Hiruk-pikuk keributan dan kesimpangsiuran mendadak terdiam. Tidak lama selang, orang-orang sibuk berdesakan di ujung persimpangan jalan. Mereka pun berebut membaca rambu-rambu larangan yang terpasang.
“Dilarang Lewat Jalan Ini, KECUALI
Tuhan dan Karommah-Nya.”
Perbincangan beradu cakap menggelar kabar pemberitaan pada khalayak keributan. Kata berita: “Tuhan akan lewat jalan ini membawa karommah-Nya.”
Orang-orang pun berkumpul, kemudian berjajar rapih bergandengan memagarkan badan. Menunggu, memasang pandang penuh harap dan kesiagaan. Jika nanti Tuhan beserta karommah-Nya lewat jalan ini, mereka siap untuk berebut merampasnya.
Sampai lama kemudian, Tuhan dan karommahnya belum tampak lewat datang.
Orang-orang mulai gelisah dan meributkan, mengapa Ia belum juga tampak datang. Mungkin jalan ini kurang layak. Mereka pun sibuk membongkar dan membangun kembali jalan itu, sehingga lebih lebar dan mulus permukaannya. Sepanjang tepian diperindah dengan warna-warni hiasan, lampu, bunga-bunga dan bendera.
Selesai. Orang-orang kembali pada tempatnya semula. Rapih, berjajar memagarkan badan. Menunggu, memasang pandang penuh harap dan kesiagaan.
Tuhan tidak juga datang lewat bersama karommah-Nya.
(000)
Kuyup oleh gelisah, jemu, kantuk dan kelelahan, orang-orang terhenyak dari sekejap ketiduran. Ada keributan di ujung jalan! Selembar plakat tertempel lekat menutup tanda larangan. Siapa memasang, tidak seorang pun diantara mereka. Tidak seorang pun. Juga, tidak seorang pun melihat orang baru yang datang.
“Baca. Baca keras-keras plakat itu.”
“Hoi… yang di depan, baca keras-keras! Biar kita semua mendengar.”
“Tenang. Tenang. Saudara-saudara semua harap tenang!”
“Ayo… cepat! Baca segera!”
“Tenang. Tenang saudara-saudaraku semua. Tenang. Saya akan bacakan.”
“Duduk semua! Semua duduk! Kecuali yang membaca, semua duduk!”
Diam dan tenang. Ujung jalan persimpangan penuh sesak orang-orang duduk. Hening pecah oleh suara lantang pembaca plakat.
“Tuhan dan karommah-Nya
ada bersama para buruh, petani,
orang-orang melarat dan kelaparan, gelandangan,
anak-anak terlantar, perempuan-perempuan teraniaya dan
mereka yang memiliki hati, nurani dan nyali.
Tuhan dan karommah-Nya
tidak untuk mereka yang hanya menunggu dan merampas.
Bukan untuk keserakahan, kelalaian dan kelaliman.
Tuhan dan karommah-Nya
bersama mereka yang terlupakan dan engkau sisihkan.
Tertanda:
Tidak untuk Disebutkan”
Terkesimak diam. Orang-orang gelisah memendam kegundahan. Udara menaik gerahnya oleh panas badan yang memagma. Meluluh-lantakkan mulus permukaan jalan dan persimpangan, merontok-lelehkan indah warna-warni hiasan, lampu-lampu, bunga-bunga dan bendera. Pohon-pohon perindang serentak mengering, lapuk dari daun hingga seakar-akarnya.
“Hai, pembaca! Ulangi, siapa tertanda dalam plakat itu?”
“Tidak untuk Disebutkan.”
“Siapa?!”
“Tidak untuk Disebutkan.”
“Awas, jangan main-main. Sebutkan!”
“Tidak untuk Disebutkan!”
“Hai, pembaca. Jangan manipulatif!”
“Ya, pembaca. Sebutkan siapa tertandanya.”
“Sungguh, Tidak untuk Disebutkan.”
“Bangsat! Saudara-saudara, pembaca itu menipu.”
“Ya, penipu! Serakah!”
“Penipu. Habisi penipu!”
“Habisi!”
“Selesaikan!”
Kalap. Kacau. Jalang. Larat. Tidak terkendali. Pembaca terhentak sekarat.
Bedebah! Liar!
“Cari pembawa Tuhan dan karommah-Nya!”
Meledak magma itu. Meluap deras luncurannya ke segenap penjuru jalan persimpangan, kecuali jalan yang di ujungnya tanda larangan tertutupi plakat. Mereka mencabut rambu-rambu, meraup plakat dan membawanya berhambur pergi. Persimpangan dan penggal ujung jalan itu resap panasnya dalam beku. Senyap.
(000)
Di tepi pada hampir penggal tengah jalan yang ditinggalkan, plat besi bundar pintu reol terbuka hati-hati dan pelan. Laki-perempuan, tua-muda, dewasa dan kanak-kanak. Kumuh. Rapih menyebar sepanjang jalan, berbagi bantu saling tarik dan baku dukung membersihkan berbagai perindah yang tidak diperlukan.
Seorang anak kecil dengan kumuh badan dan seuntai padi ditangan, berlari kecil menuju ujung seberang. Lainnya menghantar pandang dari tepian. Seuntai padi itu diletakkan penuh khitmat di tengah persimpangan. Pelan dan penuh harapan. Tegak berdiri ia dan semua tengadah menatap langit dan matahari.
Pohon-pohon yang kering itu pun hampir bersemi di pucuknya. Tunas-tunas biji juga mulai tumbuh. Sesiang gerah begini, angin memang menyegarkan.
Sayup-sayup remang, Pembaca sekarat seperti merasakan kehadiran. Tarikan dan hembusan nafasnya penuh perkiraan. “Mungkinkah Tuhan bersama karommah-Nya tengah berjalan?”
(000)
Di tempat dan jalan yang lain, orang-orang yang larat memasang pindahkan rambu-rambu dan mengubah plakat. Mereka pun bersiasat membelokkan jalan Tuhan dan karommah-Nya.
Yogya, Maret 2000
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment