"MENCARI FORMAT PENDIDIKAN"
1. Memahami Perubahan Demokrasi
Hampir pada setiap momentum perubahan, bangsa dan negara ini gagal melakukan antisipasi dan terpuruk dalam situasi transisional. Silang pendapat dan kepentingan atas nama rakyat untuk keluar dari krisis, acapkali menjadi ajang konflik antar golongan dan kelompok elit yang diusung sampai tingkat bawah. Rakyat hampir tidak memperoleh jawaban atas substansi persoalan dan kepentingan mereka tentang bagaimana memperoleh kejelasan situasi, kesegeraan keluar dari krisis dan mengetahui arah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apakah rakyat akan duduk sebagai obyek penyerta ataukah subyek utama dalam penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara?
Pada saat proklamasi kemerdekaan memerlukan akar kedaulatan yang kuat, upaya penanaman kedaulatan rakyat dalam seluruh tingkatan penyelenggaraan negara hancur dalam duapuluh tahun berjalan, sebab depolitisasi rakyat oleh penguasa Orde Baru. Usaha keras membangun kelembagaan dan tradisi demokrasi, yang dilalui dengan berbagai ancaman krisis politik dan disintegrasi sosial, pernah melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan (DPRK) dan Majelis Permusyawaratan Desa (MPD) dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan di tingkat desa. Diawali dengan Maklumat Sultan Yogyakarta bersama Paku Alam pada tahun 1945/1946 tentang politik otonomisasi dan demokratisasi yang memperkenalkan kelembagaan DPRK dan MPD dalam praktek penyelenggaraan desa secara otonom dan demokratis.
Kemudian diterapkan politik masa mengambang sebagai praktek depolitisasi rakyat untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan nasional sebagai “syarat pembangunan” sebagai yang dituntut negara dan lembaga kreditur serta para investor asing. Bagi kaum teknokrat, birokrat dan militer yang berada di arus utama politik negara dan pemerintahan cenderung melihat, ketiadaan pilihan guna melindungi politik pembangunan, kecuali sentralisme politik dan kekuasaan. Demokrasi, otonomi dan kedaulatan rakyat seolah diyakini tidak akan mampu menjamin terciptanya syarat-syarat “ceteris paribus” dalam hukum ekonomi bagi implementasi konsep pembangunan ekonomi yang teknokratik.
Krisis multidimensional yang nyaris menghancurkan kepercayaan rakyat dan publik internasional, merupakan puncak akumulasi persoalan salah urus politik pembangunan, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Rakyat memiliki ruang menuntut pembaharuan dan penegakan kembali kedulatan rakyat dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi didesakkan, tetapi disintegrasi menjadi ancaman.
Rekonsiliasi menuntut kesediaan seluruh komponen bangsa dan negara untuk saling menerima dan keterbukaan, bukan penolakan maupun mengedepannya sentimen antar golongan yang tegas menghambat keterbukaan dan menjadi sekat dialogis. Perkaranya, berbagai fenomena yang eksplisit dalam interaksi antar golongan dan komponen sosial kebangsaan dan kenegaraan tidak cukup mendukung upaya tersebut. Berbagai peristiwa teror dan kerusuhan sosial menggejalakan menguatnya kecenderungan primordialisme dan saling curiga antar golongan dan kelompok. Pada sisi lain, berbagai sikap pandang dan tindakan para elit cenderung klaim atas nama kepentingan rakyat, bangsa dan negara, namun sikapan, pikiran dan tindakannya tegas mengedepankan kepentingan golongan dan kemapanan.
Pendangkalan pemahaman, perluasan kerancuan dan penajaman friksi kepentingan antar kelompok dalam proses reformasi telah mendorong merebaknya konflik ke arah pertikaian yang menjurus pada berbagai bentuk kekerasan di hampir seluruh lapisan sosial. Merebak tudingan bahwa reformasi dan gerakan pembaharuan adalah penyebab krisis dan kesulitan hidup rakyat. Tidak pernah ada tuntutan pertanggungjawaban politik dan hukum kepada Soeharto atas “pengunduran diri” dari kursi kepresidenan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Maka secara konstitusional pun tidak ada atau kurang cukup acuan bagi proses hukum yang lebih mendalam. Acuan yang diharapkan adalah berupa tuntutan MPR atas nama rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dapat dilanjutkan dengan membawa Soeharto ke peradilan hukum.
Begitu pula terhadap Habibie, sebagai penerus kekuasaan Soeharto, yang hanya bertugas mengemban pemerintahan di masa transisi. Penolakan MPR 1999/2004 yang diketuai Amien Rais terhadap pertanggungjawaban Habibie terhenti hanya mampu mengganjal pencalonan Habibie untuk jabatan presiden periode 1999/2004. Tidak ada tuntutan pertanggungjawaban “pengunduran diri” Soeharto dimana Habibie sebagai orang kedua dalam pemerintahan terakhir Soeharto. Tidak ada pula tuntutan pertanggungjawaban politik atas pengambilan keputusan strategis Habibie yang secara politik melampaui kewenangannya sebagai “President in Transition,” seperti pelepasan Timor Timur (apapun alasan dan pertimbangannya, diluar perdebatan politik yang mendahului antara tindakan Indonesia di 1975/1976 tersebut suatu bentuk aneksasi ataukan integrasi, tetapi ulur-tarik pendapat internasional antara mendukung, menolak dan abstain telah terjadi dalam kurun dua dekade lebih).
Penghadangan Megawati sebagai calon presiden dari PDIP yang memenangkan suara tertinggi dalam pemilu 1999, menawarkan Abdurahman Wahid sebagai alternatif, merupakan provokasi politik massa yang mengarah pada ancaman konflik dan kekerasan horizontal. Yang demikian lebih menunjukkan kemandulandan ketidakberdayaan MPR dari pada kapasitas MPR membangun keputusan dan ketetapan yang jauh lebih strategis dan rekonsiliatif serta berhadap-hadapan secara diametral dengan Orde Baru.
Duet Mega-Hamzah yang juga merepresentasi nasionalis (PNI-PDIP) – Nahdliyin (NU-PPP) dipaksakan sebagai pilihan pengganti. Pasangan ini sekalipun berusaha keras dan sangat hati-hati dalam berpegang pada mandat dan amanat MPR, namun tetap digoyang secara intensif. Struktur kabinet “pelangi” memang sangat rawan tarik-menarik kepentingan dan lemah untuk membangun soliditas dan kerjasama. Terbukti pada akhir tahun pemerintahan kabinet diguncang pengunduran diri beberapa menteri utamanya.
Tragedis bagi perjalanan pembaharuan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum 1999 yang disebut sebagai pemilu paling demokratis sejak 1955/1956, di berbagai tingkatan menjelang akhir masa bakti anggotanya didera dan diguncang persoalan korupsi. Rakyat semakin skeptis dan mempertanyakan kesungguhan politik wakil-wakil mereka. Pada sisi lain, Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, kemudian segera disusul Gubernur dan Bupati/Walikota, yang dipilih langsung oleh rakyat akan segera memperoleh legitimasi politik yang kuat dari rakyat. Sekalipun masih memerlukan pembuktian efektifitas kinerja tata pemerintahan baru, krisis kepercayaan DPR (legislatif) vis a vis legitimasi dan harapan baru terhadap kepala pemerintahan (eksekutif). Pada tingkatan proses politik yang unmanageable, sikap dan perilaku politik yang euphoristik, over-estimated terhadap peran dan posisi lembaga perwakilan serta under-estimated terhadap kapasitas rakyat menjadi hambatan dan ancaman upaya penguatan kedaulatan rakyat.
Tafsir berlebih pihak legislatif dan eksekutif atas peran dan posisinya tersebut, tanpa kejelasan sistem, mekanisme dan ketegasan aturan untuk inter-relasi dan pertanggungjawaban politik baik, potensial dapat menjadi ruang konflik antar elit dan golongan. Kedua belah pihak itu potensial melakukan klaim dan mengatasnamakan rakyat.
Banyak dilupakan oleh komponen bangsa bangsa dan negara ini, untuk apa sesungguhnya kemerdekaan diproklamasikan? Kepada siapa pembangunan dipersembahkan? Bagaimana pemerintahan Negara seharusnya diselenggarakan? Untuk bertemu dan mendialogkan pokok persoalan ini, hampir tidak cukup kesediaan antar komponen bangsa untuk mendiskusikan tentang bagaimana suatu sistem dibangun agar mampu menjamin dan membentuk kemerdekaan rakyat, melindungi rakyat dari berbagai rasa ketidakadilan, serta menegakkan kedaulatan hidup bersama bagi seluruh rakyat.
Dorongan memperluas eskalase dialogis untuk menunjukkan kompleksitas persoalan tidak ada atau sangat kurang. Sebaliknya, yang terjadi justru sering terjebak dalam pola pikir sempit dan ahistoris yang berakibat pada semakin terpuruknya bangsa dalam kungkungan kultur neo-feodalisme dan neo-kolonialisme (kolonialisme kapital). Berbagai media yang semestinya mampu menampilkan dan menguatkan pengembangan aspirasi, inisiatif dan kepentingan rakyat secara demokratis, justru menjadi ruang akrobat para elit dalam menampilkan kepiawaian dan publisitas arogansi keprofesionalan.
Menepis simplifikasi serta mengupayakan segera keluar dari kemelut krisis dan jebakan transisi, rakyat dan seluruh komponen bangsa harus mampu menemukan dan membangun kembali jatidiri sebagai manusia berdaulat, manusia yang merdeka dari keterlindasan dunia pragmatis dan materialistik. Sudah tentu ini kembali pada kesediaan bersama untuk membuka lebar-lebar ruang kedaulatan rakyat.
Ruang kedaulatan hanya mungkin dioptimalkan jika komponen warga bangsa mampu mewujudkan kedaulatan dan kemerdekaannya sebagai manusia. Manusia yang merdeka dan berdaulat adalah manusia yang cerdas, bermartabat dan beradab. Manusia yang memiliki tanggung jawab atas kehidupan bersama yang berperikemanusiaan secara adil dan beradab. Bukan budak-budak politik, budak-budak ekonomi, budak-budak akademia maupun mesin-mesin pekerja untuk melengkapi kebutuhan produksi dari sistem besar kapitalisme. Bagaimanapun kapitalisme merupakan gurita ekonomi yang hanya tahu dan mau cara, bagaimana memenuhi kebutuhan pragmatis-materialistik usaha pelipatgandaan keuntungan semata.
Ruang kedaulatan rakyat tertutupi oleh tembok dominasi kekuasaan elit politik dan kapital. Ruang kemerdekaan manusia sebagai subyek kehidupan masyarakatnya yang otonom tersumbat oleh hegemoni budaya pragmatis-materialistik. Peran dan posisi rakyat hampir tidak bergeming dari fungsinya untuk memberikan legitimasi dan justifikasi sosial politik bagi status-quo dan establishment, maupun termobilisasi sebagai sumberdaya pekerja bagi proses produksi dan konsumen bagi pasar hasil produksi. Otoritas dan otonomitas yang dimiliki semakin terdistorsi sampai titik nadir ketidakberdayaan.
Sekian, salam sejahtera dan bahagia beserta kita, seluruh rakyat Indonesia.
MERDEKA!
“Mencari Format Pendidikan Rakyat Merdeka”
Kediri-Jogja, Des ’04 – Jan ‘05
No comments:
Post a Comment