Guru Agama sekolah dasar dari sebuah desa kecil di lereng Wilis, mengajar murid-murid kecilnya tentang salah satu kepantasan orang yang pertama-tama berwenang menjadi Imam dalam jamaah.
Disampaikan oleh sang Guru, bahwa orang yang datang paling awal ia yang berada di paling depan dan berturut-turut yang datang kemudian berjajar dibelakangnya. Mengatur shaff dengan rapat dan rapih. Jamaah diselenggarakan.
Menjadi pengalaman menggetarkan diantara murid-murid kecil itu, ketika ada diantaranya yang tidak dapat menolak untuk "terlanjur menjadi imam." Bagaimana kisahnya?
Si anak maunya menyelesaikan bersembahyang lebih dulu dari yang lain...sendiri. Tidak menunggu berjamaah. Maunya agar punya waktu lebih untuk bersantai. Menyelinaplah ia ke surau kecil dekat sekolahnya. Belum selang ia dirikan sholah, bahunya ditepuk oleh satu-dua-tiga... tangan berurutan. Diantara yang menepuk itu, adalah tangan yang terasa lebih besar dan mantap.
Yang sudah didirikan, tidak boleh dibatalkan. Pikiran si anak melayang... konsentrasi goyah... keringat dingin mulai menderas... Guru ada dibelakangku, bermakmum.... Uih, aku menjadi imam.... bagaimana ini nanti? Suara cekikik lembut, tawa ledek ditahan dari diantara para makmum di belakangnya juga terdengar. Pasti itu si Polan yang bandel. Ah...
Terngiang di telinga batin dan pikirannya saat guru berkata, yang sudah didirikan jangan dibatalkan. Ya... akhirnya lega bertindih gundah-gulana sewaktu salam terucapkan... Dia lari menubruk sang Guru, bersalam dan mencium tangan.
"Ampun, Guru......"
Sang Guru berucap: "Selamat nak, kamu sudah berhasil dirikan jamaahmu."
"Tapi, Guru...."
"Tidak apa dan jangan gundah. Jamaahmu memang belum rapih. Kawanmu masih ada yang cekikikan, tapi dirimu sudah memulai. Ya... kamu sudah memulainya."
"Selamat, nak."
"Terimakasih, Guru."
Watugunung,
(Cililin-Kebra-Jaksel, 28 Januari 2010)
No comments:
Post a Comment