Tembang Jawa yang setiap saat selalu didendangkan ibu pada kecilku. Masih sangat kuingat dan terngiang.
"Dak petik-petik kembang melati. Dak sebar-sebar ing tengah ratri. Kuwi apa kuwi, ja padha korupsi. Mengko yen korupsi, negarane rugi. Piye mas kuwi... Aja ngono, ngona-ngona ngono..." (Kupetik-petik bunga melati. Kusebar-sebar di tengah malam. Itu apa itu. Janganlah korupsi. Kalau korupsi, negaranya rugi. Bagaimana bung itu... Jangan begitu, pura-pura begitu)
Ibu memang seorang guru Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi Sekolah Dasar. Mendendangkannya selepas senja sambil kami, anak-anak kecilnya, bermain dalam cengkerama gembira. Menunggu dendang tembang lagu dari suara ibu. Biasanya diteruskan dongeng dan cerita pengantar tidur.
Tembang lagu juga didendangkan dengan tepuk-tepuk lembut di pantat miring kecilku, sambil menyelusup diantara ketiak dan susu ibu. Tepuk lembut, dendang syahdu, harum keringat dan hangat badan ibu.
Lelap terayun. Terayun-ayun dalam ayun dendang ibu. Setiap hari. Setiap minggu. Setiap bulan. Setiap tahun. Setiap windu.
(*)
Di tengah ayun-ayun jalanku, di bangku sekolah dasar kami sekawanan kecil anak-anak mendengar suara nyanyian dari ruang kelas kakak-kakak kelas. Satu-dua diantara kami menghampiri, mengintip dan berjinjit.
Lagu yang diajardendangkan itu kemudian pun sampai pada kami. Guru menyanyikannya dulu, mencontohi dan kami para murid kecil mengikuti.
"Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, bak intan yang terkenang. Hutan, gunung, sawah, lautan. Simpanan kekayaan. Kini Ibu sedang lara. Menangis dan berduka."
Bersama menyanyi. Ada getar, ada rasa. Kecilku tidak tahu apa itu, namun sungguh ada sesuatu hadir dalam dada dan sanubari. Sesuatu yang merasuk dan kemudian mengendap. Pada waktunya melintasi masa, ya.... aku tahu apa yang dimaksud itu. Ibu lara. Ibu menangis. Ibu berduka.
(*)
Ibu melalui dendang lagu pengantar tidur. Memetik melati dan menaburkan harumnya dalam malam tidur kami sebagai doa dan pengharapan. Kepada para Mas atau Bung yang memimpin negara ini, agar tidak korupsi. Dan juga kepadamu anakku, begitu kira-kira, janganlah pula nanti berbuat korupsi. Korupsi akan menjadikan negara merugi. Negara itu ya kamu dan sesaudaramu sesama rakyat, tanah air tumpah darahmu, dan pemerintahmu. Jangan diperbudak harta dan nafsu kepentingan kuasa.
Di sekolah dasar, kecilku bersama sekawan sekolah, diingatkan selalu dengan dendang lagu. Jaga Ibumu jangan sampai bersedih-lara. Jaga Ibumu jangan sampai menangis nestapa. Jaga Ibumu jangan sampai tenggelam dalam duka.
Ditanamkan dan diakarkan.
(*)
Setiap hari, jam, menit dan detik. Sepanjang bertahun-tahun berganti. Dewasaku selalu dihujani badai berita korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan pupusnya harga diri.
Hari-hari berlalu dan terus berganti. Jatuh, bangun, bangkit dan berdiri lagi. Ayo lari, tapi jangan lari basambunyi. Nak.
Watugunung
Jakarta, 27 Maret 2010
No comments:
Post a Comment