(r-n)
Proses inisiasi regulasi kebudayaan sedang bergulir dan menggelinding. Naskah Akademik sudah dibuat dan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kebudayaan juga sudah disusun. Penggembala inisiatif dan pengendara RUU Kebudayaan telah sibuk memacu-pacu maunya. Berikut adalah obrolan si “Dadap” dan si “Waru” perihal tersebut. Obrolan melalui pesan-pesan persoanal dalam jejaring sosial di internet.
Dadap : Baru memulai membaca RUU Kebudayaan dan Draft Akademiknya.... satu komentarku: jika ruu itu digulirkan dan diundangkan, inilah ujung arena penghancuran... atau "perang brubuh" kemanusiaan bagi rakyat, bangsa dan negeri nusantara Indonesia. SUNGGUH MENGERIKAN!
Waru : Bisa tolong dikasih penjelasan? Perang brubuh apa?
Dadap : Ya... Perang brubuh itu adalah perang besar atau puncak akhir dari perang yang menentukan siapa kalah dan siapa menang! (dan) semua pihak (si menang dan si kalah) akan hancur2an.
Perhatikan keempat-empat pokok pertimbangan RUU dalam "Menimbang":
(1) bahwa bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya dan bersatu dalam kebhinnekaan perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah peradaban dunia yang terus berkembang, sehingga jati diri bangsa Indonesia dapat dipertahankan;
(2) bahwa keanekaragaman budaya dan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat;
(3) bahwa perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat perlu diarahkan kembali sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya nasional Indonesia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya;
(4) bahwa selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan untuk menjadi landasan hukum dan pedoman bagi Pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan kebudayaan.
Apakah pokok pertimbangan tersebut bukan penjara "harkat dan martabat manusia" atau "perikemanusiaan" dalam kebudayaan?
Waru : Kalau aku baca sepintas, dengan semangat positif dan dengan contoh-contoh soal urusan dengan Malaysia misalnya - semua kalimat itu baik-baik saja (aku naif aja dulu ya).
Dadap : Undang-undang bukan untuk urusan sesaat... urusan dengan Malaysia (seperti Reyog, dll) adalah kasus saja yang diperparah oleh suasana kejangkitan "bangsa ini" oleh penyakit kekerdilan jiwa. Kebudayaan itu bentang luas yang bisa berinteraksi dan hadir dengan siapa saja dan dimana saja. Kalau urusannya industri ya itu soal lain. Soal kebudayaan adalah soal relasional "manusia di dan berhadapan dengan realitas (matter), bersikap (dengan pikiran kritis yang logis dan estetis) dan bertindak (dengan kreatif)." Kesadarannya dilandasi oleh tata kelembagaan yang ada (sebagai bagian dari realitas), bersikap kritis secara personal dan saling berinteraksi dengan yang lain dalam suatu tindakan, membangun ruang "oposisi" dan menciptakan model "budaya tanding" sampai terjadi pengakuan dan mengalami pelembagaan baru. Demikian terus-menerus.
Aku malah curiga terhadap alasan-alasan kalau itu diperkaitkan dengan "kasus" seperti Malaysia... kecurigaanku: ini adalah upaya penciptaan perangkap untuk semakin "memandulkan" dan "membodohkan" manusia di dalam negara ini (karena undang-undang pasti hanya berlaku dalam negara ini). Akibatnya? Manusia-manusia kritis dan kreatif akan semakin "ogah" ada di Indonesia, kecuali menjadi bagian dari mesin dan usaha-usaha kapitalisasi kebudayaan!
(Naif dulu ya gak apa2...)
Waru : Alasan soal Malaysia itu, kalau aku nggak salah, adalah alasan yang dipakai kenapa RUU Kebud ini ingin diadakan. Itu bodoh, tentu, tapi masih termakan banyak orang. Beberapa kali ngobrol dengan beberapa kawan, begitu juga komentar yang keluar.
Dadap : Aku dah ngobrol singkat (sangat singkat) dg kawan anggota DPRRI... komentarnya? Kebudayaan koq diatur pakai undang-undang.... Begitupun beberapa kawan "budayawan akar rumput" di Yogya dan Kediri.
Waru : RUU Kebudayaan: serius, kalau dibaca line by line, semuanya terasa positifkan? Seperti nggak ada apa-apanya... blablabla yang begitu sering kita dengar dalam pidato-pidato birokrat. Ini yang buat aku berbahaya, bikin kita "terlena" bahwa ini hanya blablabla. Jadi bisa saja segera lolos.
Dadap : RUU Kebudayaan: serius. Ya, aku sepakat kalau inisiasi RUU Kebudayaan serius. Serius untuk disikapi! Serius sebagai "wacana" untuk proses kaji dan pembelajaran bersama, karena selama ini tidak ada keseriusan orang mengkaji kebudayaan. Pada posisi ini aku sepakat, kalau itu serius dan sangat serius. Tetapi aku TIDAK PADA POSISI BERSEPAKAT MENJADIKANNYA SEBAGAI UNDANG-UNDANG KEBUDAYAAN!
Bagi saya dan dalam pemahaman saya, KEBUDAYAAN ADALAH RUH DAN DASAR KEDAULATAN. KEDAULATAN MANUSIA DAN KEDAULATAN RAKYAT. KEBUDAYAAN ADALAH RUH DAN DASAR DINAMIKA DAN PROGRESIFITAS. Kalau kebudayaan dikerangkeng dengan pengaturan-pengaturan, maka ia akan menghentikan dan menutup ruang semua gerak maju. Kalau ada satu-dua atau lebih orang di negeri ini bersedia mati berdiri dalam kerangkeng (pengaturan) kebudayaan, maka saya tidak akan ikut-ikut.
Dalam hal demikian, saya berharap dapat terlibat dalam kancah yang sudah ada dengan satu pegangan: "Manusia Indonesia adalah Manusia Merdeka! Rakyat Indonesia adalah Rakyat Merdeka! Bangsa (=Wangsa) Indonesia adalah Bangsa (=Wangsa) Merdeka! Semuanya di seluruh jajaran pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke, dari Miyangas sampai Rotte. Semuanya yang ada di wilayah Indonesia maupun di perantauan (luar negeri).
Waru : Tenang, kawan... aku sendiri setuju dengan yang kau tulis di atas. Jadikan ini tempat belajar.... dan....jadi momen merapatkan barisan.
(Sekian Dulu dan Sampai Berikutnya...)
Jakarta, 12/13 Juli 2011