Ujian Nasional selalu beriring dengan kegelisahan, kegundahan, kegamangan, khawatir dan was-was para murid, orangtua murid dan juga guru. Penyelenggaraannya selalu pula berawal dengan perbincangan di bentang wilayah diametral. Perdebatan dan pertikaian wacana penyelenggaraan Ya atau Tidak, Setuju atau Tidak Setuju. Banyak alasan dikemukakan, sebab ukuran-ukuran kelulusan semestinya tidak begitu saja dikemas seragam dari Sabang sampai Merauke, dari Rotte sampai Miyangas.
Pendidikan sekolah memang bukan pabrik yang memproduksi barang cetakan. Bikin keluaran untuk suatu jenis dan ukuran yang presisinya terukur persis sama. Pendidikan bukan pula suatu kerja kerajinan ataupun kerja pengkaryaan seni ekspresi yang beraneka ragam dan seperti maunya perajin atau senimannya. Pendidikan sekolah adalah peletak dasar, peretas jalan dan pembuka pintu dan jendela menuju dunia pendewasaan anak-anak manusia. Menjadikan waktu demi waktu yang berjalan selalu lebih maju, lebih dewasa, lebih bernilai dan lebih mendudukkan dan menegakkan harkat dan martabat manusia yang beradab.
Membuka ruang peradaban yang luas dan agung, mengurai kecerdasan sikap pikir, perilaku kreatif, tanggung jawab sosial, moralitas kemanusiaan dan penyelenggaraan mandat keberlangsungan hidup seru sekalian alam. Ini tugas pendidikan yang tidak dapat diabaikan atau diingkari oleh siapapun.
Mandat penyelenggaraan pemerintah Negara Republik Indonesia yang diberikan oleh Bangsa Indonesia Merdeka (Proklamasi 17 Agustus 1945) pada saat pembentukan Negara dan pemerintahan Negara Republik Indonesia (18 Agustus 1945), sangat jelas dan tegas, yakni: "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.."
Bagaimana dengan pendidikan di negeri ini dan apa pula kaitannya dengan penyelenggaraan Ujian Nasional bagi anak-anak sekolah di SD, SMP, SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan?
Penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dituntut kemampuan dan kesediaannya untuk membangun tata kelola dan tata penyelenggaraan yang membuka ruang seluas-luasnya bagi segenap upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa." Bangsa Indonesia atau juga dapat saya sebut sebagai "Wangsa Indonesia." Siapa Bangsa atau Wangsa Indonesia ini? Ya tentu pasti: seluruh anggota keluarga dan segenap turun-temurun dari keluarga Indonesia. Tanpa pilih-pilih siapapun, dimanapun dan kapanpun ia berada. Di dalam maupun di luar lingkungan kewilayahan administratif negara dan negeri ini.
Membuka ruang pencerdasan adalah membentang seluas-luasanya ruang pendidikan dengan tanpa pembatas tempat atau wilayah, waktu atau masa dan jaman, golongan sosial atau kesukuan dan kebangsaan, kelas-kelas ekonomi ataupun jabatan dan kekuasaan, politik, agama maupun aliran dan kepercayaan, asal-usul kewargaan ataupun keberadaan tinggal dan kependudukan, keadaan raga badani ataupun kecerdasan jiwani. Kesemuanya itu tentulah penuh keberagaman dan pastilah tidak akan terukur oleh patok-patok cetak gaya pabrikan. Pokok paling prinsip dan mendasar, keluasan bentang ruang pendidikan, dengan berbagai cara, kreasi dan pendekatannya, mengemban tugas menciptakan landasan bagi generasi anak sekarang ini (0 sampai 18 tahun atau usia pengasuhan dini, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan yang setara) agar memiliki kesiapan menghadapi masa depannya sebagai manusia dewasa dengan berbagai kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Salah sentuh dan kekeliruan penggarapan berarti penghancuran atas suatu generasi, masa dan jaman. Salah terap, maka bukan kecerdasan kehidupan bangsa , tetapi kebodohan kehidupan bangsa. Sungguh sangat peka!
Pada keluasan ruang dan kepekaan yang sangat tinggi itu, bagaimana ukuran kelulusan bagi anak-anak didik atau murid-murid sekolah? Kesanggupan anak didik dan para murid mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dan pergaulan sosial pertemanan, ketetanggaan, keluarganya dan lingkungan hidupnya menjadi pokok-pokok yang dapat dipakai menentukan, apakah dia si anak didik atau murid itu sannggup naik ke jenjang berikutnya. Ini bukan soal angka atau nilai yang diperebutkan secara jujur dan terbuka dengan berbagai warna kecurangan, sikap licik dan perilaku selintutan.
Pelulusan atau kesanggupan naik jenjang pendidikan sekolah menjadi bukan beban dan tanggung jawab guru dan sekolah semata, namun juga keluarga dan lingkungan sosialnya. Pada titik ini, pemerintah dan negara cukup diperlukan membuka ruang dengan sistem yang lebih terbuka. Tugas pemerintah Negara ini menjadi tidak terlalu berat dan terkonsentrasi di pusat. Pokok yang diperlukan adalah mendorong, mendukung, memberikan koridor nilai dan prinsip pokok, serta memandu dengan acuan penyelenggaraan penyelenggaraan pendidikan di daerah dan seluruh kelembagaan pendidikan sekolah, masyarakat dan keluarga serta penyelenggara-penyelenggara pendidikan lainnya. Pokok terakhir ini sekaligus dapat dipakai sebagai pengendali terhadap penyelenggaraan pendidikan yang secara liar dan sengaja telah menciptakan sekat-sekat golongan, autisme sosial, ketinggihatian ataupun kerendahdirian para anak didik. Pengendalian terhadap kemahalan pendidikan sampai tingkat irasional bagi para kaya ataupun ketidaksangngupan pembiayaan sekolah bagi para miskin dan terlantar.
Pada saat ini sampai beberapa waktu nanti untuk penilaian dan pengkajian, Ujian Nasional masih saya anggap relevan. Relevansi pada penglihatan ini BUKAN UNTUK MENENTUKAN SI BADU DAN SI TUTI LULUS SD, SMP atau SMA dan sederajatnya, tetapi UNTUK MENILAI DAN MENGKAJI SISTEM, KURIKULUM, METODE DAN PENDEKATAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN SECARA NASIONAL MEMERLUKAN PENAMBAHAN DAN PERKUATAN APA LAGI. Sekaligus penilaian dan pengkajian ini untuk melihat apakah proses penyelenggaraan pendidikan, para guru dan murid memiliki daya sikap dan perilaku yang cerdas menghadapi derasnya arus komunikasi dan informasi pada era ini dan ke depan? Bagaimana dan apa tindakan yang relevan terhadap berbagai perbedaan ruang sosial dan budaya di berbagai daerah dan kawasan berbeda, seperti di pedalaman Papua, di ketersebabaran kepulauan dan pulau-pulau kecil maupun di ruang muka (etalase) megapolitan Jakarta? Sedang di kawasan megapolitan Jakarta pun ada soal antara kawasan atap kota yang terdiri para elit dan orang kaya-raya berhadapan dengan kawasan selesah di komunitas gubuk pinggiran rel kereta atau tumpukan sampah dan gorong-gorong kota lainnya.
Menyikapi Ujian Nasional ini, sesungguhnya kita tidak usah gelisah dan bergundahgulana sebagai murid atupun orangtua, mari kita bergelisah dan bergundahgulana untuk sebagai bangsa dan warga negara. Perubahan harus diselenggarakan.
Sekian.
Salam dan MERDEKA!
Ripana Puntarasa
Jakarta, 25 Maret 2010
Thursday, March 25, 2010
"Ujian Nasional dan Kegundahgulanaan"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Ya....memang banyak orang yang gundah gulana karena Ujian nasional jadi penentu nasib siswa, tapi apa daya....semuanya kembali kepada sistem pendidikan secara nasional...
Ya....memang banyak orang yang gundah gulana karena Ujian nasional jadi penentu nasib siswa, tapi apa daya....semuanya kembali kepada sistem pendidikan secara nasional...
Post a Comment