Tuesday, October 28, 2008

“Perlukan Jeda Sejenak Saja”

Hari ini tidak cukup daya
Api sangat kecil nyalanya
Cahayanya redup
Matahari di tengah hari pun tak sanggup menawar situasi

Sekam…Sekam…Sekam…
Timbuni nyala kecil
Simpan bara memupuk daya
Esok pastikan menjadi nyala
Terangnya selalu dinanti

Sesungguhnya jeda waktu itu diperlukan
Agar lebih giat di kerja panjang pada hari kemudian



Rajasa III/14, 28/11/2008
Watugunung

Friday, October 10, 2008

“Lang-Lung-Leng-Ling”

Sekeluarga kami bercengkerama
Sebilah keris menggores ujungnya
Menggaris pada lapis muka
Kulit dada sampai perut di belah kiri badanku
Seleret gores merah coklat tua
Perihnya tanpa tetes darah
Gelisah oleh warangan
Gelisah dan gelisah
Oh, anak-bini kekasih hati belahan jiwa
Duh, Biyung ... Bunda Kasih tanah tumbuh ruh dan jiwaku
Bapa... Bapa... Bapa... Matahari arah kiblat jalanku

Ibu... Biyung..., Bunda Kasihku
Teguh dudukmu teduh memayungi

Bapa... Bapa..., Langit Matahariku
Tegap tegakmu kokoh menyangga

Isteri.... Bini..., Persemaian Cintaku
Subur lahanmu memangku tanam tumbuh sang waktu

Mbarep, Nengah, Wuragil... Anak-Turun, Penerus Waktu dan Hidupku
Tegak langkah dan tegar pandangmu laju meniti jaga generasi dan jaman

Hidup adalah Sang Waktu yang terus memasti maju
Tanpa henti, tanpa jeda... menyapa

Ya, Allah
Ya, Huu....

Jakarta, Nopember 2007 - Oktober 2008
Watugunung

Monday, September 1, 2008

"Salam di Gundah Pagi Kota Jakarta"

Buka pintu dan jendela, nafasi hari dengan senyum dan kegembiraan. Selamat pagi, dunia...

Apa yang dapat kau selakan di tengah hiruk-pikuk kotamu yang renta, terseyok beban, rusuh dan rombengan... kecuali menyempatkan diri dengan menyemangati hari? Pastikan dudukmu di kursi, tanpa paku, bara api, ambeien ataupun belati... pistol biarkan ia mati bersama mesiu dan harum bunga-bunga melati.

Kenanga di kebun belakang rumah, masih subur dengan resapan limbah dapur dan comberan kamar mandi kita. Harumnya, sengak menipu namun tetap menyegari...



Jakarta di Petogogan, 26 Agustus 2008

Wednesday, August 13, 2008

“Di Lelang Waktu Kota Jakarta”

Rekan kerja kita, laki-laki muda
Kegembiraannya, ceria menyenangkan
Tanpa pretensi, candanya berapi-api
Sekejap lewat, terselip dikerumunan belanja
“Aku mencarinya,” begitu ceritamu
Mereka menjawab, anak ibu baru saja berlalu

“Ah, anakku?”

Ia lahir di delapan enam,
Remajanya sudah lewat tanjak
Menakik pohon kehidupan
Mereka bilang, anak ibu…

“Ah, aku sudah tua”
bukankah kau selalu bilang dirimu masih muda belia?
“Ya… Bukan begitu… Maksudku…”
Memang (…?!)
“Aku masih muda”

Ehm, senyum mengulum tahun…
Masih muda, lo…
Tujuhbelas saja lewatnya

Di samping rumah sekejap waktu berhenti
Kau turun dijilat tangga, ditelan teras dan dilahap rumah
Aku,
Meneruskan sisa waktu: Mengunyah malam, mencerna siang


Watugunung
Jakarta di Rajasa Tiga, 13 Agustus 2008

Friday, July 18, 2008

"Seratan Waru-Dhahap" (Di Langit Tengah Malam Jumat, 10 Juli 2008)






WARU : Gek apa, Dhadhap? Ya apa Sampeyan kok diyem, rada sepi ya.
(Sedang apa, Dhadhap? Bagaimana kamu kok diam, agak sepi ya).


DHADHAP : Sepi... samun... suwung... Seser-muser adu lurung... Sabab, ujare para tuwa, jaman kiyene akeh kang padha udur rebutan balung...
(Sepi... sunyi... kosong... Sesar memutar beradu jalan... sebab, kata para tua, jaman seperti ini banyak yang saling bertengkar mulut berebut tulang).

WARU : Balung bolong nggo rebutan. Disesep tiwas kempot. Lurung pancen dawa, ning isih dawa swarane coangkem. Tergejaba bisu. Hehehe...
(Tulang lobang untuk direbutkan. Dihisap malah bikin kempot. Jalan memang panjang, tapi masih panjang suaranya mulut. Terkecuali bisu. Hehehe...).

DHADHAP : Mula si cangkem becik meneng lan gelem leren, mbisu sikik... kareben genah trawaca juntrunge lurung... hehehe...
(Maka si mulut baik diam dan mau istirahat, membisu dulu... supaya terang jelas arahnya jalan... hehehe...).

WARU : Sajake panjenengan samun madeg lurah sepuh. Kok sampun wijang lan wicaksana. Hahaha...
(Kiranya anda sudah menjadi Lurah Tua. Kok sudah arif dan bijaksana. Hahaha...).

DHADHAP : We... lah pripun... kahanan... kedah ngempak awak ngetut angin nganggo ngelmune ron aking... godhong tiba urip... sinau ngelmune lumut, tunggok slulup sailining warih...
(Wo... lah bagaimana... keadaan... harus menempatkan diri mengikuti angin menggunakan ilmunya daun kering... daun kehidupan... belajar ilmunya lumut, duduk menyelam sealirannya air...).

WARU : Balung lan getih lakune menyang endi? Pikiran lan rasa jemenenge ana ngendi? Hahaha... apa kata dunia.
(Tulang dan darah jalannya kemana? Pikiran dan rasa tinggalnya dimana? Hahaha... apa kata dunia).

DHADHAP : Dunia tak berkata-kata... balung, getih lan sapiturute manggon nang papane... banyu mili manut karepe... jagad iku ngadhahi.
(Dunia tak berkata-kata... tulang, darah dan seterusnya bertempat di tempatnya... air mengalir mengikuti kehendaknya... alam raya itu mewadahi).

DHADHAP : Hehehe aku rada teler! Balung lan getih mlaku manut karepe, pikiran lan rasa jumeneng ana dununge (yen tanpa karep lan tanpa dunung, ya digajul bae).
[Hehehe aku agak teler! Tulang dan darah berjalan mengikuti kehendaknya, pikiran dan rasa tinggal di tempatnya (kalau tanpa kehendak dan tanpa tempat, ya ditendang saja)].

WARU : Lha njur neng endi papane menungsa neng ndonya? Apa wis padha ora ngerti yen sing katon kuwi dudu apa-apa. Hehehe...
(Lha kemudian dimana tempatnya manusia di dunia? Apa sudah saling tidak paham kalau yang tampak itu bukan apa-apa. Hehehe...)

DHADHAP : Sing katon ya mesthi apa-apa mungguh jantrane. Yen persis katon tetep ora dianggep apa kang samesthine, kang rumangsa weruh iku sejatine picak lahir-batine.
(Yang tampak ya pasti apa-apa menurut harkat fitrahnya. Kalau jelas-jelas tampak tetap tidak dianggap sebagaimana mestinya, yang merasa melihat itu sesungguhnya buta lahir-batinya).




Karta Skyline, 10 Juli 2008, pkl. 22.52 – 23.52


“Sepi Memaki Sendiri”





Dimana terselip sedikit ruang bincang
ditengah haru-biru kerja dan
asap-debu khasanah Jakarta?

Sendiri memaki Ibukota, sungguh
sangat tidak nyaman rasanya.


Lepas Tengah Hari sampai Sore di Kalibata Jakarta, 2 Juli 2008


“Nyanyi Sri Krishna di Ujung Yodhawa”




Ketika langit tak menampakkan cercah
Matahari, rembulan dan bintang-gemintang
Sedang angin berhenti meniup, sebab waktu yang berjalan
Tanpa detak
Tanpa gerak
Tanpa terang
Tanpa gelap
Abu-abu juga tidak
Tanpa warna
Tanpa ucap
Tanpa kata-kata
Tanpa diam
Beku juga tidak

Ada gigil tanpa dingin
Ada keringat tanpa gerah
Ada tangis tanpa sedih
Ada tawa tanpa kegembiraan
Ada mengapa tanpa apa
Ada apa tanpa siapa
Ada siapa tanpa mana
Ada mana tanpa buat
Ada buat tanpa saat
Sebabkah saat tanpa hadap

O... Saudaraku
Dimanakah arah tengah bersembunyi
Atau telah lentingkah ia
Lalu menyelip di segala selip

O... Saudaraku
Dudukku, dudukmu, duduk kita
Menyorong pantat, mengawang bokong
Letih tanpa lelah
Susah tanpa jengah
Berlabuh di pantai Sudah

Arahku yang lenting ternyata menancap tajam
Di lubuk hati Shang Hyang Rukmi

Tengah Hari di Kalibata (Jkt), 2 Juli 2008