Tulisan "pengorganisasian penegakan hak rakyat" ini merupakan tulisan lama (1999) dan telah tersampaikan pada beberapa kawan secara informal dengan harapan dapat sebagai bahan diskusi atau dialog sekitar upaya kerja perkuatan atau penegakan hak rakyat. Pemuatan kali ini pada satu sisi sebagai upaya penyimpanan file dan dapat juga sebagai bahan bacaan atau lontaran bahan diskusi. Terimakasih. Salam dan Merdeka (Ripana Puntarasa).
Pengorganisasian Penegakan Hak Rakyat
Oleh: Ripana Puntarasa
(I)
Titik Soal: Marginalisasi Rakyat
Satu persoalan yang dihadapi rakyat adalah marginalisasi struktural oleh politik pembangunan yang sentralistik selama orde pemerintahan Suharto, baik di tingkat lokal maupun nasional. Akibatnya, aspirasi dan kepentingan rakyat tidak mendapat artikulasi secara memadai dari segenap kebijakan pembangunan yang ada. Rakyat kehilangan hak kontrol dan tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pembangunan dan politik pemerintahan. Sebaliknya rakyat tetap menanggung beban dari berbagai akibat dan konsekuensi salah urus pembangunan.
Reformasi, demokratisasi dan desentralisasi merupakan proses politik yang berjalan ketika pusat (negara) menyangga beban persoalan yang melampaui batas pengelolaan, sehingga memaksanya berbagi otorita dengan bawahan (daerah dan rakyat). Ini berarti juga berbagi beban. Terhadap pokok soal ini, beberapa pertanyaan mengedepan berkait dengan keberadaan rakyat. Apakah proses politik mutakhir mampu menjawab persoalan marginalisasi rakyat selama ini? Bagaimana rakyat mampu mengembangkan dan memperkuat otoritasnya? Bagaimana artikulasi positif dapat terjalin antara proses dan produk politik di tingkat lokal dan nasional dengan aspirasi dan kepentingan rakyat? Bagaimana mengupayakan kembali agar rakyat tidak terhegemoni kompetensi elit politik dan pemerintahan di tingkat lokal, regional dan nasional? Dan seterusnya.
Pertanyaan tersebut dikedepankan mengingat selama ini institusi-institusi formal yang mestinya menjadi saluran aspirasi dan kepentingan rakyat lemah dan tidak berdaya. Sedang institusi-institusi sosial non-formal yang ada pun termobilisasi dalam arus kepentingan pemegang otorita pembangunan, yakni pusat. Pada sisi lain, proses politik reformasi yang baru berjalan masih berada di bawah bayang-bayang tradisi paternalisme dan otoritarianisme politik era sebelumnya, secara formal terjadi masih di latar depan atau etalase perpolitikan nasional, serta belum memiliki akar kuat di kalangan luas rakyat. Reformasi malahan masih banyak dicitrai oleh perilaku kegairahan politik emosional daripada kedewasaan politik rasional. Depolitisasi yang diterapkan orde pemerintahan Suharto untuk kepentingan stabilitas politik dan pembangunan, secara struktural telah menghambat laju pembelajaran dan proses pendewasaan politik rakyat. Perilaku represif dan berbagai bentuk kekerasan politik penguasa saat itu telah memberikan referensi anarkhisme politik dan menanamkan kerendahdirian serta apatisme politik rakyat.
Mendesak dipecahkan bersama, pemberdayaan dan penguatan demokrasi pada level akar rumput. Urgensinya, menghindarkan rakyat dari kompetensi-kompetensi politik yang bersifat elitis, faksional, sektoral dan petualanganisme alih-alih membangun kompetensi politik yang berakar pada aspirasi dan kepentingan kongkrit rakyat. Sosok aspirasi dan kepentingan kongkrit rakyat pada skala personal maupun sosial berada di lingkungan komunitas rakyat setempat. Demokratisasi dan desentralisasi, dalam payung reformasi sekalipun, pada proses yang salah urus dapat menjebak rakyat, terutama komunitas akar rumput, pada pengalihan majikan semata. Yakni, dari majikan elit-elit yang berada di pusat kepada majikan elit-elit lokal yang berada di daerah.
(II)
Titik Pijak: Akar Rumput Demokratisasi
Demokrasi berarti penyelenggaraan politik pemerintahan negara dari-oleh-untuk rakyat. Secara harafiah ini bermakna: “tabu menafikan peran dan posisi rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.” Proses demokrasi secara eksplisit terkait dengan keberadaan institusi kepartaian sebagai wadah kepentingan politik dengan landasan ideologi apapun, institusi pemilihan umum, institusi perwakilan rakyat dan seterusnya. Transparansi, akuntabilitas, kesederajatan, kebersamaan, penghargaan dan kebebasan mengemukakan pendapat, aspirasi dan kepentingan adalah beberapa dari sekian banyak nilai-nilai demokrasi yang bersumber pada nilai “dari-oleh-untuk rakyat.”
Ada kecenderungan demokrasi selalu terancam penyimpangan dan pengingkaran. Terutama manakala kekuasaan pemerintahan yang kuat berkembang menjadi arogan dan otoriter. Untuk itu demokrasi harus selalu dijaga agar tetap menjadi landasan pokok sikap dan perilaku politik penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga kepentingan rakyat selalu dikedepankan dan dijunjung tinggi di atas kepentingan individual, kelompok dan golongan. Demokratisasi dalam kaitan ini merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan untuk menegakkan demokrasi.
Secara eksplisit pada arus permukaan reformasi menampilkan proses demokratisasi, seperti: pemberlakuan sistem politik multi-partai secara terbuka; pemberdayaan institusi-institusi demokrasi; desentralisasi kekuasaan pemerintahan; pengurangan peran politik militer secara bertahap menuju penghapusan dwifungsi TNI/POLRI (dahulu ABRI); pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil; serta lainnya. Bagaimana arus permukaan proses demokratisasi berjalan secara efektif, proses politik selanjutnya yang akan menjawab. Namun sekurangnya satu persoalan yang harus dijawab, apakah proses demokratisasi pada dataran formalistik akan mampu menjawab dan membebaskan rakyat dari arus persoalan marginalisasi? Bagaimana demokratisasi mampu menghilangkan penafian aspirasi dan kepentingan rakyat, serta menghormati peran dan posisi rakyat?
Betapapun rakyat mengalami betapa kebijakan-kebijakan pembangunan dan pemerintahan hampir tidak menyentuh aspek-aspek dasar kebutuhan dan perlindungan kepentingan mereka. Namun malah menempatkan mereka sebagai obyek politik pembangunan dan penyangga pencapaian target dan pemenuhan kebutuhan institusi-institusi supra/ekstra struktur di pusat. Aspirasi dan kepentingan mereka tidak cukup terakomodasi dan memperoleh artikulasi nyata dari politik dan kebijakan pemerintahan sebagai pemegang otorita pembangunan.
Pada sisi kepentingan akar-rumput demokratisasi bukan berarti eksisnya partai-partai dan berjalannya proses pengawasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata, tetapi juga bagaimana kompetensi warga rakyat diakomodasi dan diartikulasi oleh politik dan kebijakan pembangunan secara nyata. Harapannya terjadi perubahan nyata pada taraf dan derajat penghidupan, sehingga harkat dan martabat rakyat setara dengan warga rakyat lainnya dan tidak dimarginalkan. Ini terjadi manakala pembangunan tidak lagi menjadi beban dan ketakutan, tetapi berkah menuju perkembangan, kemajuan dan ketenteraman.
Pendek kata, masalah demokratisasi pada tingkat akar-rumputnya di komunitas rakyat , bagaimana menaikkan kembali posisi mereka pada arus mainstream. Esensinya adalah: rakyat dapat menyelenggaraan kebutuhan untuk penghidupan secara murah; tidak menerima pembedaan perlakuan dan kesempatan mencapai perkembangan dan kemajuan; dapat menyampaikan aspirasi dan kepentingan tanpa rasa takut dan keseganan; dapat berhubungan langsung dengan pemimpin yang mereka pilih secara sadar dan bukan perwalian kepentingan atau kepanjangan tangan institusi supra-desa; melakukan pengambilan keputusan untuk bekerja dan menjalankan proses produksi secara otonom, tidak semata didikte untuk melayani kepentingan pencapaian target yang ditetapkan atasan; dan begitu seterusnya. Tanpa esensi ini, demokratisasi tidak akan dapat merambah lebih dari sekedar penghitungan suara-suara dalam pemilihan umum, hanya eksis sebagai prasyarat dan alat legitimasi politik elit, serta akan melahirkan ancaman disintegrasi dan pemilahan komunitas rakyat pada tingkat lokalistik sekalipun.
(III)
Strategi Hipotetik: Penguatan dan Penegakan Hak Rakyat
Marginalisasi rakyat telah berakibat mendalam terhadap ketidakberdayaan institusi-institusi rakyat dan lemahnya hak-hak rakyat atas sumberdaya materiil dan non-materiil pembangunan dan perkembangan. Secara struktural situasi ini nyaris melembagakan sikap dan perilaku ketidakpedulian kalangan luas rakyat, bukan saja pada kecenderungan politik makro namun juga terhadap kecenderungan politik mikro serta aspirasi dan kepentingan mereka sendiri. Menjawab persoalan tersebut, aksi-aksi pemberdayaan dan penguatan masyarakat dikembangkan oleh berbagai kalangan, terutama organisasi non-pemerintah (Ornop). Persoalannya, aksi tersebut belum cukup efektif. Perilaku politik pemerintahan Suharto yang represif, sekalipun bukan faktor tunggal, memiliki signifikansi kuat terhadap lemahnya aksi pemberdayaan dan penguatan rakyat secara horisontal dan vertikal.
Reformasi memberlangsungkan perubahan politik pada skala makro dan mendesakkan tuntutan demokratisasi dan desentralisasi. Ruang politik yang sebelumnya ketat menjadi terbuka dan kondusif bagi usaha pemberdayaan dan penguatan rakyat. Situasi makro demikian memerlukan responsibilitas pada skala mikro, berupa perubahan perilaku politik sehari-hari antara pemegang otoritas pemerintahan terhadap rakyat maupun sebaliknya. Tanpa responsibilitas demikian perubahan politik akan cenderung etalatif dan menjadi ancaman berupa keberlanjutan proses marginalisasi rakyat. Dataran persoalan ini menegaskan kebutuhan penajaman dan perluasan aksi pemberdayaan dan penguatan rakyat, diantaranya dengan menetapkan pilihan komunitas rakyat setempat sebagai landasan aksi.
Komunitas rakyat setempat merupakan basis demokrasi dengan aspirasi dan kepentingan yang nyata pada skala persoanal dan sosial, serta berkait dengan kehidupan keseharian rakyat. Penggalangan aspirasi dan kepentingan berdasar persoalan dan kebutuhan strategis dan praktis komunitas rakyat setempat, bukan semata mengandalkan kekuatan dukungan eksternal, merupakan implementasi aksi. Tujuan strategisnya, adalah: tegaknya hak-hak rakyat atas sumberdaya materiil dan non-materiil bagi kepentingan kemajuan kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan. Kunci untuk mendekati tujuan strategis ini, pengakuan hak kewarganegaraan rakyat sebagai subyek penyelenggaraan negara secara personal maupun sosial dengan tanpa didistorsi oleh penggolongan dan pengelompokan berdasarkan kompetensi politik kepartaian, keagamaan, kesukuan, profesi, jenis kelamin dan lainnya. Dari sini diharapkan, apresiasi politik rakyat dapat dimulai dan diekspresikan dalam kehidupan keseharian, sekurangnya pada cakupan wilayah negara yang paling dasar dan lokalistik, yakni cakupan kesatuan wilayah pemerintahan terendah (desa, kelurahan, gampong, nagari, boya atau istilah lain semakna; selanjutnya diringkaskan penyebutan ditulisan ini dengan istilah “desa”). Hal ini akan mendasari kesertaan rakyat pada proses politik selanjutnya, baik di tingkat daerah maupun pusat. Pertautan langsung dengan kompetensi penyelenggaraan kehidupan keseharian secara nyata akan mengeliminasi kecenderungan disintegrasi, karena komunitas rakyat setempat memiliki kekayaan kearifan untuk mengembangkan sistem dan mekanisme sosialnya.
Pertimbangan strategis lain dikemukakannya desa sebagai basis sivilisasi negara (state civilization), adalah:
(1) Desa merupakan struktur basis negara, pemerintahan dan pembangunan yang berhadapan secara face to face dengan rakyat;
(2) Demokrasi di tingkat desa cenderung bersifat langsung dan memiliki ketegasan pengakuan terhadap otoritas personal dan kelompok komunitas sosial sebagai subyek dengan distorsi pengelompokan kompetensi politik makro (eksternal) yang minimal;
(3) Usaha-usaha peningkatan kesejahteraan, perluasan akses, pengembangan kesadaran kritis, pembukaan ruang partisipasi dan penguatan kontrol rakyat atas negara, pemerintahan dan pembangunan lebih berpeluang dilakukan percepatan, karena memiliki korelasi langsung dengan aspirasi, kepentingan dan keseharian rakyat;
(4) Aksi penyadaran dan pengorganisasian akan lebih memiliki ketajaman dan operasional, karena mengacu pada akar komunitas yang jelas (community based).
Langkah operasional strategi pemberdayaan dan penguatan rakyat untuk kepentingan penegakan hak-hak rakyat semestinya mengarah pada:
(1) Peningkatan kapasitas rakyat (komunitas) untuk mengelola dan mengembangkan sumberdaya internal (materiil dan non-materiil) secara optimal, serta mengorganisasikan sumberdaya eksternal sesuai aspirasi dan kepentingan mereka guna mencapai kemajuan dan perkembangan;
(2) Pengembangan sumberdaya manusia dan organisasi/kelembagaan sosial rakyat setempat sebagai penggerak perkembangan dan kemajuan rakyat secara dinamis dan demokratis;
(3) Terbangunnya kelembagaan di tingkat rakyat yang dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi, kepentingan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian pembangunan oleh rakyat berfungsi secara benar sebagai penyalur aspirasi, kepentingan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian pembangunan oleh rakyat;
(4) Penggalangan elemen-elemen pendukung (perorangan, kelompok dan kelembagaan) yang memiliki kepedulian kuat terhadap usaha penegakan hak-hak rakyat, serta sanggup memberikan pelayanan dan dukungan sesuai aspirasi, kepentingan dan kondisi rakyat setempat;
(5) Terbangunnya sistem sinergi dan mekanisme kerja antar komunitas rakyat, antar elemen-elemen pendukung maupun antara komunitas rakyat dengan elemen pendukung secara kuat dan mengikat semua pihak.
Berdasarkan pengalaman Ornop dalam aksinya bersama dan untuk mendukung kepentingan komunitas rakyat, penggarapan aksi penegakan hak rakyat secara hipotetik dapat dilakukan dengan mensinergikan tiga level bidang garap. Ketiga level bidang garap ini mencakup:
(1) Pengembangan masyarakat yang berdimensi teknis;
(2) Pemberdayaan masyarakat yang berdimensi pengorganisasian;
(3) Penguatan masyarakat yang berdimensi advokasi kebijakan atau pembelaan politik rakyat.
Asumsi yang mendasari kerangka sinergi hipotetik tersebut, bahwa tegaknya hak-hak rakyat dalam demokrasi dan desentralisasi manakala:
(1) Rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk dapat bekerja dan berpenghidupan layak;
(2) Rakyat memiliki peluang untuk mengakses sumberdaya bagi kemajuan dan perkembangan secara adil;
(3) Rakyat memperoleh keterbukaan untuk selalu dapat mengembangkan sikap kritis dan kreatifnya;
(4) Rakyat memiliki keleluasaan ruang berpartisipasi dalam segenap proses dan penyelenggaraan pembangunan;
(5) Rakyat dapat melakukan kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan politik negara, pemerintahan dan pembangunan secara bertanggunggugat.
Menilik pokok-pokok yang telah dikemukakan, usaha penegakan hak-hak rakyat merupakan proses panjang yang harus dilakukan secara terus-menerus. Ini tidak dapat mengandalkan aksi Ornop maupun elemen pendukung lainnya semata. Elemen-elemen kritis, baik personal maupun kelompok, dalam komunitas rakyat setempat mendesak diupayakan peningkatan kapasitas dan pengorganisasian, sehingga dapat bekerja secara lebih efektif mendinamisasikan lingkungan sosialnya. Pada dasarnya elemen komunitas rakyat setempat merupakan ujung tombak perubahan atas soal-soal yang menjadi kompetensi mereka. Untuk ini diperlukan metode, pendekatan dan model yang representatif bagi pengembangan aksi, baik di tingkat horisontal maupun vertikal. Tentunya organisasi-organisasi politik kepartaian dan perangkat-perangkat onderbouw-nya melakukan aksi untuk alasan tersebut, tetapi mereka tentu berada dalam kerangka paradigma politik partisan. Paradigma alternatif non-partisan kiranya perlu dikembangkan oleh elemen-elemen non-partisan, Ornop dan kelompok personal non-pemerintah serta elemen-elemen kritis lainnya serta dipakai sebagai pijakan aksi. Ini akan memperkaya wacana demokratisasi dan mempertajam perspektif demokrasi di tingkat akar-rumput, bahwa aspirasi, kepentingan dan keseharian rakyat yang harus dikedepankan, bukan kompetensi-kompetensi ideologis faksional kepartaian semata.
Akhirnya, bagian ini juga menekankan perlunya elemen-elemen non-partisan pendukung utama penegakan hak-hak rakyat untuk saling bertemu dan membicarakan perspektif strategis, paradigma aksi bersama dan rancangan-rancangan strategis dan operasional penegakan hak rakyat. Rencana implementasi politik desentralisasi dan penguatan otonomi daerah, merupakan alasan lain yang ikut menegaskan kebutuhan tersebut. Pertanyaannya, apakah elemen-elemen pendukung tegaknya hak rakyat, terutama Ornop dan aktifis, juga memandang perlu dan mendesaknya langkah ini?
(IV)
Model dan Pendekatan: Gagasan Aksi
Beberapa gagasan yang ditawarkan untuk aksi penegakan hak rakyat, mencakup:
(1) Pendidikan Kader untuk pengembangan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia setempat sebagai pemandu masyarakat di lingkungannya;
(2) Pengorganisasian komunitas rakyat setempat untuk peningkatan kapasitas dan penguatan peran/posisi dalam penyelenggaraan desa, terutama pengelolaan sumberdaya alam dan pembangunan;
(3) Pengembangan jaringan kerja antar komunitas dan forum kerja kader pemandu masyarakat setempat;
(4) Pengembangan dan pengorganisasian sistem pendukung penegakan hak rakyat melalui lingkaran kerja atau kelompok kerja di satuan wilayah yang representatif untuk berhubungan secara intensif dengan kelompok kader dan komunitas dampingan;
(5) Aliansi penegakan hak rakyat yang berintikan representasi komunitas atau jaringan antar komunitas ditambah representasi elemen pendukung untuk kepentingan advokasi kebijakan dan pembelaan politik rakyat.
(V)
Penutup
Marginalisasi rakyat secara struktural telah berlangsung dalam kurun panjang dan mengakar dalam. Demokratisasi dan desentralisasi merupakan peluang bagi pembongkaran struktur yang memarginalkan peran dan posisi rakyat pada jalur politik mainstream. Ini saja tidak cukup. Proses politik mutakhir ini dapat saja menjadi jebakan dan ancaman baru berupa keberlangsungan proses marginalisasi. Apalagi jika terjadi salah urus politik dan kebijakan. Bagaimanapun tradisi dan budaya paternalisme masih berakar kuat dalam sikap dan perilaku politik kalangan luas. Perubahan politik bermula dan baru terjadi di tingkat elit, belum berartikulasi secara kuat dan mendalam di bawah. Ini memang reformasi, bukan revolusi. Masalahnya, bagaimana keterbukaan ruang politik saat ini diapresiasi bagi optimalisasi usaha penegakan hak rakyat, serta memperkuat artikulasi demokrasi secara horisontal maupun vertikal.
Akhirnya, dengan menegaskan bahwa usaha penegakan hak rakyat menuntut penguatan sinergi berbagai eksponen pendukung, kertas kerja ini semata menawarkan “bahan diskusi” dan bukan “konsep jadi.” Pembicaraan dan diskusi sangat perlu dilakukan dan dikembangkan bersama, bukan semata untuk membicarakan bahan ini namun justru pencarian kerangka strategis dan operasional aksi penegakan hak rakyat . Tanpa mengesampingkan semua hal dan usaha yang telah ada dan berkembang, berkait dengan realitas dan perkembangan baru yang bernilai mendasar. Tidak terlalu berlebihan untuk dikemukakan di sini, perlunya platform bersama. Common platform tidak harus dipahami sebagai penyeragaman. bagaimanapun fleksibilitas diperlukan pada tingkat operasionalisasi aksi, terutama menyangkut aspek-aspek spesifik yang dihadapi. Untuk itu, pembicaraan dan diskusi-diskusi pada tingkat awal akan lebih relevan pada cakupan wilayah yang memiliki kedekatan strategis dan operasional dengan lingkungan komunitas rakyat setempat. Pembicaraan pada lingkup nasional dapat menjebak pada tema-tema makro dan generalisasi, disamping terlalu berjarak dengan akar dan basis demokratisasi dan desentralisasi.
Sekian dan terima kasih
Yogyakarta, 12 Oktober 1999
Kediri, 30 Oktober l999
(Ripana Puntarasa)
No comments:
Post a Comment