Wednesday, November 25, 2009

Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka: Bahan Diskusi 1

"MENCARI FORMAT PENDIDIKAN"

1. Memahami Perubahan Demokrasi


Hampir pada setiap momentum perubahan, bangsa dan negara ini gagal melakukan antisipasi dan terpuruk dalam situasi transisional. Silang pendapat dan kepentingan atas nama rakyat untuk keluar dari krisis, acapkali menjadi ajang konflik antar golongan dan kelompok elit yang diusung sampai tingkat bawah. Rakyat hampir tidak memperoleh jawaban atas substansi persoalan dan kepentingan mereka tentang bagaimana memperoleh kejelasan situasi, kesegeraan keluar dari krisis dan mengetahui arah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Apakah rakyat akan duduk sebagai obyek penyerta ataukah subyek utama dalam penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara?

Retorika kaum pemimpin, politisi, intelektual, professional dan pemodal selalu menyatakan posisi rakyat adalah subyek utama penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktek tidak teringkari bahwa sikap, pikiran dan kelakuan mereka yang dominan dan hegemonik cenderung meminggirkan dan mengabaikan peran dan posisi rakyat. Rakyat sering dibuat tidak mengerti terhadap berbagai pandangan dan pendapat para elit atas situasi yang sesungguhnya mereka hadapi di negeri ini. Rakyat sering dibuat tidak paham dengan berbagai tawaran kaum professional untuk keluar dari keterpurukan krisis, tetapi hampir tanpa pertimbangan langkah strategis yang mendasar dan operasional.

Pada saat proklamasi kemerdekaan memerlukan akar kedaulatan yang kuat, upaya penanaman kedaulatan rakyat dalam seluruh tingkatan penyelenggaraan negara hancur dalam duapuluh tahun berjalan, sebab depolitisasi rakyat oleh penguasa Orde Baru. Usaha keras membangun kelembagaan dan tradisi demokrasi, yang dilalui dengan berbagai ancaman krisis politik dan disintegrasi sosial, pernah melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan (DPRK) dan Majelis Permusyawaratan Desa (MPD) dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan di tingkat desa. Diawali dengan Maklumat Sultan Yogyakarta bersama Paku Alam pada tahun 1945/1946 tentang politik otonomisasi dan demokratisasi yang memperkenalkan kelembagaan DPRK dan MPD dalam praktek penyelenggaraan desa secara otonom dan demokratis.

Melewati pergulatan politik panjang seperti pemilu 1955/1956, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta berbagai pergolakan politik dan ancaman disintegrasi bangsa/negara, pada tahun 1965 ditetapkan UU 18/1965 tentang Pemerintahan Desa Swatantra. UU 18/1965 membuka peluang bagi satu atau lebih desa bergabung untuk menyelenggarakan otonominya dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat III (DPR Tk. III). Ini adalah penegasan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara sampai akar-rumputnya. Undang-undang tersebut (bersama UU 19/1965 tentang pemerintahan daerah dan beberapa yang lain) dibekukan dan dibatalkan oleh penguasa Orde Baru. Alasannya produk PKI!

Kemudian diterapkan politik masa mengambang sebagai praktek depolitisasi rakyat untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan nasional sebagai “syarat pembangunan” sebagai yang dituntut negara dan lembaga kreditur serta para investor asing. Bagi kaum teknokrat, birokrat dan militer yang berada di arus utama politik negara dan pemerintahan cenderung melihat, ketiadaan pilihan guna melindungi politik pembangunan, kecuali sentralisme politik dan kekuasaan. Demokrasi, otonomi dan kedaulatan rakyat seolah diyakini tidak akan mampu menjamin terciptanya syarat-syarat “ceteris paribus” dalam hukum ekonomi bagi implementasi konsep pembangunan ekonomi yang teknokratik.


2. Krisis Apa?

Krisis multidimensional yang nyaris menghancurkan kepercayaan rakyat dan publik internasional, merupakan puncak akumulasi persoalan salah urus politik pembangunan, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Rakyat memiliki ruang menuntut pembaharuan dan penegakan kembali kedulatan rakyat dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi didesakkan, tetapi disintegrasi menjadi ancaman.

Dalam kemendesakan reformasi, rekonsiliasi merupakan agenda dasar untuk melandasi upaya-upaya pembaharuan dengan agenda sebagai disepakati gerakan reformasi secara menyeluruh. Rekonsiliasi bukan traktat, bukan sekedar upaya praktis-pragmatis keluar dari keterpurukan krisis. Ini merupakan langkah awal yang strategis untuk mempertemukan seluruh komponen bangsa guna membangun platform bersama. Yakni menjawab pertanyaan dasar, kemana arah penataan kembali harkat kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat, adil dan beradab di jalan demokrasi dan penegakan kedaulatan rakyat.

Rekonsiliasi menuntut kesediaan seluruh komponen bangsa dan negara untuk saling menerima dan keterbukaan, bukan penolakan maupun mengedepannya sentimen antar golongan yang tegas menghambat keterbukaan dan menjadi sekat dialogis. Perkaranya, berbagai fenomena yang eksplisit dalam interaksi antar golongan dan komponen sosial kebangsaan dan kenegaraan tidak cukup mendukung upaya tersebut. Berbagai peristiwa teror dan kerusuhan sosial menggejalakan menguatnya kecenderungan primordialisme dan saling curiga antar golongan dan kelompok. Pada sisi lain, berbagai sikap pandang dan tindakan para elit cenderung klaim atas nama kepentingan rakyat, bangsa dan negara, namun sikapan, pikiran dan tindakannya tegas mengedepankan kepentingan golongan dan kemapanan.

Bagaimanapun elemen Orde Baru (regime Soeharto dan penerusnya, Habibie), negara dan lembaga kreditur internasional, kapitalis global dan seluruh kompradornya sebagai pemegang status-quo selama ini tidak ingin melepaskan dominasi hegemoniknya. Pelaksanaan agenda reformasi secara menyeluruh dan rekonsiliasi merupakan bencana bagi mereka. Ini akan membongkar habis perilaku manipulatif, korup, kolutif dan kronistik/nepotis yang anti demokrasi, anti kedaulatan dan anti keberadaban kemanusiaan yang berkeadilan. Suatu konspirasi yang kompleks dan sophisticated mereka kembangkan untuk mempengaruhi dan merancukan arah gerakan reformasi dan usaha rekonsiliasi.

Pendangkalan pemahaman, perluasan kerancuan dan penajaman friksi kepentingan antar kelompok dalam proses reformasi telah mendorong merebaknya konflik ke arah pertikaian yang menjurus pada berbagai bentuk kekerasan di hampir seluruh lapisan sosial. Merebak tudingan bahwa reformasi dan gerakan pembaharuan adalah penyebab krisis dan kesulitan hidup rakyat. Tidak pernah ada tuntutan pertanggungjawaban politik dan hukum kepada Soeharto atas “pengunduran diri” dari kursi kepresidenan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Maka secara konstitusional pun tidak ada atau kurang cukup acuan bagi proses hukum yang lebih mendalam. Acuan yang diharapkan adalah berupa tuntutan MPR atas nama rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dapat dilanjutkan dengan membawa Soeharto ke peradilan hukum.

Begitu pula terhadap Habibie, sebagai penerus kekuasaan Soeharto, yang hanya bertugas mengemban pemerintahan di masa transisi. Penolakan MPR 1999/2004 yang diketuai Amien Rais terhadap pertanggungjawaban Habibie terhenti hanya mampu mengganjal pencalonan Habibie untuk jabatan presiden periode 1999/2004. Tidak ada tuntutan pertanggungjawaban “pengunduran diri” Soeharto dimana Habibie sebagai orang kedua dalam pemerintahan terakhir Soeharto. Tidak ada pula tuntutan pertanggungjawaban politik atas pengambilan keputusan strategis Habibie yang secara politik melampaui kewenangannya sebagai “President in Transition,” seperti pelepasan Timor Timur (apapun alasan dan pertimbangannya, diluar perdebatan politik yang mendahului antara tindakan Indonesia di 1975/1976 tersebut suatu bentuk aneksasi ataukan integrasi, tetapi ulur-tarik pendapat internasional antara mendukung, menolak dan abstain telah terjadi dalam kurun dua dekade lebih). 


3. Kegusaran Sipil


Tidak menghasilkan keputusan dan ketetapan MPR yang dapat digunakan sebagai pijakan proses hukum dan peradilan bagi Soeharto dan Habibie. Jika ini dilakukan sesungguhnya berarti pula pengamanan dan pemulusan jalannya reformasi dan perubahan. MPR saat itu malah disibukkan friksi kekuasaan dan terjebak pada ulur tarik kepentingan dan konsolidasi antar elit dan golongan untuk saling berbagi kekuasaan pemerintahan. Friksi ini diusung sampai tingkat akar rumput hampir tanpa penjelasan politik yang rasional, tetapi memuluskan jalannya bagi-bagi kekuasaan.

Penghadangan Megawati sebagai calon presiden dari PDIP yang memenangkan suara tertinggi dalam pemilu 1999, menawarkan Abdurahman Wahid sebagai alternatif, merupakan provokasi politik massa yang mengarah pada ancaman konflik dan kekerasan horizontal. Yang demikian lebih menunjukkan kemandulandan ketidakberdayaan MPR dari pada kapasitas MPR membangun keputusan dan ketetapan yang jauh lebih strategis dan rekonsiliatif serta berhadap-hadapan secara diametral dengan Orde Baru.

Penandingan Mega dengan Gus Dur Ini mengesankan pemecah-belahan kekentalan hubungan sosial dan politik antar golongan “nasional-regius” (nasionalis-PNI-PDIP) dengan “religius-nasional” (Nahdliyin-NU-PKB). Pemecahbelahan lebih intensif dengan berbagai upaya merenggangkan duet Gus Dur-Mega sampai tingkat rentan dan berujung dengan penjatuhan Abdurrahman Wahid oleh MPR berdasar alasan-alasan yang menurut kaidah peradilan hanya “patut diduga bersalah” atas persoalan Buglog-gate dan Brunei-gate. Terhadap dugaan korupsi tersebut MPR pun tidak mampu merekomendasikan kepada lembaga hukum dan peradilan untuk membawa Gus Dur ke pengadilan. Begitupun atas keputusan politik Abdurahman Wahid berupa Dekrit Presiden yang merupakan perlawanan Presiden selaku Mandataris terhadap MPR selaku pemegang mandat kedaulatan rakyat, MPR tidak mampu membawa Gus Dur ke pengadilan, sekurangnya untuk proses peradilan hukum tata usaha negara.

Duet Mega-Hamzah yang juga merepresentasi nasionalis (PNI-PDIP) – Nahdliyin (NU-PPP) dipaksakan sebagai pilihan pengganti. Pasangan ini sekalipun berusaha keras dan sangat hati-hati dalam berpegang pada mandat dan amanat MPR, namun tetap digoyang secara intensif. Struktur kabinet “pelangi” memang sangat rawan tarik-menarik kepentingan dan lemah untuk membangun soliditas dan kerjasama. Terbukti pada akhir tahun pemerintahan kabinet diguncang pengunduran diri beberapa menteri utamanya.

Perilaku politik era reformasi yang diwarnai euphoria demokrasi banyak memunculkan fenomena sikap dan perilaku over acting. Keberpihakan terhadap nasib rakyat, bangsa dan negara hampir tidak tercermin, semu dan penuh kepura-puraan. Pemberitaan dan perdebatan diberbagai media yang cenderung reaktif dan pragmatis kehilangan kepekaan terhadap perkembangan situasi yang merumit. Akibatnya tergiring dan terbangun opini yang kontra-produktif terhadap gerak dan arah reformasi. Reformasi mengalami disorientasi dan nyaris kehilangan kepercayaan publik. 

Tragedis bagi perjalanan pembaharuan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum 1999 yang disebut sebagai pemilu paling demokratis sejak 1955/1956, di berbagai tingkatan menjelang akhir masa bakti anggotanya didera dan diguncang persoalan korupsi. Rakyat semakin skeptis dan mempertanyakan kesungguhan politik wakil-wakil mereka. Pada sisi lain, Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, kemudian segera disusul Gubernur dan Bupati/Walikota, yang dipilih langsung oleh rakyat akan segera memperoleh legitimasi politik yang kuat dari rakyat. Sekalipun masih memerlukan pembuktian efektifitas kinerja tata pemerintahan baru, krisis kepercayaan DPR (legislatif) vis a vis legitimasi dan harapan baru terhadap kepala pemerintahan (eksekutif). Pada tingkatan proses politik yang unmanageable, sikap dan perilaku politik yang euphoristik, over-estimated terhadap peran dan posisi lembaga perwakilan serta under-estimated terhadap kapasitas rakyat menjadi hambatan dan ancaman upaya penguatan kedaulatan rakyat.

Tafsir berlebih pihak legislatif dan eksekutif atas peran dan posisinya tersebut, tanpa kejelasan sistem, mekanisme dan ketegasan aturan untuk inter-relasi dan pertanggungjawaban politik baik, potensial dapat menjadi ruang konflik antar elit dan golongan. Kedua belah pihak itu potensial melakukan klaim dan mengatasnamakan rakyat.


4. Meraih Kedulatan dan Kemerdekaan


Ada fenomena dalam perjalanan bangsa dan negara ini, keterpurukan krisis dan jerat stagnasi dalam situasi transisional disebabkan oleh kesalahan pola pikir dan sikapan atas kompleks persoalan yang ada. Wacana yang berkembang di kalangan elit melalui berbagai media dan membangun pendapat umum, lebih mencerminkan sikap pikir dan perilaku yang pragmatis-materialistik, cara pikir yang berwawasan sempit dan tidak menyejarah (ahistoris). 

Banyak dilupakan oleh komponen bangsa bangsa dan negara ini, untuk apa sesungguhnya kemerdekaan diproklamasikan? Kepada siapa pembangunan dipersembahkan? Bagaimana pemerintahan Negara seharusnya diselenggarakan? Untuk bertemu dan mendialogkan pokok persoalan ini, hampir tidak cukup kesediaan antar komponen bangsa untuk mendiskusikan tentang bagaimana suatu sistem dibangun agar mampu menjamin dan membentuk kemerdekaan rakyat, melindungi rakyat dari berbagai rasa ketidakadilan, serta menegakkan kedaulatan hidup bersama bagi seluruh rakyat.

Rakyat hampir kehilangan kesempatan mengembangkan kedaulatan. Tidak cukup tersedia ruang bagi rakyat mengembangkan dan menggalang aspirasi, inisiatif dan kepentingan secara merdeka. Berbagai media yang memungkinkan sebagai ruang bagi pengembangan semangat kedaulatan, terkreasi justru untuk memenuhi kepentingan elit guna menggiring pendapat umum ke arah yang mereka kehendaki. Peluang dialogis antar komponen bangsa tidak termanfaatkan optimal, malah sering menemui jalan buntu.

Dorongan memperluas eskalase dialogis untuk menunjukkan kompleksitas persoalan tidak ada atau sangat kurang. Sebaliknya, yang terjadi justru sering terjebak dalam pola pikir sempit dan ahistoris yang berakibat pada semakin terpuruknya bangsa dalam kungkungan kultur neo-feodalisme dan neo-kolonialisme (kolonialisme kapital). Berbagai media yang semestinya mampu menampilkan dan menguatkan pengembangan aspirasi, inisiatif dan kepentingan rakyat secara demokratis, justru menjadi ruang akrobat para elit dalam menampilkan kepiawaian dan publisitas arogansi keprofesionalan.

Daya kritis dan kreasi rakyat semakin terbunuh dan terpinggirkan. Dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan intelektualitasnya, rakyat tidak diberi hak dan ruang untuk menjawab persoalan yang dihadapi sendiri. Mereka semakin tersisih dalam sistem kenegaraan. Sebaliknya kaum elit yang terdiri dari para pemimpin, politisi, intelektual, professional dan pemodal dengan leluasa memonopoli hak berbicara dan berbuat atas nama rakyat. Dengan berbagai dalih mereka memonopoli kebenaran yang kini mulai harus digugat keabsahannya.

Menepis simplifikasi serta mengupayakan segera keluar dari kemelut krisis dan jebakan transisi, rakyat dan seluruh komponen bangsa harus mampu menemukan dan membangun kembali jatidiri sebagai manusia berdaulat, manusia yang merdeka dari keterlindasan dunia pragmatis dan materialistik. Sudah tentu ini kembali pada kesediaan bersama untuk membuka lebar-lebar ruang kedaulatan rakyat.

Ruang kedaulatan hanya mungkin dioptimalkan jika komponen warga bangsa mampu mewujudkan kedaulatan dan kemerdekaannya sebagai manusia. Manusia yang merdeka dan berdaulat adalah manusia yang cerdas, bermartabat dan beradab. Manusia yang memiliki tanggung jawab atas kehidupan bersama yang berperikemanusiaan secara adil dan beradab. Bukan budak-budak politik, budak-budak ekonomi, budak-budak akademia maupun mesin-mesin pekerja untuk melengkapi kebutuhan produksi dari sistem besar kapitalisme. Bagaimanapun kapitalisme merupakan gurita ekonomi yang hanya tahu dan mau cara, bagaimana memenuhi kebutuhan pragmatis-materialistik usaha pelipatgandaan keuntungan semata.


5. Penutup

Ruang kedaulatan rakyat tertutupi oleh tembok dominasi kekuasaan elit politik dan kapital. Ruang kemerdekaan manusia sebagai subyek kehidupan masyarakatnya yang otonom tersumbat oleh hegemoni budaya pragmatis-materialistik. Peran dan posisi rakyat hampir tidak bergeming dari fungsinya untuk memberikan legitimasi dan justifikasi sosial politik bagi status-quo dan establishment, maupun termobilisasi sebagai sumberdaya pekerja bagi proses produksi dan konsumen bagi pasar hasil produksi. Otoritas dan otonomitas yang dimiliki semakin terdistorsi sampai titik nadir ketidakberdayaan.

Mendesak dilakukan upaya terobosan guna membedah kebuntuan dan mencairkan kebekuan. Untuk hal ini pendidikan merupakan media yang signifikan dan relevan. Banyak format pendidikan yang tersedia secara instan. Banyak praksis telah dilakukan, baik pada kelembagaan pendidikan formal, non-formal dan informal. Persoalannya, menjawab tantangan dan persoalan yang ada, bagi tujuan pembangkitan harkat kehidupan rakyat yang merdeka (cerdas), otonom (bermartabat) dan berkedaulatan (beradab): formulasi pendidikan seperti apa dan bagaimana dapat dirumuskan dan ditawarkan?

Sekian, salam sejahtera dan bahagia beserta kita, seluruh rakyat Indonesia.

MERDEKA!

Disampaikan untuk Perguruan Rakyat Merdeka sebagai awalan dan bahan diskusi:
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”
Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05


No comments: