Saturday, March 27, 2010

Berpikir itu apa?

Si kecil yang belum lagi lima tahun bertanya, berpikir itu apa to? Bagaimana menjelaskannya pada anak sekecil itu, si Balita. Pusing juga mencari cara menjelaskannya. Cara yang pas dan tepat. Cara yang dapat diterima akal sehat dan jernih. Akal cerdas kanak-kanak di bawah umur lima tahun. 

Tidak ada referensi literer atau mesti buka-buka sana-sini. Anak bertanya. Jawaban tidak dapat ditunda. 

Jurus tradional ketangkasan berpikir para leluhur: othak-athik mathuk! Ya, othak-athik mathuk atau kutak-katik sampai cocok, pas dan masuk akal. 

"Nak, cobalah kamu katakan pada bapak-ibu. Katakan apa saja yang mau kamu katakan." 

"Aku mau minum teh," kata si anak. Bapaknya pun berdiri untuk membuatkan teh. 
"Tidak. Bapak mau kemana?" 
"Bikin teh untukmu." 
"Tidak. Aku cuma mau ngomong itu saja." 
Si bapak tetap berlalu membuat teh. Segelas untuk anaknya. Ibunya tersenyum. 

"Ini tehnya," kata si bapak sambil menyuguhkan teh pada si anak. 

"Nak, sekarang kamu ngomong lagi ke bapak-ibumu. Ngomongnya tidak boleh bersuara." 
"Tidak boleh bersuara?" tanya si anak dengan wajah bingung. 
"Ya. Tidak boleh bersuara, tapi telingamu tetap mendengarnya." 
"Bagaimana?" 
"Bisa. Kau pejamkan mata." Si Bapak mulai menuntun. "Katakan sesuatu. Kalau sudah bapak akan bertanya dan kamu cukup menngangguk saja." 

"Sekarang pejamkan mata. Katakan sesuatu." 
Beberapa saat. "Sudah?" tanya si bapak. Si anak mengangguk. 
"Baik. Buka matamu." 
Si anak membuka mata dan menghela nafas. Serta-merta...... "Bapak... Ibu... Tadi dengar akan bilang sesuatu nggak." 
Si Ibu tersenyum dan menggeleng. "Tidak dengar, nak. Kamu bilang apa?" 
"Aku bilang, ibu cantik sekali." kata si anak. "Juga aku bilang, kenapa ibui mau jadi isteri Bapak? Begitu..." 
"Aku dengar lho yang aku bilang itu... Mosok ibu gak dengar? Bapak dengar nggak?" 

"Tidak, nak. Bapak juga tidak dengar" kata si Bapak. "Sekarang bapak ingin dengar apa yang kamu katakan tadi." 

"Iya pak. Aku tadi bilang ibu cantik sekali. Kenapa ibu mau jadi isteri bapak?" kata si anak. 
"Oh... begitu." 

"Anak tadi bilang sesuatu. Berbicara di dalam kepala. Yang berbicara itu otak. Telingamu mendengar, tapi bapak dan ibu tidak mendengar... Itulah nak yang namanya berpikir." Kata si bapak. 

"Terus kamu sudah mengucapkan pada bapak dan ibu yang kamu katakan di dalam kepala. Bapak dan ibu mendengar. Bapak dan ibu pun tahu yang kamu pikirkan. Kamu sudah mengatakan yang kamu pikirkan dengan bicara menggunakan ucapan dari suara mulutmu." 

Si anak mengangguk-angguk. Entah dia paham betul atau tidak. Sang bapak dan ibu sudah lega. 

"Bapak... ibu... jadi aku sudah tahu sekarang. Aku sudah berpikir." 



Ini saya tulis sebagai kenangan mengasuh anak-anak kami di usia Balita. 
Jakarta, 27 Maret 2010.
(Watugunung)

"Ibuku bilang, jangan korupsi"

Tembang Jawa yang setiap saat selalu didendangkan ibu pada kecilku. Masih sangat kuingat dan terngiang. 

"Dak petik-petik kembang melati. Dak sebar-sebar ing tengah ratri. Kuwi apa kuwi, ja padha korupsi. Mengko yen korupsi, negarane rugi. Piye mas kuwi... Aja ngono, ngona-ngona ngono..." (Kupetik-petik bunga melati. Kusebar-sebar di tengah malam. Itu apa itu. Janganlah korupsi. Kalau korupsi, negaranya rugi. Bagaimana bung itu... Jangan begitu, pura-pura begitu) 

Ibu memang seorang guru Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi Sekolah Dasar. Mendendangkannya selepas senja sambil kami, anak-anak kecilnya, bermain dalam cengkerama gembira. Menunggu dendang tembang lagu dari suara ibu. Biasanya diteruskan dongeng dan cerita pengantar tidur. 

Tembang lagu juga didendangkan dengan tepuk-tepuk lembut di pantat miring kecilku, sambil menyelusup diantara ketiak dan susu ibu. Tepuk lembut, dendang syahdu, harum keringat dan hangat badan ibu. 

Lelap terayun. Terayun-ayun dalam ayun dendang ibu. Setiap hari. Setiap minggu. Setiap bulan. Setiap tahun. Setiap windu. 


(*) 


Di tengah ayun-ayun jalanku, di bangku sekolah dasar kami sekawanan kecil anak-anak mendengar suara nyanyian dari ruang kelas kakak-kakak kelas. Satu-dua diantara kami menghampiri, mengintip dan berjinjit. 

Lagu yang diajardendangkan itu kemudian pun sampai pada kami. Guru menyanyikannya dulu, mencontohi dan kami para murid kecil mengikuti. 

"Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, bak intan yang terkenang. Hutan, gunung, sawah, lautan. Simpanan kekayaan. Kini Ibu sedang lara. Menangis dan berduka." 

Bersama menyanyi. Ada getar, ada rasa. Kecilku tidak tahu apa itu, namun sungguh ada sesuatu hadir dalam dada dan sanubari. Sesuatu yang merasuk dan kemudian mengendap. Pada waktunya melintasi masa, ya.... aku tahu apa yang dimaksud itu. Ibu lara. Ibu menangis. Ibu berduka. 


(*) 


Ibu melalui dendang lagu pengantar tidur. Memetik melati dan menaburkan harumnya dalam malam tidur kami sebagai doa dan pengharapan. Kepada para Mas atau Bung yang memimpin negara ini, agar tidak korupsi. Dan juga kepadamu anakku, begitu kira-kira, janganlah pula nanti berbuat korupsi. Korupsi akan menjadikan negara merugi. Negara itu ya kamu dan sesaudaramu sesama rakyat, tanah air tumpah darahmu, dan pemerintahmu. Jangan diperbudak harta dan nafsu kepentingan kuasa. 

Di sekolah dasar, kecilku bersama sekawan sekolah, diingatkan selalu dengan dendang lagu. Jaga Ibumu jangan sampai bersedih-lara. Jaga Ibumu jangan sampai menangis nestapa. Jaga Ibumu jangan sampai tenggelam dalam duka. 

Ditanamkan dan diakarkan. 


(*) 


Setiap hari, jam, menit dan detik. Sepanjang bertahun-tahun berganti. Dewasaku selalu dihujani badai berita korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan pupusnya harga diri. 

Hari-hari berlalu dan terus berganti. Jatuh, bangun, bangkit dan berdiri lagi. Ayo lari, tapi jangan lari basambunyi. Nak. 


Watugunung

Jakarta, 27 Maret 2010

Friday, March 26, 2010

Pidato Kebudayaan: “Rebut Kedaulatan, Tegakkan Kepribadian Bangsa dan Jiwa Rakyat Merdeka”

Merdeka!

1. Kebudayaan adalah kenyataan dasar yang melekat dalam harkat dan martabat kemanusiaan pada diri manusia orang per orang, masyarakat dan bangsa. Ini menyangkut perkembangan hidup, hubungan, pergaulan, pengalaman, sikap cerdas dan ekspresi kreatif manusia secara material dan spiritual dengan lingkungan sosial, alam dan KesemestaanNya Yang Tanpa Batas, Tuhan Seru Sekalian Alam, Allah Subhanahu wa ta’alla, Sang Hyang Widi Wasesa.

2. Indonesia dengan keberagaman kondisi masyarakat dan alam kepulauan memiliki keberagaman kebudayaan. Ini tampak mewujud pada keberagaman bahasa, adat-istiadat, sikap, karakter, perilaku, seni-budaya dan sebagainya. Inilah berkah dan rahmad Allah Swt Yang Rohman dan Rohim, Tuhan Yang Maha Kuasa.

3. Memahami keberagaman antar masyarakat dan suku bangsa. Mendalami semangat sumpah pemuda, bahwa: Kita satu bangsa, Bangsa Indonesia; Kita satu tanah air, Tanah Air Indonesia; Kita menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Artinya, sebagai kesatuan nasional Bangsa Indonesia dan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kita bersama tegak menghormati perbedaan-perbedaan. Kita terima keberagaman dan kebhinekaan sebagai ruh, jiwa, semangat dan kekayaan bersama sebagai Kita Bangsa Indonesia, Kita Tanah Air Indonesia, dan Kita Bahasa Indonesia.

4. Penegakan, Penghormatan dan Pengakuan akan keberagaman dan kebhinekaan, inilah ruh, jiwa, fundamen dan sumbernya Kedaulatan Rakyat! Ruh, jiwa, fundamen dan sumbernya Demokrasi Kita: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/ Perwakilan.” Demokrasi yang di dalamnya mengalir kesadaran keinsan-kamilan Bangsa Indonesia yang berdaulat berdasarkan nilai-nilai keimanan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; Demokrasi yang menjunjung tinggi dan menjaga kukuhnya nilai-nilai, harkat dan martabat Kemanusiaan yang adil dan beradab; Demokrasi yang dilandasi semangat dan tekat kebangsanaan untuk selalu mengutamakan, menjaga dan mengamankan Persatuan Indonesia; Demokrasi yang dijalankan, disemangati dan selalu nilai dasar Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

5. Demokrasi dalam wilayah keberagaman Indonesia yang penuh berkah dan rahmad Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhanahu Wa Ta’alla ini, adalah seperti perumpamaan dalam penjumlahan bilangan pecahan. Dalam penjumlahan bilangan pecahan yang diajarkan dalam pelajaran anak-anak sejak di Sekolah Dasar, dikatakan: SAMAKAN PENYEBUTNYA DAN SESUAIKAN PEMBILANGNYA, MAKA BILANGAN PECAHAN BARU DAPAT DIJUMLAHKAN. SATU PER DUA ditambah DUA PER LIMA, PASTI BUKAN SAMA DENGAN TIGA PER TUJUH. SALAH! YANG BENAR: LIMA PER SEPULUH ditambah EMPAT PER SEPULUH, KETEMUNYA SEMBILAN PER SEPULUH. INI BARU BENAR! ANGKA PEMBAGI ATAU PENYEBUT DISAMAKAN, ANGKA DIBAGI ATAU PEMBILANG DISESUAIKAN. Persamaan dalam berhitung bilangan pecahan ini, adalah juga berarti mencipta dan mengandungi unsur-unsur baru. Karena inilah pecahan dapat dikerjakan penjumlahannya. Karena itulah kerja dapat dijalankan. Sebab itulah kemajuan dicapai dan hasil bersama dapat diperoleh.

6. Indonesia yang berpulau-pulau, bersuku-suku, beragam keturunan, beragam keadaan sosial, budaya, agama, kepercayaan, aliran dan organisasi politik, pekerjaan dan penghidupan dan sebagainya. Indonesia itulah penyebut dan sebutan kita: Bangsa, Tanah Air, Persatuan dan kemudian Negara Kita. Semua yang beragam itu, itulah pembilang-pembilang kita: semua dari Merauke sampai Sabang, dari Rote sampai Miyangas, dari pucuk gunung sampai dasar lautan, dari pelosok sampai perkotaan, dari rakyat kecil dan yang paling kecil sampai rakyat pengusaha kaya-raya maupun pejabat yang paling berkuasa (berwenang). .. mereka semua itulah pembilang-pembilang ... para pembilang. Demi dan menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera dalam persatuan dan kesatuan Indonesia, maka semua pembilang harus disesuaikan. Tidak boleh ada dan tidak boleh terjadi, pembilang yang satu disesuaikan sampai-sampai melebihi besarannya, sedang pembilang yang lain didiamkan dan malah dikecilkan. TIDAK! ITU TIDAK ADIL! ITU TIDAK AKAN MEMBAWA INDONESIA PADA KERJA PEMBANGUNAN YANG SEBENARNYA. ITU TIDAK AKAN MEMBAWA PADA PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN. ITU TIDAK AKAN MEMBAWA HASIL BAGI SELURUH RAKYAT, TUMPAH DARAH DAN TANAH AIR INDONESIA!

7. Lalu bagaimana? Distribusi dan keadilan harus dilakukan demi kemajuan kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan beradab. Caranya? GOTONG-ROYONG! TENGGANG RASA, SALING BANTU, DUKUNGAN DAN TANGGUNG-JAWAB BERSAMA. Rakyat yang sudah kuat dan sangat kuat kemampuannya harus bersedia, sanggup dan bertanggungjawab untuk membuka ruang, peluang dan kesempatan pada mereka yang masih lemah dan berkekurangan untuk mencapai kemajuan. Pengusaha melakukan investasi dan kerja manajemen usaha secara baik, benar dan produktif. Membuka lapangan kerja dan usaha bagi sesama rakyat Indonesia. Pemerintah menjalankan mandat rakyat dan amanah pendirian Negara Kesatuan Repulik Indonesia, yakni... ” ... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” Daerah-daerah yang terlambat kemajuan perkembangan dan kesejahteraannya harus didorong dan diberikan kesempatan lebih, sehingga mampu mencapai perkembangan kemajuan seperti daerah lain yang lebih awal mencapainya.

8. Dalam khasanah Indonesia yang beragam budaya dan berkebhinekaan. .. tercapailah kebersamaan dan kesatuan, ke-tunggal-ika- an. Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda Tetap Satu Jua! Mari seluruh rakyat bersatu dan ber-Gotong Royong merebut kedaulatan bersama. Kita tegakkan kedaulatan rakyat, kedaulatan bangsa dan kedaulatan negara merdeka. Kepada saudara-saudara sesama rakyat, kita saling dukung, saling melindungi. Mari rebut ruang kedaulatan! Dobrak gerbang kemajuan! Rakyat bekerja, rakyat berusaha, rakyat berjuang demi harkat dan martabat kemanusiaan yang adil dan beradab. Yang kuat pastilah memiliki beban tanggungjawab lebih besar. Kepada saudara-saudara sesama rakyat yang telah berkemampuan dan memiliki kekuatan, kita bergotong-royong dan saling dukung untuk mencapai perkembangan kemajuan bersama secara berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat berdasarkan nilai-nilai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945. Inilah dasar kepribadian bersama dalam kebudayaan.


Nelayan, Buruh dan Petani
Mari kerja tingkatkan produksi
Itulah dasar berdikari
Majulah terus jangan berhenti

Rebut kedaulatan, tegakkan kepribadian bangsa dan jiwa rakyat merdeka! Hidup Rakyat! Hidup Indonesia!

 Merdeka!

Jakarta, 18 Juni 2009
Ripana Puntarasa
(Majelis Guru Perguruan Rakyat Merdeka)


Thursday, March 25, 2010

"Ujian Nasional dan Kegundahgulanaan"

Ujian Nasional selalu beriring dengan kegelisahan, kegundahan, kegamangan, khawatir dan was-was para murid, orangtua murid dan juga guru. Penyelenggaraannya selalu pula berawal dengan perbincangan di bentang wilayah diametral. Perdebatan dan pertikaian wacana penyelenggaraan Ya atau Tidak, Setuju atau Tidak Setuju. Banyak alasan dikemukakan, sebab ukuran-ukuran kelulusan semestinya tidak begitu saja dikemas seragam dari Sabang sampai Merauke, dari Rotte sampai Miyangas. 

Pendidikan sekolah memang bukan pabrik yang memproduksi barang cetakan. Bikin keluaran untuk suatu jenis dan ukuran yang presisinya terukur persis sama. Pendidikan bukan pula suatu kerja kerajinan ataupun kerja pengkaryaan seni ekspresi yang beraneka ragam dan seperti maunya perajin atau senimannya. Pendidikan sekolah adalah peletak dasar, peretas jalan dan pembuka pintu dan jendela menuju dunia pendewasaan anak-anak manusia. Menjadikan waktu demi waktu yang berjalan selalu lebih maju, lebih dewasa, lebih bernilai dan lebih mendudukkan dan menegakkan harkat dan martabat manusia yang beradab. 

Membuka ruang peradaban yang luas dan agung, mengurai kecerdasan sikap pikir, perilaku kreatif, tanggung jawab sosial, moralitas kemanusiaan dan penyelenggaraan mandat keberlangsungan hidup seru sekalian alam. Ini tugas pendidikan yang tidak dapat diabaikan atau diingkari oleh siapapun. 

Mandat penyelenggaraan pemerintah Negara Republik Indonesia yang diberikan oleh Bangsa Indonesia Merdeka (Proklamasi 17 Agustus 1945) pada saat pembentukan Negara dan pemerintahan Negara Republik Indonesia (18 Agustus 1945), sangat jelas dan tegas, yakni: "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.." 

Bagaimana dengan pendidikan di negeri ini dan apa pula kaitannya dengan penyelenggaraan Ujian Nasional bagi anak-anak sekolah di SD, SMP, SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan? 

Penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dituntut kemampuan dan kesediaannya untuk membangun tata kelola dan tata penyelenggaraan yang membuka ruang seluas-luasnya bagi segenap upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa." Bangsa Indonesia atau juga dapat saya sebut sebagai "Wangsa Indonesia." Siapa Bangsa atau Wangsa Indonesia ini? Ya tentu pasti: seluruh anggota keluarga dan segenap turun-temurun dari keluarga Indonesia. Tanpa pilih-pilih siapapun, dimanapun dan kapanpun ia berada. Di dalam maupun di luar lingkungan kewilayahan administratif negara dan negeri ini. 

Membuka ruang pencerdasan adalah membentang seluas-luasanya ruang pendidikan dengan tanpa pembatas tempat atau wilayah, waktu atau masa dan jaman, golongan sosial atau kesukuan dan kebangsaan, kelas-kelas ekonomi ataupun jabatan dan kekuasaan, politik, agama maupun aliran dan kepercayaan, asal-usul kewargaan ataupun keberadaan tinggal dan kependudukan, keadaan raga badani ataupun kecerdasan jiwani. Kesemuanya itu tentulah penuh keberagaman dan pastilah tidak akan terukur oleh patok-patok cetak gaya pabrikan. Pokok paling prinsip dan mendasar, keluasan bentang ruang pendidikan, dengan berbagai cara, kreasi dan pendekatannya, mengemban tugas menciptakan landasan bagi generasi anak sekarang ini (0 sampai 18 tahun atau usia pengasuhan dini, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan yang setara) agar memiliki kesiapan menghadapi masa depannya sebagai manusia dewasa dengan berbagai kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Salah sentuh dan kekeliruan penggarapan berarti penghancuran atas suatu generasi, masa dan jaman. Salah terap, maka bukan kecerdasan kehidupan bangsa , tetapi kebodohan kehidupan bangsa. Sungguh sangat peka! 

Pada keluasan ruang dan kepekaan yang sangat tinggi itu, bagaimana ukuran kelulusan bagi anak-anak didik atau murid-murid sekolah? Kesanggupan anak didik dan para murid mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dan pergaulan sosial pertemanan, ketetanggaan, keluarganya dan lingkungan hidupnya menjadi pokok-pokok yang dapat dipakai menentukan, apakah dia si anak didik atau murid itu sannggup naik ke jenjang berikutnya. Ini bukan soal angka atau nilai yang diperebutkan secara jujur dan terbuka dengan berbagai warna kecurangan, sikap licik dan perilaku selintutan. 

Pelulusan atau kesanggupan naik jenjang pendidikan sekolah menjadi bukan beban dan tanggung jawab guru dan sekolah semata, namun juga keluarga dan lingkungan sosialnya. Pada titik ini, pemerintah dan negara cukup diperlukan membuka ruang dengan sistem yang lebih terbuka. Tugas pemerintah Negara ini menjadi tidak terlalu berat dan terkonsentrasi di pusat. Pokok yang diperlukan adalah mendorong, mendukung, memberikan koridor nilai dan prinsip pokok, serta memandu dengan acuan penyelenggaraan penyelenggaraan pendidikan di daerah dan seluruh kelembagaan pendidikan sekolah, masyarakat dan keluarga serta penyelenggara-penyelenggara pendidikan lainnya. Pokok terakhir ini sekaligus dapat dipakai sebagai pengendali terhadap penyelenggaraan pendidikan yang secara liar dan sengaja telah menciptakan sekat-sekat golongan, autisme sosial, ketinggihatian ataupun kerendahdirian para anak didik. Pengendalian terhadap kemahalan pendidikan sampai tingkat irasional bagi para kaya ataupun ketidaksangngupan pembiayaan sekolah bagi para miskin dan terlantar. 

Pada saat ini sampai beberapa waktu nanti untuk penilaian dan pengkajian, Ujian Nasional masih saya anggap relevan. Relevansi pada penglihatan ini BUKAN UNTUK MENENTUKAN SI BADU DAN SI TUTI LULUS SD, SMP atau SMA dan sederajatnya, tetapi UNTUK MENILAI DAN MENGKAJI SISTEM, KURIKULUM, METODE DAN PENDEKATAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN SECARA NASIONAL MEMERLUKAN PENAMBAHAN DAN PERKUATAN APA LAGI. Sekaligus penilaian dan pengkajian ini untuk melihat apakah proses penyelenggaraan pendidikan, para guru dan murid memiliki daya sikap dan perilaku yang cerdas menghadapi derasnya arus komunikasi dan informasi pada era ini dan ke depan? Bagaimana dan apa tindakan yang relevan terhadap berbagai perbedaan ruang sosial dan budaya di berbagai daerah dan kawasan berbeda, seperti di pedalaman Papua, di ketersebabaran kepulauan dan pulau-pulau kecil maupun di ruang muka (etalase) megapolitan Jakarta? Sedang di kawasan megapolitan Jakarta pun ada soal antara kawasan atap kota yang terdiri para elit dan orang kaya-raya berhadapan dengan kawasan selesah di komunitas gubuk pinggiran rel kereta atau tumpukan sampah dan gorong-gorong kota lainnya. 

Menyikapi Ujian Nasional ini, sesungguhnya kita tidak usah gelisah dan bergundahgulana sebagai murid atupun orangtua, mari kita bergelisah dan bergundahgulana untuk sebagai bangsa dan warga negara. Perubahan harus diselenggarakan. 

Sekian. 


Salam dan MERDEKA! 

Ripana Puntarasa 
Jakarta, 25 Maret 2010

Tuesday, March 23, 2010

Pengorganisasian Penegakan Hak Rakyat

Tulisan "pengorganisasian penegakan hak rakyat" ini merupakan tulisan lama (1999) dan telah tersampaikan pada beberapa kawan secara informal dengan harapan dapat sebagai bahan diskusi atau dialog sekitar upaya kerja perkuatan atau penegakan hak rakyat. Pemuatan kali ini pada satu sisi sebagai upaya penyimpanan file dan dapat juga sebagai bahan bacaan atau lontaran bahan diskusi. Terimakasih. Salam dan Merdeka (Ripana Puntarasa).

Pengorganisasian Penegakan Hak Rakyat

Oleh: Ripana Puntarasa


(I)
Titik Soal: Marginalisasi Rakyat 


Satu persoalan yang dihadapi rakyat adalah marginalisasi struktural oleh politik pembangunan yang sentralistik selama orde pemerintahan Suharto, baik di tingkat lokal maupun nasional. Akibatnya, aspirasi dan kepentingan rakyat tidak mendapat artikulasi secara memadai dari segenap kebijakan pembangunan yang ada. Rakyat kehilangan hak kontrol dan tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pembangunan dan politik pemerintahan. Sebaliknya rakyat tetap menanggung beban dari berbagai akibat dan konsekuensi salah urus pembangunan.

Reformasi, demokratisasi dan desentralisasi merupakan proses politik yang berjalan ketika pusat (negara) menyangga beban persoalan yang melampaui batas pengelolaan, sehingga memaksanya berbagi otorita dengan bawahan (daerah dan rakyat). Ini berarti juga berbagi beban. Terhadap pokok soal ini, beberapa pertanyaan mengedepan berkait dengan keberadaan rakyat. Apakah proses politik mutakhir mampu menjawab persoalan marginalisasi rakyat selama ini? Bagaimana rakyat mampu mengembangkan dan memperkuat otoritasnya? Bagaimana artikulasi positif dapat terjalin antara proses dan produk politik di tingkat lokal dan nasional dengan aspirasi dan kepentingan rakyat? Bagaimana mengupayakan kembali agar rakyat tidak terhegemoni kompetensi elit politik dan pemerintahan di tingkat lokal, regional dan nasional? Dan seterusnya.

Pertanyaan tersebut dikedepankan mengingat selama ini institusi-institusi formal yang mestinya menjadi saluran aspirasi dan kepentingan rakyat lemah dan tidak berdaya. Sedang institusi-institusi sosial non-formal yang ada pun termobilisasi dalam arus kepentingan pemegang otorita pembangunan, yakni pusat. Pada sisi lain, proses politik reformasi yang baru berjalan masih berada di bawah bayang-bayang tradisi paternalisme dan otoritarianisme politik era sebelumnya, secara formal terjadi masih di latar depan atau etalase perpolitikan nasional, serta belum memiliki akar kuat di kalangan luas rakyat. Reformasi malahan masih banyak dicitrai oleh perilaku kegairahan politik emosional daripada kedewasaan politik rasional. Depolitisasi yang diterapkan orde pemerintahan Suharto untuk kepentingan stabilitas politik dan pembangunan, secara struktural telah menghambat laju pembelajaran dan proses pendewasaan politik rakyat. Perilaku represif dan berbagai bentuk kekerasan politik penguasa saat itu telah memberikan referensi anarkhisme politik dan menanamkan kerendahdirian serta apatisme politik rakyat.

Mendesak dipecahkan bersama, pemberdayaan dan penguatan demokrasi pada level akar rumput. Urgensinya, menghindarkan rakyat dari kompetensi-kompetensi politik yang bersifat elitis, faksional, sektoral dan petualanganisme alih-alih membangun kompetensi politik yang berakar pada aspirasi dan kepentingan kongkrit rakyat. Sosok aspirasi dan kepentingan kongkrit rakyat pada skala personal maupun sosial berada di lingkungan komunitas rakyat setempat. Demokratisasi dan desentralisasi, dalam payung reformasi sekalipun, pada proses yang salah urus dapat menjebak rakyat, terutama komunitas akar rumput, pada pengalihan majikan semata. Yakni, dari majikan elit-elit yang berada di pusat kepada majikan elit-elit lokal yang berada di daerah.

(II)
Titik Pijak: Akar Rumput Demokratisasi


Demokrasi berarti penyelenggaraan politik pemerintahan negara dari-oleh-untuk rakyat. Secara harafiah ini bermakna: “tabu menafikan peran dan posisi rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.” Proses demokrasi secara eksplisit terkait dengan keberadaan institusi kepartaian sebagai wadah kepentingan politik dengan landasan ideologi apapun, institusi pemilihan umum, institusi perwakilan rakyat dan seterusnya. Transparansi, akuntabilitas, kesederajatan, kebersamaan, penghargaan dan kebebasan mengemukakan pendapat, aspirasi dan kepentingan adalah beberapa dari sekian banyak nilai-nilai demokrasi yang bersumber pada nilai “dari-oleh-untuk rakyat.”

Ada kecenderungan demokrasi selalu terancam penyimpangan dan pengingkaran. Terutama manakala kekuasaan pemerintahan yang kuat berkembang menjadi arogan dan otoriter. Untuk itu demokrasi harus selalu dijaga agar tetap menjadi landasan pokok sikap dan perilaku politik penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga kepentingan rakyat selalu dikedepankan dan dijunjung tinggi di atas kepentingan individual, kelompok dan golongan. Demokratisasi dalam kaitan ini merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan untuk menegakkan demokrasi.

Secara eksplisit pada arus permukaan reformasi menampilkan proses demokratisasi, seperti: pemberlakuan sistem politik multi-partai secara terbuka; pemberdayaan institusi-institusi demokrasi; desentralisasi kekuasaan pemerintahan; pengurangan peran politik militer secara bertahap menuju penghapusan dwifungsi TNI/POLRI (dahulu ABRI); pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil; serta lainnya. Bagaimana arus permukaan proses demokratisasi berjalan secara efektif, proses politik selanjutnya yang akan menjawab. Namun sekurangnya satu persoalan yang harus dijawab, apakah proses demokratisasi pada dataran formalistik akan mampu menjawab dan membebaskan rakyat dari arus persoalan marginalisasi? Bagaimana demokratisasi mampu menghilangkan penafian aspirasi dan kepentingan rakyat, serta menghormati peran dan posisi rakyat?

Betapapun rakyat mengalami betapa kebijakan-kebijakan pembangunan dan pemerintahan hampir tidak menyentuh aspek-aspek dasar kebutuhan dan perlindungan kepentingan mereka. Namun malah menempatkan mereka sebagai obyek politik pembangunan dan penyangga pencapaian target dan pemenuhan kebutuhan institusi-institusi supra/ekstra struktur di pusat. Aspirasi dan kepentingan mereka tidak cukup terakomodasi dan memperoleh artikulasi nyata dari politik dan kebijakan pemerintahan sebagai pemegang otorita pembangunan.

Pada sisi kepentingan akar-rumput demokratisasi bukan berarti eksisnya partai-partai dan berjalannya proses pengawasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata, tetapi juga bagaimana kompetensi warga rakyat diakomodasi dan diartikulasi oleh politik dan kebijakan pembangunan secara nyata. Harapannya terjadi perubahan nyata pada taraf dan derajat penghidupan, sehingga harkat dan martabat rakyat setara dengan warga rakyat lainnya dan tidak dimarginalkan. Ini terjadi manakala pembangunan tidak lagi menjadi beban dan ketakutan, tetapi berkah menuju perkembangan, kemajuan dan ketenteraman.

Pendek kata, masalah demokratisasi pada tingkat akar-rumputnya di komunitas rakyat , bagaimana menaikkan kembali posisi mereka pada arus mainstream. Esensinya adalah: rakyat dapat menyelenggaraan kebutuhan untuk penghidupan secara murah; tidak menerima pembedaan perlakuan dan kesempatan mencapai perkembangan dan kemajuan; dapat menyampaikan aspirasi dan kepentingan tanpa rasa takut dan keseganan; dapat berhubungan langsung dengan pemimpin yang mereka pilih secara sadar dan bukan perwalian kepentingan atau kepanjangan tangan institusi supra-desa; melakukan pengambilan keputusan untuk bekerja dan menjalankan proses produksi secara otonom, tidak semata didikte untuk melayani kepentingan pencapaian target yang ditetapkan atasan; dan begitu seterusnya. Tanpa esensi ini, demokratisasi tidak akan dapat merambah lebih dari sekedar penghitungan suara-suara dalam pemilihan umum, hanya eksis sebagai prasyarat dan alat legitimasi politik elit, serta akan melahirkan ancaman disintegrasi dan pemilahan komunitas rakyat pada tingkat lokalistik sekalipun.

(III)
Strategi Hipotetik: Penguatan dan Penegakan Hak Rakyat


Marginalisasi rakyat telah berakibat mendalam terhadap ketidakberdayaan institusi-institusi rakyat dan lemahnya hak-hak rakyat atas sumberdaya materiil dan non-materiil pembangunan dan perkembangan. Secara struktural situasi ini nyaris melembagakan sikap dan perilaku ketidakpedulian kalangan luas rakyat, bukan saja pada kecenderungan politik makro namun juga terhadap kecenderungan politik mikro serta aspirasi dan kepentingan mereka sendiri. Menjawab persoalan tersebut, aksi-aksi pemberdayaan dan penguatan masyarakat dikembangkan oleh berbagai kalangan, terutama organisasi non-pemerintah (Ornop). Persoalannya, aksi tersebut belum cukup efektif. Perilaku politik pemerintahan Suharto yang represif, sekalipun bukan faktor tunggal, memiliki signifikansi kuat terhadap lemahnya aksi pemberdayaan dan penguatan rakyat secara horisontal dan vertikal.

Reformasi memberlangsungkan perubahan politik pada skala makro dan mendesakkan tuntutan demokratisasi dan desentralisasi. Ruang politik yang sebelumnya ketat menjadi terbuka dan kondusif bagi usaha pemberdayaan dan penguatan rakyat. Situasi makro demikian memerlukan responsibilitas pada skala mikro, berupa perubahan perilaku politik sehari-hari antara pemegang otoritas pemerintahan terhadap rakyat maupun sebaliknya. Tanpa responsibilitas demikian perubahan politik akan cenderung etalatif dan menjadi ancaman berupa keberlanjutan proses marginalisasi rakyat. Dataran persoalan ini menegaskan kebutuhan penajaman dan perluasan aksi pemberdayaan dan penguatan rakyat, diantaranya dengan menetapkan pilihan komunitas rakyat setempat sebagai landasan aksi.

Komunitas rakyat setempat merupakan basis demokrasi dengan aspirasi dan kepentingan yang nyata pada skala persoanal dan sosial, serta berkait dengan kehidupan keseharian rakyat. Penggalangan aspirasi dan kepentingan berdasar persoalan dan kebutuhan strategis dan praktis komunitas rakyat setempat, bukan semata mengandalkan kekuatan dukungan eksternal, merupakan implementasi aksi. Tujuan strategisnya, adalah: tegaknya hak-hak rakyat atas sumberdaya materiil dan non-materiil bagi kepentingan kemajuan kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan. Kunci untuk mendekati tujuan strategis ini, pengakuan hak kewarganegaraan rakyat sebagai subyek penyelenggaraan negara secara personal maupun sosial dengan tanpa didistorsi oleh penggolongan dan pengelompokan berdasarkan kompetensi politik kepartaian, keagamaan, kesukuan, profesi, jenis kelamin dan lainnya. Dari sini diharapkan, apresiasi politik rakyat dapat dimulai dan diekspresikan dalam kehidupan keseharian, sekurangnya pada cakupan wilayah negara yang paling dasar dan lokalistik, yakni cakupan kesatuan wilayah pemerintahan terendah (desa, kelurahan, gampong, nagari, boya atau istilah lain semakna; selanjutnya diringkaskan penyebutan ditulisan ini dengan istilah “desa”). Hal ini akan mendasari kesertaan rakyat pada proses politik selanjutnya, baik di tingkat daerah maupun pusat. Pertautan langsung dengan kompetensi penyelenggaraan kehidupan keseharian secara nyata akan mengeliminasi kecenderungan disintegrasi, karena komunitas rakyat setempat memiliki kekayaan kearifan untuk mengembangkan sistem dan mekanisme sosialnya.

Pertimbangan strategis lain dikemukakannya desa sebagai basis sivilisasi negara (state civilization), adalah:

(1) Desa merupakan struktur basis negara, pemerintahan dan pembangunan yang berhadapan secara face to face dengan rakyat;
(2) Demokrasi di tingkat desa cenderung bersifat langsung dan memiliki ketegasan pengakuan terhadap otoritas personal dan kelompok komunitas sosial sebagai subyek dengan distorsi pengelompokan kompetensi politik makro (eksternal) yang minimal;
(3) Usaha-usaha peningkatan kesejahteraan, perluasan akses, pengembangan kesadaran kritis, pembukaan ruang partisipasi dan penguatan kontrol rakyat atas negara, pemerintahan dan pembangunan lebih berpeluang dilakukan percepatan, karena memiliki korelasi langsung dengan aspirasi, kepentingan dan keseharian rakyat;
(4) Aksi penyadaran dan pengorganisasian akan lebih memiliki ketajaman dan operasional, karena mengacu pada akar komunitas yang jelas (community based).

Langkah operasional strategi pemberdayaan dan penguatan rakyat untuk kepentingan penegakan hak-hak rakyat semestinya mengarah pada:

(1) Peningkatan kapasitas rakyat (komunitas) untuk mengelola dan mengembangkan sumberdaya internal (materiil dan non-materiil) secara optimal, serta mengorganisasikan sumberdaya eksternal sesuai aspirasi dan kepentingan mereka guna mencapai kemajuan dan perkembangan;
(2) Pengembangan sumberdaya manusia dan organisasi/kelembagaan sosial rakyat setempat sebagai penggerak perkembangan dan kemajuan rakyat secara dinamis dan demokratis;
(3) Terbangunnya kelembagaan di tingkat rakyat yang dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi, kepentingan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian pembangunan oleh rakyat berfungsi secara benar sebagai penyalur aspirasi, kepentingan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian pembangunan oleh rakyat;
(4) Penggalangan elemen-elemen pendukung (perorangan, kelompok dan kelembagaan) yang memiliki kepedulian kuat terhadap usaha penegakan hak-hak rakyat, serta sanggup memberikan pelayanan dan dukungan sesuai aspirasi, kepentingan dan kondisi rakyat setempat;
(5) Terbangunnya sistem sinergi dan mekanisme kerja antar komunitas rakyat, antar elemen-elemen pendukung maupun antara komunitas rakyat dengan elemen pendukung secara kuat dan mengikat semua pihak.

Berdasarkan pengalaman Ornop dalam aksinya bersama dan untuk mendukung kepentingan komunitas rakyat, penggarapan aksi penegakan hak rakyat secara hipotetik dapat dilakukan dengan mensinergikan tiga level bidang garap. Ketiga level bidang garap ini mencakup:

(1) Pengembangan masyarakat yang berdimensi teknis;
(2) Pemberdayaan masyarakat yang berdimensi pengorganisasian; 
(3) Penguatan masyarakat yang berdimensi advokasi kebijakan atau pembelaan politik rakyat.

Asumsi yang mendasari kerangka sinergi hipotetik tersebut, bahwa tegaknya hak-hak rakyat dalam demokrasi dan desentralisasi manakala:

(1) Rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk dapat bekerja dan berpenghidupan layak;
(2) Rakyat memiliki peluang untuk mengakses sumberdaya bagi kemajuan dan perkembangan secara adil;
(3) Rakyat memperoleh keterbukaan untuk selalu dapat mengembangkan sikap kritis dan kreatifnya;
(4) Rakyat memiliki keleluasaan ruang berpartisipasi dalam segenap proses dan penyelenggaraan pembangunan;
(5) Rakyat dapat melakukan kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan politik negara, pemerintahan dan pembangunan secara bertanggunggugat.

Menilik pokok-pokok yang telah dikemukakan, usaha penegakan hak-hak rakyat merupakan proses panjang yang harus dilakukan secara terus-menerus. Ini tidak dapat mengandalkan aksi Ornop maupun elemen pendukung lainnya semata. Elemen-elemen kritis, baik personal maupun kelompok, dalam komunitas rakyat setempat mendesak diupayakan peningkatan kapasitas dan pengorganisasian, sehingga dapat bekerja secara lebih efektif mendinamisasikan lingkungan sosialnya. Pada dasarnya elemen komunitas rakyat setempat merupakan ujung tombak perubahan atas soal-soal yang menjadi kompetensi mereka. Untuk ini diperlukan metode, pendekatan dan model yang representatif bagi pengembangan aksi, baik di tingkat horisontal maupun vertikal. Tentunya organisasi-organisasi politik kepartaian dan perangkat-perangkat onderbouw-nya melakukan aksi untuk alasan tersebut, tetapi mereka tentu berada dalam kerangka paradigma politik partisan. Paradigma alternatif non-partisan kiranya perlu dikembangkan oleh elemen-elemen non-partisan, Ornop dan kelompok personal non-pemerintah serta elemen-elemen kritis lainnya serta dipakai sebagai pijakan aksi. Ini akan memperkaya wacana demokratisasi dan mempertajam perspektif demokrasi di tingkat akar-rumput, bahwa aspirasi, kepentingan dan keseharian rakyat yang harus dikedepankan, bukan kompetensi-kompetensi ideologis faksional kepartaian semata.

Akhirnya, bagian ini juga menekankan perlunya elemen-elemen non-partisan pendukung utama penegakan hak-hak rakyat untuk saling bertemu dan membicarakan perspektif strategis, paradigma aksi bersama dan rancangan-rancangan strategis dan operasional penegakan hak rakyat. Rencana implementasi politik desentralisasi dan penguatan otonomi daerah, merupakan alasan lain yang ikut menegaskan kebutuhan tersebut. Pertanyaannya, apakah elemen-elemen pendukung tegaknya hak rakyat, terutama Ornop dan aktifis, juga memandang perlu dan mendesaknya langkah ini?

(IV)
Model dan Pendekatan: Gagasan Aksi


Beberapa gagasan yang ditawarkan untuk aksi penegakan hak rakyat, mencakup:

(1) Pendidikan Kader untuk pengembangan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia setempat sebagai pemandu masyarakat di lingkungannya;
(2) Pengorganisasian komunitas rakyat setempat untuk peningkatan kapasitas dan penguatan peran/posisi dalam penyelenggaraan desa, terutama pengelolaan sumberdaya alam dan pembangunan;
(3) Pengembangan jaringan kerja antar komunitas dan forum kerja kader pemandu masyarakat setempat;
(4) Pengembangan dan pengorganisasian sistem pendukung penegakan hak rakyat melalui lingkaran kerja atau kelompok kerja di satuan wilayah yang representatif untuk berhubungan secara intensif dengan kelompok kader dan komunitas dampingan;
(5) Aliansi penegakan hak rakyat yang berintikan representasi komunitas atau jaringan antar komunitas ditambah representasi elemen pendukung untuk kepentingan advokasi kebijakan dan pembelaan politik rakyat.


(V)
Penutup


Marginalisasi rakyat secara struktural telah berlangsung dalam kurun panjang dan mengakar dalam. Demokratisasi dan desentralisasi merupakan peluang bagi pembongkaran struktur yang memarginalkan peran dan posisi rakyat pada jalur politik mainstream. Ini saja tidak cukup. Proses politik mutakhir ini dapat saja menjadi jebakan dan ancaman baru berupa keberlangsungan proses marginalisasi. Apalagi jika terjadi salah urus politik dan kebijakan. Bagaimanapun tradisi dan budaya paternalisme masih berakar kuat dalam sikap dan perilaku politik kalangan luas. Perubahan politik bermula dan baru terjadi di tingkat elit, belum berartikulasi secara kuat dan mendalam di bawah. Ini memang reformasi, bukan revolusi. Masalahnya, bagaimana keterbukaan ruang politik saat ini diapresiasi bagi optimalisasi usaha penegakan hak rakyat, serta memperkuat artikulasi demokrasi secara horisontal maupun vertikal.

Akhirnya, dengan menegaskan bahwa usaha penegakan hak rakyat menuntut penguatan sinergi berbagai eksponen pendukung, kertas kerja ini semata menawarkan “bahan diskusi” dan bukan “konsep jadi.” Pembicaraan dan diskusi sangat perlu dilakukan dan dikembangkan bersama, bukan semata untuk membicarakan bahan ini namun justru pencarian kerangka strategis dan operasional aksi penegakan hak rakyat . Tanpa mengesampingkan semua hal dan usaha yang telah ada dan berkembang, berkait dengan realitas dan perkembangan baru yang bernilai mendasar. Tidak terlalu berlebihan untuk dikemukakan di sini, perlunya platform bersama. Common platform tidak harus dipahami sebagai penyeragaman. bagaimanapun fleksibilitas diperlukan pada tingkat operasionalisasi aksi, terutama menyangkut aspek-aspek spesifik yang dihadapi. Untuk itu, pembicaraan dan diskusi-diskusi pada tingkat awal akan lebih relevan pada cakupan wilayah yang memiliki kedekatan strategis dan operasional dengan lingkungan komunitas rakyat setempat. Pembicaraan pada lingkup nasional dapat menjebak pada tema-tema makro dan generalisasi, disamping terlalu berjarak dengan akar dan basis demokratisasi dan desentralisasi.


Sekian dan terima kasih


Yogyakarta, 12 Oktober 1999
Kediri, 30 Oktober l999

(Ripana Puntarasa)


Monday, March 22, 2010

"Perhelatan Salam"

Ruang semu dalam rumah semu di jagad semu 
perhelatan terselenggara tanpa pagar maupun pembatas 
seleret garis pun tidak menandai adanya sekat aku, kau, dia, kami, kamu, kita dan mereka 
siapa saja 
tanpa bentuk 
tanpa rupa 
tanpa gerak 
tanpa lenggang 
tanpa desah 
tanpa suara 
salam sapa pesat berkilat menuju ke menyampai di semua arah semua aras 
semu 
menyapa segala waktu tanpa pekan hari tanggal jam menit detik
bulan tahun windu abad dan jaman 
diinjak libas tanpa tebas 
sampai 
diam itu dimana-mana dikapan-kapan dikilat-kilat 
dicepat-cepat ditetap-tetap didiam-diam 
sendiri ribut ramainya tanpa ukuran 
ukuran itu memang menyemu 
semu belaka 

Perhelatan 
melenggang maskoki anggun sampai keropos membusuk tanpa peduli seolah-olah 
telaga indah berbunga ganggang berlumuan koral bersembur gelembung angin mata air 
menyata hanya telaga maya aqurium sahaja 
melengking nyanyian kicau burung permai dan anggung perkutut bersanding tumpukan 
pakan, air jernih dan kebersihan setangkai dua seonggok koral 
menyata sebuah sangkar dengan pernik-perniknya 

Perhelatan 
mempertemukan setumpuk rindu kenangan canda tawa tangis kegembiraan 
tukar pikir pengkayaan pengetahuan kecerdasan pemikiran 
janji percintaan pertikaian kenal pisah tanpa karuan 
kejutan 
anak remajanya terjerat kencan maya 
orang tuanya menyibuk berkelit kelindan maya 
perempuannya lelakinya memaya 

Perhelatan 
semu membatu 
panas membeku 
dingin mengapi 
gerah mengangin 

Perhelatan 
menyata menantang maya 
melagu meragu semu 
salam ini bersalam salam 


Watugunung,

Cililin-Kebra-Jaksel, 22 Maret 2010

Sunday, March 7, 2010

Ia,
manusia merdeka yang tegak berdiri merdeka
tegap berjalan merdeka
kokoh berkarya merdeka
teguh berjuang merdeka
Berkendara angin dengan seribu pancar cahaya
semerbak wangi menebar harum di kedalaman rasa
anak-anak bumi dan langit
dengan tanpa pilih
menumbuh merdeka di darah para penderita
membangkit gerak
merdeka

Ia,
kini telah kembali pulang ke Rumah Keabadian Merdeka
dengan jejak tapak jelas-tegas

selamat jalan
MERDEKA!

(31 Desember 2009)
Pagi dalam perjalanan Kediri-Jombang
untuk mengiring pemakaman alm. Gus Dur


Mantheringtyas hanelengaken donga
Kunjuk mring Hyang Widi
Gusti Allah Kang Murbeng Gesang
Hangiring lampah konduripun Gus Dur
Ing Ndalem Kalanggengan 
Nyawiji Sih Katresnanipun Gusti Allah Swt.
Sampurnajati.
Amiin.

(30 Desember 2009)
malam dalam perjalanan Jakarta – Kediri
setelah mendapat kabar wafatnya Gus Dur



"bersalam pada tebal awan hujan"

kilat halilintar menikam langit
laju guntur menggemuruh merata laju gumpalan awan
hujan pun belum juga rapat menderas
          angin enggan membadai

dimana lantun merdu suara nyanyian alam disembunyikan
mungkin engkau telah menelannya untuk dilantun
pada hinggap dendang manis
          dalam merah lagu gayamu nan meriah

nyanyikan salam di setiap hembus nafas dan detak nadimu
bergegas aku dengan sapa salamku
adakah waktumu untuk menyahutinya
          salam
          salam
          salam guruh menggemuruh salam


Jakarta, 25 Desember 2009(23.24) – 25 Pebruari 2010 (17.55)