadi besar, kuat dan kokoh sampai kemudian tua, kering, lapuk, keropos dan tebanglah lagi.”



Palu. 21 Sept. 1998

Sesuap Nasi dan Sebutir Peluru

"Sajak untuk Busairi (Bondowoso) dan Mereka (dimana pun) yang terluka dan mati karena lapar dan menjarah panganan"


Yang Mulia, hamba lapar
Seperti juga tetangga hamba mengalaminya
Yang Mulia, isteri hamba belum lagi memasak
Begitu pun dapur-dapur tetangga hamba tidak mengepulkan asap
Yang Mulia, anak-anak hamba menangis belum makan
Sehari-hari karib di telinga hamba rintihan mereka

Berbondong berarak lapar
Hanya sesuap nasi untuk rongga perut hamba sesanak-seperuntungan
Yang belum lagi terisi

Hanya sesuap nasi, Yang Mulia
Bukan sebutir peluru
Bukan pula sebilah sangkur

Sesuap nasi, Yang Mulia
Bukankah tidak lebih berharga daripada
Darah yang meleleh dari lobang di dada ini
Sebutir peluru menembusnya kemarin di sebuah gudang beras

Yang Mulia, hamba terbebas dari lapar
Peluru telah membebaskan hamba dari lapar
Yang Mulia, kabarkan pada isteri hamba harum nasi tanak di periuknya
Sudah lama ia tidak menghirupnya
Yang Mulia, ajarkan anak hamba nyenyak tidur tanpa rintih lapar
Kemarin ia bermimpi tentang semangkuk nasi dan senyanyi dendang


Palu, 14 September 1998

Kami pun tidak membunuhnya

Pada musim tanam padi lalu
Burung-burung pipit menjarah sawah kami
Itu biasa
Sebiasa kami berteriak dan bereka bunyi
Mengusirnya
Tanpa ketapel, tanpa peluru
Tanpa pedang, tanpa parang

Kanak-kanak gembira berlari sepanjang pematang
Bermain
Bernyanyi dan
Menarikan hantu-hantu sawah


Palu, 14 September 1998

Nyanyian Cinta dan Caci-Maki

Aku ingin melagukan
nyanyian cinta dari kedalaman jiwa terluka
untuk kanak-kanak yang terganggu nyenyak tidurnya
untuk kanak-kanak yang terganggu manis senyumnya
untuk kanak-kanak yang terganggu ceria permainannya
untuk kanak-kanak yang terganggu khusuk belajarnya
untuk kanak-kanak yang terganggu oleh lapar di perutnya

Nyanyian cintaku dari kedalaman jiwa terluka
bukan tentang syair nyiur yang melambai-lambai
bukan tentang lirik angin yang membuai-buai
bukan tentang irama gemericik air yang menyejuki
bukan tentang merdu dendang ibu yang menghangati
bukan tentang denting cangkul bapak yang menapaki

Nyanyian cintaku dari kedalaman jiwa terluka
adalah ruh kebangkitan fajar pagi
merasuki ayam-ayam jantan, berkokok nyaring
keras dan tegas
melompat dengan kepak sayap-sayap merdeka
meruncing taji-taji berani
menentang matahari, mengibas pekat malam
paruh tajam menghisap pusaran angin
melentingkan suara-suara menggema:
……… bangunlah, bangkitlah…
……… bangunlah, bangkitlah…
……… bangunlah, bangkitlah…

Ayam-ayam jantan, satu per satu
berpuluh-puluh…
beratus-ratus…
beribu-ribu…
berjuta-juta…
berbanjar-banjar, tegak merentang sajap

Kanak-kanak,
rebutlah pagi, kuasai matahari!

Ruh fajar pagi,
Ruh nyanyian cintaku dari kedalaman jiwa terluka
Melenting
Berontak
Menyusup
Menyetubuhi terang tanah, memancar birahi
Merasuki tegak-tegak jasad anak-anak bumi
……… bangunlah, bangkitlah…
……… bangunlah, bangkitlah…
……… bangunlah, bangkitlah…

Denting-denting cangkul bersimbah keringat
sapaan tanah-tanah digusur, jawaban lahan-lahan tidur
hijau rimbun-rimbun sawah-ladang
kuning masai bulir-bulir padi berisi
bergaris bentang pematang-pematang

Kanak-kanak,
tegakkan nyali, jaga bunda bumi!

Nyanyian cintaku dari kedalaman jiwa terluka
bersetubuh dengan ruh-nya api
berkobar nyala,
berteriak geram:

“Omong kosong dengan politik
… yang hanya tahu memilah membagi kursi,
… yang hanya tahu berhitung jiwa per jiwa tanpa peduli,
… yang hanya tahu membuta mengoyak-koyak negeri,
… yang hanya tahu menyekat-sekat kepentingan golongan sendiri
Omong kosong dengan politik yang bertampang babi!”

“Lihat, dengar dan pahamkan dengan politik
… tentang kanak-kanak yang tersungkur di pingiran-pinggiran jalan
… tentang kanak-kanak yang merintih kelaparan
… tentang kanak-kanak yang menggigil kedinginan
… tentang kanak-kanak yang kesepian hari depan
Bacalah dan Tindaki!”

Nyanyian cintaku dari kedalaman jiwa terluka
bersetubuh dengan ruh bengal kanak-kanak
mencaci dan memaki:
“Tailaso, mereka
Cukimai, mereka
… yang mengaku anak-anak negeri dan meneladani
cara merajam tanah ini, menggagahi bunda pertiwi
tanpa hati, tanpa nurani.


Palu, 2 Oktober 1998

RESPUBLICA, engkau dimana?

Respublica, Respublica
Tinta emas nyanyian cinta

Pohon-pohon tanpa Bunga
Bunga-bunga tanpa Putik
Putik-putik tanpa Buah
Buah-buah tanpa Biji
Biji-biji tanpa Tunas
Tunas-tunas tanpa Tumbuh

Tiada tumbuh tanpa Akar
Tiada akar tanpa Tanah

Respublica, Respublica
Tinta emas nyanyian cinta

Terselip di sembunyi tinggi-tinggi gedung
Tumpukan kepala tanpa benak
Penat mimpi-mimpi belaka

Respublica, Respublica
Tinta emas nyanyian cinta

Dimana?



Jakarta, 14 April 1998

Friday, May 4, 2007

“Suluk Marga Dadi”

Rep, sidhem permanem prabawane sepi. Jatine sepi, sepi king pamrih kadonyan. Donyane angkara murka. Angkarane hangrubeda, hangripta papa-cintrakane para sudra. Sudrane kawula nagara gung, bangsa kang yektine luhung.
Rep, sidhem permanem prabawane sepi. Jatine sepi iku suwung. Lung tumelung hangungkungake donga. Dongane lung kang rumambat haneng kekayon. Kekayone urip. Hanungsung mring padane Hyang Agung.
Rep, sidhem permanem prabawane sepi. Jatine sepi king pamrih kamilikan. Dadya rame kang hakarya gawe. Gawene para sudra gumregah hamuwus ambangun negara. Reg. Jejegka jejeg ngadeg. Praja prajane kang sayuk saeka-praya.
Rep, sidhem permanem prabawane sepi. Jatine sepi kang suwung. Lung tumelung nyawiji hambengkas rubeda dadiya marga. Margane marga agung, hanungsung para langkung. Sru tumuju mring gesang hadiluhung.
Rep, sidhem permanem hangawigena mastu. Hamastuti werdining dhiri. Lestari Bumi Pertiwi. Gumregut-gumregah para sudra suwawi asung donga bekti mring Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Lestari raharja manjinga para kawula sudra, sadaya. Dadi.

Yogyakarta, 7 Nopember l999

Jalan Itu Panjang Tak Berujung

Angin…
jaga hirup, hembuskan
Api…
jaga nyala, panaskan
Air…
jaga didih, getarkan

Bunda,
aku masih hidup
Bapa,
aku terus melangkah
Yogyakarta, 18 Pebruari 1998

Caraka 3: “Satriya Lukar Busana”

Satriya lukar busana
nyawiji titah sawantah, kawula dasih
muhing karaharjaning nusa lan bangsa
mahayu-hayuning Bawana

Ha Da Pa Ma
Na Ta Dha Ga
Ca Sa Ja Ba
Ra Wa Ya Tha
Ka La Nya Nga

Sira Wanodya
wadyabala hangesthi puja
mring kayuwanan jati
lestari Bumi Pertiwi

Nga Nya La Ka
Tha Ya Wa Ra
Ba Ja Sa Ca
Ga Dha Ta Na
Ma Pa Da Ha

Hong wilahing sekaring Bawana Langgeng
hayu-rahayu tebih saking sambikala
sagotrah titah raharja


Ngayogyakarta, 1998

Caraka 2: “Saloka Badhar”

Lelangen sajerone urip
gegotrah ing jagad rame hamenangi
anane ula nguntal saloka
salokane caraka sungsang kuwalik

Ha Na Ca Ra Ka
La Wa Sa Ta Da
Pa Dha Ja Ya Nya
Nga Tha Ba Ga Ma

Ula ngaleker kaluyu kaku
hanjengku jagad rame hamenangi
saloka munjal hambradhal uwal
nganthi caraka kuwalik sungsang

Ma Ga Ba Tha Nga
Nya Ya Ja Dha Pa
Da Ta Sa Wa La
Ka Ra Ca Na Ha

Jer urip mono hangelakoni
janterane Kang Rumeksa Gesang neki
polah tan polah tamtu polah
polahe polah sarengate raga
meneng tan meneng tamtu meneng
menenge meneng sarengate rasa

Ciptaning cipta hamengana badhare saloka


Ngayogyakarta, 1998

Caraka 1: “Mbanyu Mili”



Hambanyu mili…
hamili terus, kaya iline warih
saka tuk menyang kali
kali banjur segara
Saparan-paran mesthi tekan
parane
Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Wa La
Pa Dha Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga
Hambanyu mili…
hamili terus, kaya iline warih
saka tuk menyang kali
kali banjur segara
Saparan-paran mesthi tekan
parane
Nga Tha Ba Ga Ma
Nya Ya Ja Dha Pa
La Wa Sa Ta Da
Ka Ra Ca Na Ha
Jati… jati… jati… waluya jati
Lestari Bumi Pertiwi
Raharja para kawula, jagad bumi nuswantara
Hayu… hayu… hayu… hamemayu hayuning Bawana
Langgeng
Hu… silir-sumilir
tut ilining angin jumangkah
nut-turut jantera carakaningwang:
Gesang
Suradira jayaning Rat, lebur dening pangastuti


Yogyakarta, 24 Nopember 1997

“Doa”

Kuketuk pintu Rumah-Mu
Sembah-sujudku.



Yogyakarta, 21 Pebruari 1993

“Sejenak Kudengar Suara Adzan”

(sayup-sayup bergema suara Adzan…)




kutangkap hening
masih juga kutermangu di pintu Rumah-Mu
gelisah……..


Yogyakarta, 21 Pebruari 1993

Bajangarum

Tumetesing luh, trep madhep pandongane Nga, sumarah Ha. Awit kagunganing Gusti Allah Kang Hamurbeng Jagad Gumelar, sapurwa-wusana-purnanipun. Sadayane daya wonten panguwaosipun: Shang Hyang Kuwaos.
Allaahu Akbar.

Maka, maafkan aku, Nak. Kabut begitu tebalnya, sehingga mata pun rabun menatap remang-remang. Bentang dunia yang semestinya ruang keleluasaan, serasa sempit menghimpit. Pikiran pun sisa sejengkal tenaga. Berhitung terang dari dalam remang kaca-kaca kegelapan. Sampai menyibak jalan-jalan berbadai gelombang. Terang menguak. Namun, kehadiranmu nyaris terlupakan.

Hawa, hawaning janma tan kinaya. Resing ati kang lagi kalimputing lali. Polahe lali kedah kaewah. Ewahing ewah kawangsulaken mring margi kang sru tinuju ridlaning Sang Nur-rahmaan Nur-rahiim wal Mustaqiim.
Astaghfirullaahal azhiim.

Waktu yang sesaat memang bukan pendek. Hal yang sekedarnya tidak pula remeh. Cinta dan kasih sayang adalah doa kehidupan. Setetes darah dan air mani itu bunga-bunga amanah. Walau tak sampai mekar dan layu, biji tetaplah biji dan benih tetaplah benih. Hadirmu yang sekejap bukan semata menjengukku. Bukan pula semata membangunkanku dari lelap tidur dan kealpaan.

Kau, menyapa dan mengingatkanku tentang keberadaan-Mu.

Kanthi raos asih Kaki, cumandhaka ing ati. Rahsane rasa tan kalinglingan sasigar rambut pisan. Praptengira kaki sun bopong tan kinira rahsaning ati. Hanampi nugraha, nugrahaning Gusti Allah Kang Maha Welas. Datan winates asihe mring janma kang tansah gotheh awu-lebu lendhuting urip neki.

Sira Kaki putraningwang kang wus Jati.

Bajangarum. Itu nama dan sebutanmu, Nak. Adalah wangi amanah yang nyaris terabaikan. Adalah wangi yang datang dinantikan. Adalah wangi terang cahaya kebangkitan. Adalah wangi tapak-tapak jalan yang dibentang. Adalah wangi nyanyian cinta dan kasih-sayang. Wanginya doa-doa kehidupan.

Bajangarum, mari kita berjalan bersama Nak. Aku merindukanmu. Kau dalam satuan ruang dan waktumu. Aku dalam satuan ruang dan waktuku. Ya, kehidupan. Ya, amanah perjalanan. Ya, jalan hidup yang diamanahkan. Ya, Kuasa Yang Tanpa Batasan. Ya, Lautan Kasih Tanpa Tepian.

Bajangarum. Itu nama dan sebutanmu, Nak. Adalah wangi dalam lubuk penantian. Adalah wangi titian jalan kehidupan. Adalah wangi setitik kasih tanpa tepian.
Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallah hu Allaahu Akbar.

Kaki Bajangarum, anakku. Wus kasru ilining sih-katresnaningwang. Pambengkasing mendhung rep gumebyar padhang. Jingglang kawistara margine sru tinuju ridlaning Sang Nur-rahmaan Nur-rahiim wal Mustaqiim. Datan winates asihipun lumuber mring kulawarga kita sadaya: hamayungana, hangentasna, hanyingkirna king sakehing rubeda, godha-rencana. Lumintiring mring sapadha-padha, tutulunga mring para sudra-papa.

Patrap, lumaku tan tumoleh-tumengo. Madhep. Jejer kajejer jejere jantraning Gesang. Donya dumugining delahan………


Yogya – Kediri, Nop. 1999

Sekedar Awalan

Semua orang itu guru
Semua tempat adalah sekolah
Setiap bunyi itu musik
Setiap suara adalah nyanyian
Setiap goresan itu gambar
Setiap kata adalah syair
“Jangan takut-takut,” kata almarhum Tino Sidin
Tumpahkan setiap yang ingin ditumpahkan
Wadahilah ia dalam ruang kemerdekaan
Agar tidak tercerai-berai, namun
Otonom
Independen
Manusia
Utuh
Manusia
Merdeka
Biarkan kupungut kata-kata, sekena kudapatkan
Biarkan jalin menjalin dalam jejaring kalimat, bait, paragraf
Sekena kudapat, kulemparkan ia
Dari ruang-waktu ini
Biarkan ia meniti merdeka
Semerdeka kata-kata mampu dapatkan
Di kalimat, bait dan paragraf
Di telinga, hati, pikiran
Apakah yang kuantar ini puisi seperti klaim di judul buku ini?
Aku sesungguhnya hampir tak peduli
Peduliku
Ini kata-kata bebas atau terikat
Terjajah atau merdeka
Kata-kata manusia, diriku

Salam wa Salam

Jakarta, 24 Agustus 2004

Wednesday, May 2, 2007

Ujian Nasional

testing testing testing
suara bertalu talu
tanda waktu mulai
masuk ke bui diuji negara
layaknya pesakitan
ingin lulus dari penjara


AKY, Salteng 020507